Hujan mengguyur Seoul malam itu, menari-nari di kaca jendela apartemen minimalis milik Ara. Di balik gemericik hujan, Ara menatap layar komputernya, jari-jarinya lincah mengetik baris demi baris kode. Bukan kode keuangan atau keamanan siber, melainkan sesuatu yang jauh lebih personal: algoritma cinta.
Ara, seorang programmer jenius yang lebih akrab dengan sintaks daripada sentuhan, merasa hidupnya hampa. Kariernya cemerlang, namun hatinya sepi. Ia mendambakan cinta, tetapi tak tahu bagaimana caranya. Maka, dengan keyakinan seorang ilmuwan, ia memutuskan untuk menciptakan cinta itu sendiri.
"Detak Nol," begitu ia menyebut proyeknya. Sebuah algoritma kompleks yang mempelajari jutaan data interaksi manusia, ekspresi wajah, pola bicara, bahkan preferensi makanan. Tujuannya? Menciptakan profil pasangan ideal yang sempurna untuk Ara.
Setelah berbulan-bulan begadang, algoritma itu akhirnya selesai. Dengan gugup, Ara menjalankan "Detak Nol." Layar komputernya berkedip, lalu menampilkan sebuah nama: Jihoon.
Jihoon adalah seorang arsitek muda, pecinta kopi hitam, dan memiliki selera humor yang aneh, persis seperti yang Ara sukai – atau, lebih tepatnya, persis seperti yang algoritma katakan ia sukai. Ara menemukan akun media sosial Jihoon dan terkejut. Foto-foto yang ia lihat menampilkan pria yang tampan, lembut, dan memiliki senyum yang menenangkan.
Ara memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jihoon, berpura-pura salah kirim email. Jihoon membalas dengan ramah, bahkan menawarkan untuk bertemu dan memperbaiki "kesalahan" tersebut.
Pertemuan pertama mereka terasa seperti mimpi. Jihoon ternyata persis seperti yang digambarkan algoritma. Mereka tertawa bersama, membicarakan arsitektur, kopi, dan bahkan saling bertukar cerita tentang masa kecil. Ara merasa nyaman dan terpikat.
Hari-hari berikutnya dipenuhi kencan romantis. Jihoon tahu persis bagaimana membuat Ara tertawa, bagaimana membuatnya merasa istimewa. Ia selalu tahu apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan. Semuanya terasa begitu sempurna, begitu terprediksi, nyaris seperti skenario yang telah ditulis sebelumnya.
Namun, di balik semua kesempurnaan itu, Ara mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan hampa yang menggerogoti hatinya. Ia menyadari bahwa meskipun Jihoon adalah pasangan ideal di atas kertas, ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang tak bisa diukur dengan data atau diprediksi oleh algoritma.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran favorit Ara, Jihoon tiba-tiba berhenti berbicara. Ia menatap Ara dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Ara," katanya, suaranya terdengar berat. "Aku tahu tentang 'Detak Nol'."
Ara terkejut. Bagaimana Jihoon bisa tahu?
"Aku... aku meretas komputermu," lanjut Jihoon, menunduk malu. "Aku penasaran. Aku ingin tahu mengapa kamu begitu sempurna denganku. Aku ingin tahu apa yang membuatmu begitu tertarik padaku."
Ara merasa marah dan malu. Ia merasa dikhianati.
"Aku minta maaf," kata Jihoon, mengangkat wajahnya. "Tapi aku harus tahu. Dan setelah aku tahu, aku menyadari sesuatu."
Jihoon meraih tangan Ara dan menggenggamnya erat.
"Aku menyadari bahwa aku mencintaimu, Ara. Bukan karena algoritma, bukan karena data, tapi karena kamu. Karena kamu yang cerdas, yang kikuk, yang terkadang terlalu serius. Karena kamu yang unik dan tak sempurna."
Kata-kata Jihoon menusuk hati Ara. Ia menatap mata Jihoon, mencari kebohongan. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran dan cinta yang tulus.
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," kata Ara, suaranya bergetar.
"Katakan saja bahwa kamu merasakan hal yang sama," jawab Jihoon, tersenyum lembut.
Ara terdiam. Ia teringat semua malam yang ia habiskan di depan komputer, berusaha menciptakan cinta yang sempurna. Ia teringat bagaimana ia mengandalkan algoritma untuk membimbingnya, untuk membuatnya bahagia.
"Aku... aku tidak tahu apakah aku mencintaimu, Jihoon," akhirnya kata Ara, jujur. "Aku tidak tahu apakah ini cinta yang sesungguhnya, atau hanya hasil dari algoritma yang memanipulasiku."
Jihoon mengangguk, seolah mengerti.
"Tidak apa-apa," katanya. "Kita punya waktu untuk mencari tahu. Kita bisa belajar mencintai satu sama lain, tanpa algoritma, tanpa data, hanya dengan hati kita."
Ara menatap Jihoon, air mata mulai menggenang di matanya. Ia menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi atau dikendalikan. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara organik, sesuatu yang membutuhkan waktu, kesabaran, dan kerentanan.
Malam itu, Ara menghapus "Detak Nol" dari komputernya. Ia menyadari bahwa hatinya tidak perlu di-upgrade. Yang ia butuhkan hanyalah keberanian untuk membuka hatinya, untuk menerima cinta yang tidak sempurna, cinta yang sesungguhnya.
Hujan masih mengguyur Seoul. Tapi di dalam restoran itu, di antara suara gemericik hujan dan aroma kopi, dua hati mulai berdebar, bukan karena algoritma, melainkan karena sesuatu yang jauh lebih kuat: harapan. Harapan akan cinta yang tulus, cinta yang akan bertahan, bahkan di tengah detak nol yang membingungkan.