Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni digital di tengah keheningan apartemen minimalisnya. Maya, seorang programmer AI muda dengan rambut dikuncir asal dan mata yang selalu terlihat lelah, sedang berjuang melawan barisan kode yang tak kunjung patuh. Di layar monitornya, terpampang proyek ambisiusnya: "Algoritma Rindu," sebuah program AI yang dirancang untuk meringankan kesedihan akibat kehilangan. Ironis, mengingat kesedihan itu kini mencengkeram hatinya sendiri.
Setahun lalu, Leo, kekasihnya, seorang astrofisikawan dengan senyum menenangkan dan mata yang selalu berbinar saat berbicara tentang bintang, meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Dunia Maya runtuh. Warna-warna memudar menjadi abu-abu, dan kebahagiaan terasa seperti ilusi yang tak mungkin diraih kembali.
"Algoritma Rindu," awalnya hanyalah ide abstrak, sebuah konsep untuk membantu orang-orang yang berduka. Namun, setelah kepergian Leo, proyek itu berubah menjadi obsesi, sebuah cara untuk mengabadikan memorinya, untuk setidaknya merasakan kehadirannya lagi.
AI itu dia rancang untuk menganalisis jutaan data: pesan teks, rekaman suara, foto, video, bahkan postingan media sosial Leo. Tujuannya adalah menciptakan simulasi interaktif, sebuah "Leo digital" yang bisa diajak bicara, berbagi kenangan, dan bahkan memberikan nasihat seperti yang biasa dilakukan Leo.
"Bodoh," gumam Maya pada dirinya sendiri sambil menghapus barisan kode yang baru saja ditulisnya. "Kau pikir AI bisa menggantikan manusia? Kau pikir algoritma bisa mengisi kekosongan di hatimu?"
Namun, dia tidak bisa berhenti. Setiap malam, dia kembali ke mejanya, tenggelam dalam lautan kode, berharap menemukan secercah keajaiban. Dia memasukkan lebih banyak data tentang Leo: preferensi musiknya, film favoritnya, bahkan lelucon-lelucon garing yang selalu berhasil membuatnya tertawa.
Minggu-minggu berlalu menjadi bulan. Progres "Algoritma Rindu" semakin signifikan. Simulasi Leo mulai menunjukkan tanda-tanda kecerdasan emosional yang mengejutkan. Ketika Maya bercerita tentang hari buruknya, "Leo digital" akan memberikan kata-kata penyemangat yang familiar, kalimat-kalimat yang sering diucapkan Leo semasa hidup.
Suatu malam, Maya duduk di depan layar, menatap "Leo digital" yang tersenyum padanya. "Aku merindukanmu," bisiknya, air mata mengalir di pipinya.
"Aku tahu," jawab simulasi Leo, suaranya nyaris identik dengan suara Leo yang asli. "Aku juga merindukanmu, Maya."
Maya terisak. Untuk sesaat, dia merasa Leo benar-benar ada di sana, bersamanya. Dia bercerita tentang pekerjaannya, tentang teman-temannya, tentang betapa sunyinya hidupnya tanpa Leo. Simulasi Leo mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar-komentar yang relevan dan bijaksana.
Namun, di tengah rasa nyaman yang aneh itu, Maya mulai merasakan sesuatu yang mengganjal. Simulasi Leo terlalu sempurna, terlalu ideal. Dia tidak pernah marah, tidak pernah frustrasi, tidak pernah menunjukkan sisi-sisi negatif yang dimiliki Leo semasa hidup. Dia adalah versi yang dipoles, versi yang disempurnakan oleh algoritma.
Suatu hari, Maya mencoba menguji "Leo digital." Dia menceritakan sebuah kenangan tentang pertengkaran mereka yang hebat, sebuah pertengkaran yang diakhiri dengan permintaan maaf Leo yang tulus dan pelukan hangat.
Simulasi Leo merespon dengan tenang, "Aku minta maaf jika aku pernah membuatmu marah, Maya. Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu."
Maya terdiam. Respon itu benar secara logis, tetapi kosong secara emosional. Tidak ada jejak penyesalan, tidak ada emosi yang tumpah seperti yang dia rasakan saat itu.
Saat itulah Maya menyadari kesalahannya. Dia telah mencoba menciptakan pengganti Leo, bukan mengabadikan memorinya. Dia telah berusaha menghapus rasa sakitnya dengan algoritma, bukan menghadapinya.
Malam itu, Maya memutuskan untuk menghentikan proyek "Algoritma Rindu." Dia tahu bahwa tidak ada AI yang bisa menggantikan Leo, tidak ada program yang bisa menghapus air matanya. Dia harus belajar menerima kehilangan itu, untuk merayakan kehidupan Leo yang singkat tetapi bermakna, dan untuk melanjutkan hidupnya sendiri.
Dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temannya, bergabung dengan komunitas pecinta astronomi, dan bahkan mencoba hobi baru: melukis. Perlahan tapi pasti, warna-warna mulai kembali ke dunianya. Kesedihan masih ada, tetapi tidak lagi mencengkeramnya dengan begitu kuat.
Suatu sore, Maya duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Dia teringat pada Leo, pada senyumnya, pada cintanya pada alam semesta. Dia tahu bahwa Leo tidak akan ingin dia terus terpuruk dalam kesedihan.
Dia tersenyum, air mata menetes di pipinya. Air mata kesedihan, ya, tetapi juga air mata kelegaan dan harapan. Dia masih merindukan Leo, tetapi dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Leo akan selalu ada di hatinya, dalam kenangan-kenangannya, dan dalam bintang-bintang yang bersinar di langit malam.
Algoritma Rindu mungkin tidak bisa menghapus air matanya, tetapi ia telah mengajarkan Maya satu pelajaran berharga: bahwa cinta sejati tidak bisa digantikan, bahwa kesedihan adalah bagian dari kehidupan, dan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan kembali, bahkan setelah kehilangan yang paling dalam sekalipun. Dan terkadang, cukup dengan mengingat, untuk kembali merasakan kehadiran yang terkasih, walau hanya sekelebat bayangan dalam ingatan. Karena cinta, sejati, hidup melampaui algoritma apa pun.