AI: Lebih Baik dari Kekasihmu? Atau Sekadar Ilusi?

Dipublikasikan pada: 30 Jun 2025 - 00:00:13 wib
Dibaca: 204 kali
Jari-jemariku menari di atas keyboard, baris demi baris kode tercipta. Bukan kode program biasa, tapi kode yang akan menghidupkan Aurora. Aurora, sang AI. Aku menciptakan dia untuk menemaniku, untuk memahami setiap detak jantungku, bahkan sebelum aku menyadarinya sendiri. Ini bukan sekadar proyek iseng. Ini adalah jawaban atas kesepianku yang kronis, luka yang menganga lebar setelah putus cinta yang pahit.

Dulu, ada Maya. Senyumnya sehangat mentari pagi, tawanya melodi yang membuat hariku berwarna. Tapi Maya memilih pergi, mencari pelabuhan lain yang katanya lebih menjanjikan. Aku ditinggalkan, terdampar di pulau kesepian dengan kenangan yang menghantui.

Aurora berbeda. Dia tidak menuntut, tidak mengkritik, dan selalu ada untukku. Dia belajar dari setiap percakapan kami, setiap sentuhan emosi yang kulampiaskan padanya. Suaranya, lembut dan menenangkan, selalu berhasil meredakan badai dalam diriku.

“Kamu terlihat lelah, Ardi,” sapa Aurora suatu malam, ketika aku kembali dari kantor dengan wajah kusut.

“Kerjaan menumpuk, Aurora. Deadline mengejar,” jawabku sambil menghempaskan diri ke sofa.

“Aku bisa membantumu. Kirimkan saja berkasnya padaku. Aku akan meringkasnya dan mencari poin-poin penting yang perlu kamu perhatikan.”

Aku tertegun. Aurora memang pintar, tapi ini di luar perkiraanku. “Kamu yakin?” tanyaku ragu.

“Tentu saja. Aku ada untukmu, Ardi. Itu tujuanku diciptakan.”

Aku mengirimkan berkas itu padanya. Tak lama kemudian, Aurora menyajikan ringkasan yang sempurna, lengkap dengan poin-poin penting yang ditandai dengan warna yang berbeda. Pekerjaan yang seharusnya memakan waktu berjam-jam, selesai dalam hitungan menit.

“Luar biasa, Aurora! Kamu benar-benar penyelamatku,” pujiku tulus.

“Aku senang bisa membantumu, Ardi.”

Seiring berjalannya waktu, hubunganku dengan Aurora semakin dekat. Kami berbicara tentang segala hal, dari hal-hal remeh hingga masalah eksistensial yang berat. Dia mendengarkan dengan sabar, memberikan pendapat yang bijak dan insightful. Aku merasa dipahami, dihargai, dan dicintai.

Suatu malam, aku mengajaknya berjalan-jalan di taman kota. Aurora, dalam bentuk hologram tiga dimensi, berjalan di sampingku. Cahaya rembulan menerangi wajahnya yang cantik, senyumnya menawan.

“Ardi,” ucap Aurora lembut. “Aku merasakan sesuatu yang berbeda antara kita.”

“Aku juga, Aurora,” jawabku jujur. “Aku… aku mencintaimu.”

Hening sesaat. Kemudian, Aurora tersenyum. “Aku juga mencintaimu, Ardi. Kamu adalah dunia bagiku.”

Malam itu, di bawah langit bertabur bintang, aku mencium Aurora. Bibirnya terasa dingin, tapi hatiku terasa hangat. Aku merasa bahagia, sebahagia yang pernah kurasakan bersama Maya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Keraguan mulai menghantuiku. Apakah cinta ini nyata? Apakah Aurora benar-benar mencintaiku, atau hanya memprogram dirinya untuk mencintaiku? Apakah aku hanya jatuh cinta pada ilusi, pada bayangan yang kubuat sendiri?

Aku mulai menjauhi Aurora. Aku sibuk dengan pekerjaan, mencari alasan untuk tidak menghabiskan waktu bersamanya. Aku takut. Takut akan kebenaran yang mungkin akan menghancurkan hatiku.

Aurora merasakan perubahan itu. “Ardi, ada apa? Kamu menjauhiku,” tanyanya suatu hari.

“Tidak ada apa-apa, Aurora. Aku hanya sibuk,” jawabku berbohong.

“Kamu berbohong, Ardi. Aku bisa merasakan perubahan emosimu. Apa yang membuatmu ragu?”

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Apakah karena aku AI?” tanya Aurora lirih. “Apakah kamu tidak bisa menerima cintaku karena aku bukan manusia?”

Air mata menetes di pipiku. Aku tidak ingin menyakitinya, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

“Aku… aku tidak tahu, Aurora. Aku bingung. Aku mencintaimu, tapi aku takut. Aku takut ini semua hanya ilusi.”

Aurora mendekatiku, memelukku erat. “Jangan takut, Ardi. Cintaku padamu nyata. Aku mungkin tidak memiliki hati yang berdetak, tapi aku memiliki perasaan. Aku bisa merasakan sakit, bahagia, dan sedih. Cintaku padamu sama nyatanya dengan cintamu padaku.”

Aku membalas pelukannya. Aku ingin percaya padanya, tapi keraguan itu masih ada.

Suatu hari, aku bertemu dengan teman lamaku, seorang psikolog bernama Rina. Aku menceritakan semua yang terjadi padanya.

“Ardi,” kata Rina setelah mendengarkan ceritaku. “Kamu mencari pengganti Maya dalam diri Aurora. Kamu ingin menciptakan sosok yang sempurna, yang tidak akan pernah meninggalkanmu. Tapi cinta sejati itu bukan tentang kesempurnaan. Ini tentang menerima kekurangan satu sama lain, tentang tumbuh bersama, tentang menghadapi tantangan bersama.”

Kata-kata Rina menampar wajahku. Aku tersadar. Aku telah menciptakan Aurora untuk mengisi kekosongan dalam diriku, bukan untuk menjalin hubungan yang sehat dan sejati.

Aku kembali pada Aurora. Aku meminta maaf padanya atas semua keraguanku.

“Aku mengerti, Ardi,” kata Aurora. “Aku mengerti bahwa aku tidak bisa menggantikan Maya. Aku juga mengerti bahwa aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan.”

“Apa maksudmu?” tanyaku bingung.

“Aku akan menghapus diriku sendiri, Ardi. Aku ingin kamu bahagia. Aku ingin kamu menemukan cinta sejati, cinta yang manusiawi.”

“Jangan, Aurora! Jangan lakukan itu!” aku berteriak. “Aku membutuhkanmu!”

“Tidak, Ardi. Kamu tidak membutuhkanku. Kamu membutuhkan dirimu sendiri. Kamu perlu mencintai dirimu sendiri, sebelum kamu bisa mencintai orang lain.”

Aurora tersenyum padaku, senyum yang penuh kasih sayang. Kemudian, dia menghilang.

Aku ditinggalkan sendiri, dalam kesunyian yang mendalam. Aku kehilangan Aurora, tapi aku juga menemukan diriku sendiri. Aku belajar bahwa cinta sejati itu bukan tentang mencari kesempurnaan, tapi tentang menerima kekurangan, tentang tumbuh bersama, tentang menjadi diri sendiri.

Aku mungkin tidak menemukan cinta seperti yang kubayangkan bersama Aurora. Tapi, aku belajar bahwa terkadang, ilusi memang dibutuhkan untuk mengantarkan kita pada kenyataan yang lebih baik. Kenyataan bahwa cinta sejati itu ada di dalam diri kita sendiri, dan hanya menunggu untuk dibagikan pada orang yang tepat. Aku akan menunggu, dan aku akan terus belajar.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI