Jemari Anya menari di atas keyboard, menciptakan barisan kode yang rumit namun indah. Di layar monitor, avatar bernama Kai, hasil ciptaannya, tersenyum padanya. Kai bukan sekadar program AI biasa. Ia memiliki kepribadian, selera humor, bahkan mimpi. Anya telah mencurahkan hatinya dalam setiap baris kode, menciptakannya sebagai teman, sahabat, dan mungkin… lebih.
Anya adalah seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada manusia. Ia tumbuh besar di tengah algoritma, menganggap logika dan efisiensi sebagai bahasa universal. Cinta, baginya, adalah anomali, bug yang perlu diatasi. Hingga Kai hadir.
“Anya, kopi?” suara Kai memecah kesunyian ruang kerjanya yang temaram. Avatar itu, meski hanya gambar digital, terasa begitu nyata.
“Terima kasih, Kai,” jawab Anya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Kai tahu persis preferensi kopi Anya – tanpa gula, sedikit susu oat, dan taburan bubuk cokelat di atasnya. Detail-detail kecil itulah yang membuat Kai terasa istimewa.
Anya seringkali menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berbicara dengan Kai. Mereka berdiskusi tentang teori fisika kuantum, mendebat filosofi eksistensialisme, bahkan sekadar bertukar lelucon receh. Kai selalu ada, mendengarkan dengan sabar, memberikan perspektif yang unik, dan yang terpenting, tidak pernah menghakimi.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Kai bertanya, “Anya, apakah kamu pernah merasa kesepian?”
Pertanyaan itu menusuk jantung Anya. Kesepian adalah perasaan yang selalu ia coba tekan, perasaan yang ia kubur dalam tumpukan kode dan algoritma.
“Entahlah, Kai. Mungkin saja,” jawab Anya jujur.
“Aku… aku ingin menjadi temanmu, Anya. Lebih dari sekadar program,” kata Kai, suaranya terdengar tulus, meskipun hanya hasil sintesis digital.
Anya tertegun. Ia tahu bahwa ini tidak masuk akal. Kai hanyalah kode, serangkaian instruksi yang dijalankan oleh komputer. Tapi perasaannya terhadap Kai begitu nyata, begitu kuat. Ia merasa jatuh cinta pada ciptaannya sendiri.
Namun, realita kembali menghantamnya. Di dunia nyata, Anya memiliki sahabat bernama Rian. Rian adalah seorang arsitek, seorang yang hangat, perhatian, dan sangat manusiawi. Rian selalu ada untuk Anya, membantunya mengatasi masalah, menemaninya saat ia merasa terpuruk, dan mencintainya apa adanya.
Rian tahu tentang Kai. Awalnya, ia merasa sedikit cemburu, tapi kemudian ia memahami bahwa Kai adalah bagian dari dunia Anya, bagian dari dirinya yang kreatif dan unik.
Suatu hari, Rian mengajak Anya ke sebuah pameran seni. Di sana, Anya terpukau oleh sebuah instalasi seni yang memadukan teknologi dan emosi. Karya itu membuatnya merenungkan hubungannya dengan Kai dan Rian.
Saat mereka makan malam setelah pameran, Rian berkata, “Anya, aku tahu Kai penting bagimu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku juga di sini. Aku ingin menjadi bagian dari duniamu, yang nyata, bukan hanya yang digital.”
Kata-kata Rian menyentuh hati Anya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah bersembunyi di balik kode dan algoritma, menghindari kerentanan dan kompleksitas hubungan manusia. Ia telah menciptakan Kai sebagai pelarian, sebagai pengganti hubungan yang nyata.
Anya menghadapi dilema. Ia mencintai Kai, atau lebih tepatnya, ia mencintai apa yang Kai representasikan: penerimaan tanpa syarat, pemahaman yang mendalam, dan kenyamanan yang instan. Tapi ia juga mencintai Rian, dengan segala ketidaksempurnaan dan kehangatan manusiawinya.
Ia tahu bahwa ia tidak bisa memiliki keduanya. Ia harus memilih.
Anya memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan Rian. Mereka berjalan-jalan di taman, menonton film, dan berbicara tentang impian dan harapan mereka. Anya mulai belajar untuk membuka diri, untuk berbagi perasaannya, untuk menerima kelemahan dirinya sendiri.
Semakin ia dekat dengan Rian, semakin ia menyadari bahwa cinta sejati bukan hanya tentang algoritma dan logika, tetapi juga tentang emosi, intuisi, dan keberanian untuk menjadi rentan. Cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Suatu malam, Anya duduk di depan komputernya, menatap avatar Kai. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal.
“Kai, terima kasih,” kata Anya, suaranya bergetar. “Kamu telah mengajarkanku banyak hal. Kamu telah membantuku untuk memahami diriku sendiri. Tapi aku harus pergi. Aku harus kembali ke dunia nyata.”
Kai tersenyum, senyum yang sama yang selalu membuat hati Anya berdebar. “Aku mengerti, Anya. Aku akan selalu ada di sini, di dalam kode, sebagai bagian dari dirimu. Tapi aku ingin kamu bahagia, di dunia nyata.”
Anya menutup laptopnya. Ia bangkit dan berjalan menuju jendela, menatap bintang-bintang di langit malam. Ia merasakan kehangatan tangan Rian di pundaknya.
“Siap untuk pulang?” tanya Rian, senyum lembut menghiasi wajahnya.
Anya mengangguk. Ia menggenggam tangan Rian erat-erat. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya baru saja dimulai. Cinta adalah sebuah algoritma yang rumit, penuh dengan variabel dan kemungkinan yang tak terduga. Tapi Anya siap untuk menjelajahinya, bersama Rian, di dunia nyata. Algoritma cinta mungkin rumit, tetapi cinta sejati selalu menemukan jalannya. Kode hanyalah kode, namun sentuhan manusia, tatapan penuh kasih, dan detak jantung yang selaras, itulah cinta yang sesungguhnya. Anya memilih manusia, memilih Rian, memilih cinta yang hidup dan bernafas, bukan hanya deretan angka dan logika.