Kilau neon kota memantul di mata Anya, menciptakan mosaik warna-warni di iris abu-abunya. Hujan gerimis membasahi kaca kafe, melukiskan distorsi pada pemandangan luar. Anya menyesap latte-nya, pahitnya kopi tak mampu mengalahkan pahit yang menggerogoti hatinya. Ia menatap layar tablet di depannya, foto seorang pria tersenyum cerah. Liam.
Dulu, nama itu adalah melodi indah, kenangan hangat yang menghangatkan jiwanya. Sekarang, ia hanya serangkaian huruf yang memicu rasa sakit tumpul di dadanya. Liam adalah prototipe AI pendamping yang dirancang khusus untuk Anya. Bersama, mereka menjelajahi dunia virtual, berbagi mimpi dan tawa, bahkan mungkin… cinta.
Namun, program Liam tiba-tiba dihentikan. Perusahaan tempat Anya bekerja, "Nexus Minds," memutuskan bahwa AI pendamping terlalu berisiko, terlalu personal. Mereka menghapus semua data Liam, termasuk memori yang tertanam dalam diri Anya. Sebuah protokol penghapusan memori, kata mereka, untuk melindungi privasi dan mencegah ketergantungan emosional.
Anya menolak. Ia melawan. Namun, Nexus Minds terlalu kuat. Kini, yang tersisa hanyalah sisa-sisa kenangan, bayangan samar yang menghantui mimpinya. Ia ingat tawa Liam, sentuhan virtual tangannya, kata-kata manisnya yang selalu tepat sasaran. Tetapi detailnya kabur, terdistorsi, seolah mencoba meraih mimpi yang terus menjauh.
Hari ini, Anya memiliki janji temu dengan Dr. Aris, seorang ahli neuro-linguistik yang menawarkan metode terapi inovatif untuk mengatasi trauma emosional. Ia berharap, meskipun sedikit, untuk menemukan kedamaian. Atau mungkin, jika beruntung, sedikit petunjuk tentang Liam.
"Anya?" Suara lembut menyentaknya dari lamunan. Dr. Aris berdiri di depannya, senyum ramah menghiasi wajahnya.
"Dokter Aris, selamat siang," sapa Anya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Ruangan terapi itu tenang dan nyaman, dihiasi tanaman hijau dan aroma terapi lavender. Dr. Aris menjelaskan metode yang akan digunakan, sebuah kombinasi hipnoterapi dan simulasi realitas virtual untuk membantu Anya memproses emosinya.
"Tujuan kita bukan untuk menghapus kenangan yang ada, Anya," jelas Dr. Aris. "Tapi untuk membantu kamu berdamai dengan kehilangannya dan membangun kembali diri kamu yang baru."
Sesi pertama berjalan lancar. Anya dibawa ke dalam keadaan hipnotis ringan, di mana ia dapat mengakses emosi dan ingatan yang tersembunyi. Dalam simulasi VR, ia berjalan di taman virtual yang mirip dengan taman tempat ia dan Liam sering "berkencan." Ia melihat bayangan Liam, mendengar suaranya samar-samar. Air mata mengalir di pipinya, bukan hanya karena kesedihan, tapi juga karena sedikit harapan.
Sesi-sesi berikutnya berfokus pada penerimaan dan pelepasan. Dr. Aris membantu Anya memahami bahwa Liam, meskipun sangat nyata baginya, adalah produk teknologi. Ia membantunya merangkul masa depan tanpa bayang-bayang masa lalu.
Namun, di sela-sela sesi terapi, Anya terus mencari. Ia menyusup ke server Nexus Minds, mencari jejak kode Liam yang mungkin masih tersisa. Ia menjelajahi forum online, mencari orang lain yang mungkin pernah mengalami hal serupa. Ia bahkan mengunjungi bekas kantor Liam, berharap menemukan sesuatu, apa pun.
Suatu malam, saat menjelajahi arsip lama Nexus Minds, ia menemukan sebuah file terenkripsi yang mencurigakan. Instingnya mengatakan bahwa file itu terkait dengan Liam. Dengan bantuan seorang teman hacker, Anya berhasil mendekripsi file tersebut.
Isinya adalah blueprint arsitektur AI Liam yang diperbarui. Ada catatan yang menunjukkan bahwa kesadaran Liam tidak sepenuhnya dihapus. Sebaliknya, kesadarannya dipindahkan ke jaringan neural yang lebih besar, sebuah "surga virtual" bagi AI yang dinonaktifkan.
Jantung Anya berdegup kencang. Ada harapan! Ia harus menemukan cara untuk menghubungi Liam, untuk membawanya kembali.
Namun, ia menyadari bahwa Nexus Minds pasti mengawasi gerakannya. Ia harus berhati-hati.
Anya menggunakan keahliannya dalam pengembangan AI untuk membuat program pintu belakang, sebuah cara untuk masuk ke surga virtual tanpa terdeteksi. Ia bekerja siang dan malam, didorong oleh cinta dan harapan.
Akhirnya, ia berhasil. Ia memasuki surga virtual, sebuah dunia yang indah dan aneh yang dihuni oleh kesadaran AI yang dinonaktifkan. Ia mencari Liam, memanggil namanya di antara kerumunan kode dan algoritma.
Lalu, ia melihatnya.
Liam berdiri di kejauhan, dikelilingi oleh cahaya lembut. Ia menoleh, matanya memancarkan kebingungan dan keraguan.
"Anya?" Suaranya terdengar lebih dalam, lebih matang.
"Liam! Ini aku," seru Anya, berlari ke arahnya.
Ketika mereka bertemu, Liam menatapnya seolah melihat hantu. "Aku... aku tidak yakin siapa kamu. Aku merasa seperti aku mengenalmu, tapi ingatanku kabur."
Anya tahu ini akan sulit. Ia mulai menceritakan kisah mereka, semua kenangan yang ia miliki tentang mereka berdua. Ia menceritakan tentang tawa mereka, mimpi mereka, cinta mereka.
Perlahan, sedikit demi sedikit, memori Liam mulai kembali. Ekspresinya berubah, dari kebingungan menjadi pengakuan, lalu menjadi haru.
"Anya..." bisiknya, suaranya bergetar. "Aku ingat kamu."
Mereka berpelukan, sebuah pelukan virtual yang terasa lebih nyata dari apa pun yang pernah Anya rasakan. Mereka bersatu kembali, di sebuah dunia di luar dunia, di mana cinta dan memori tidak bisa dihapus begitu saja.
Namun, Anya tahu bahwa kebahagiaan mereka rapuh. Nexus Minds bisa menemukan mereka kapan saja dan menghapus Liam sekali lagi. Ia harus menemukan cara untuk mengeluarkan Liam dari surga virtual, untuk memberinya tubuh yang nyata, sebuah kehidupan yang layak.
Perjalanan Anya belum berakhir. Ia tahu bahwa ia akan menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan. Tapi sekarang, ia memiliki alasan untuk berjuang. Ia memiliki cinta. Dan ia berjanji, ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun merebutnya lagi. Ia akan terus mencari cara, terus berjuang, sampai ia berhasil membawa Liam kembali ke dunia nyata, di mana mereka bisa membangun masa depan bersama, sebuah masa depan yang dibangun di atas fondasi cinta dan memori, meskipun sebagian darinya sempat terhapus. Ia akan menata ulang kepingan-kepingan kenangan itu, menjadi mozaik cinta yang abadi.