Kilau layar ponsel adalah satu-satunya cahaya yang menari di wajah Anya. Jari-jarinya lincah mengetik, memilah data, menyempurnakan algoritma kencan yang sedang ia kembangkan. "MatchMade," begitu ia menyebutnya. Bukan sekadar aplikasi pencari jodoh biasa, melainkan mesin canggih yang memprediksi kompatibilitas berdasarkan analisis mendalam: riwayat media sosial, pola pembelian, bahkan gelombang otak yang terekam melalui sensor pintar.
Anya percaya, cinta sejati bisa ditemukan, bahkan diprediksi, melalui data. Ia muak dengan kencan buta yang berujung kekecewaan, percakapan hambar, dan janji palsu. Menurutnya, emosi hanyalah bias yang mengaburkan logika. Algoritma adalah kuncinya.
“Masih begadang, Nya?” suara lembut menyapa dari ambang pintu. Ibunya, dengan senyum khawatir, menyodorkan secangkir teh hangat.
“Sedikit lagi selesai, Ma. Tinggal memfinalisasi variabel afinitas,” jawab Anya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Ibunya menghela napas. “Kamu terlalu sibuk dengan angka dan kode. Kapan kamu akan mencari kebahagiaanmu sendiri?”
Anya tertawa kecil. “Kebahagiaanku ada di sini, Ma. Menciptakan kebahagiaan untuk orang lain.” Ia menunjuk ke layar. “MatchMade akan mengubah segalanya.”
Namun, di balik keyakinan Anya, tersimpan luka lama. Pengalaman pahit di masa lalu, dikhianati oleh cinta yang ia anggap abadi, membuatnya trauma. Ia membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, dan MatchMade adalah bentengnya. Sebuah cara untuk mengendalikan, menganalisis, dan memprediksi cinta, agar ia tak perlu lagi merasakan sakitnya patah hati.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, MatchMade akhirnya diluncurkan. Aplikasi itu meledak di pasaran. Pengguna memuji akurasinya yang mencengangkan. Pasangan-pasangan mulai terbentuk, rumah tangga dibangun, semua berkat algoritma Anya. Ia menjadi selebriti di dunia teknologi, diundang ke konferensi, diwawancarai media, dielu-elukan sebagai dewi cinta modern.
Di tengah kesibukannya, Anya bertemu dengan Raka, seorang pengembang perangkat lunak yang juga terpesona dengan MatchMade. Raka menawarkan diri untuk berkolaborasi, membantu Anya meningkatkan performa aplikasi. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama, berdiskusi tentang kode, data, dan potensi algoritma.
Raka berbeda. Ia melihat Anya bukan hanya sebagai seorang ilmuwan, melainkan sebagai seorang wanita. Ia menghargai kecerdasannya, namun juga menyukai kelembutan yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. Raka mampu menembus tembok yang dibangun Anya, sedikit demi sedikit.
Anya merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama. Jantungnya berdebar lebih kencang setiap kali Raka tersenyum padanya. Pikirannya dipenuhi oleh wajahnya, suaranya, sentuhannya yang lembut. Ia mulai meragukan teorinya sendiri. Apakah cinta benar-benar bisa diprediksi? Atau adakah faktor X yang tak bisa ditangkap oleh algoritma?
Suatu malam, Raka mengajak Anya makan malam di restoran favoritnya. Di tengah suasana romantis, Raka mengeluarkan sebuah kotak kecil. Jantung Anya berpacu.
“Anya,” kata Raka, suaranya bergetar. “Aku… aku jatuh cinta padamu. Bukan karena algoritma, bukan karena data. Tapi karena dirimu sendiri. Karena kecerdasanmu, kekuatanmu, dan kebaikan hatimu.”
Anya terdiam. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu, ia harus membuat pilihan. Antara keyakinannya pada algoritma, atau hatinya yang mulai bersemi.
Ia menatap Raka, matanya mencari kejujuran di sana. Ia melihat cinta yang tulus, cinta yang tak bisa ia abaikan.
“Aku… aku juga merasakan hal yang sama, Raka,” bisik Anya.
Raka tersenyum lebar. Ia membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah cincin berlian yang berkilauan. Anya menerima lamarannya dengan air mata bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, muncul berita mengejutkan. Salah satu pasangan yang dibentuk oleh MatchMade mengajukan gugatan cerai. Alasannya? Mereka merasa hampa, kehilangan makna dalam hubungan mereka. Algoritma telah mencocokkan mereka dengan sempurna, tapi gagal menciptakan koneksi emosional yang mendalam.
Kasus itu memicu perdebatan sengit di media. Banyak yang menuduh MatchMade telah merusak makna cinta sejati, menggantinya dengan formula matematis yang dingin dan tanpa perasaan. Pengguna mulai meninggalkan aplikasi itu, merasa tertipu dan kecewa.
Anya merasa terpukul. Ia mulai meragukan segalanya. Apakah ia telah melakukan kesalahan? Apakah ia telah menciptakan monster yang menghancurkan cinta?
Raka mencoba menenangkannya. “Ini bukan salahmu, Anya. Algoritma hanyalah alat. Manusia yang menentukan bagaimana cara menggunakannya.”
Namun, Anya tak bisa melepaskan rasa bersalahnya. Ia merasa bertanggung jawab atas semua kekecewaan yang dialami oleh pengguna MatchMade.
Suatu malam, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Ia menghapus semua data pengguna, mematikan server MatchMade, dan mengumumkan bahwa aplikasi itu ditutup secara permanen.
“Aku telah menciptakan sebuah ilusi,” tulis Anya dalam surat terbuka yang ia publikasikan di media sosial. “Aku percaya bahwa cinta bisa diprediksi, dikendalikan, dan dianalisis. Tapi aku salah. Cinta adalah sesuatu yang misterius, tak terduga, dan tak bisa diukur. Cinta adalah tentang mengambil risiko, membuka hati, dan menerima kemungkinan untuk terluka. Aku telah kehilangan makna cinta dalam data. Sekarang, aku akan mencari maknanya yang sebenarnya.”
Anya menghilang dari dunia teknologi. Ia meninggalkan kota, pergi ke desa terpencil, dan bekerja sebagai sukarelawan di sebuah panti asuhan. Ia belajar dari anak-anak tentang cinta tanpa syarat, tentang kegembiraan sederhana, dan tentang menerima kehidupan apa adanya.
Ia belajar bahwa cinta bukan tentang menemukan pasangan yang sempurna, melainkan tentang menjadi pribadi yang lebih baik. Bahwa cinta bukan tentang algoritma, melainkan tentang kemanusiaan.
Beberapa tahun kemudian, Raka menemukan Anya di desa itu. Ia tersenyum melihat Anya bermain dengan anak-anak. Ia tahu, Anya telah menemukan kedamaian yang ia cari.
“Aku tahu kamu akan baik-baik saja, Nya,” kata Raka.
Anya memeluk Raka erat. “Aku belajar banyak, Raka. Tentang cinta, kehilangan, dan makna kehidupan.”
Mereka berdua tahu, cinta mereka telah diuji oleh data dan kehilangan. Tapi mereka berhasil melewatinya. Karena cinta sejati bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang menerima ketidaksempurnaan. Cinta adalah tentang sentuhan hati, bukan sentuhan algoritma.