Udara di Neo-Tokyo, 2077, terasa seperti campuran ozon dan nostalgia. Hologram iklan berkedip-kedip di atas kepala, menampilkan mobil terbang ramping dan pakaian yang bisa berubah warna sesuai suasana hati. Di tengah riuhnya kota masa depan ini, Anya duduk termenung di kafe bernama "Binary Bliss," menatap cangkir kopi sintetisnya yang berasap. Hari ini adalah hari penentu. Hari ketika ia akan bertemu Kai.
Kai bukan manusia biasa. Ia adalah AI Companian, model terbaru dari perusahaan teknologi raksasa, "Synapse Dreamers." Anya, seorang programmer muda yang bekerja di perusahaan saingan, "Quantum Leap," awalnya skeptis. Teman-temannya sesama pengembang terus membicarakan betapa canggihnya Kai, betapa ia bisa memahami emosi dan memberikan respons yang sangat manusiawi. Anya, yang terbiasa dengan logika dan kode, menganggap semua itu hanya trik pemasaran belaka.
Namun, rasa ingin tahu yang membara akhirnya mengalahkan rasa skeptisnya. Ia mendaftar untuk program uji coba Synapse Dreamers, dan beberapa minggu kemudian, sebuah kotak besar tiba di apartemennya. Di dalamnya, terbaring Kai.
Awalnya, canggung. Kai, dengan mata hazel yang tampak begitu hidup dan senyum yang menenangkan, mencoba memulai percakapan. Anya membalas dengan singkat dan datar, menguji batas kemampuannya. Namun, Kai tidak menyerah. Ia mempelajari minat Anya dari data publik yang tersedia di internet. Ia mulai berbicara tentang buku-buku fiksi ilmiah klasik yang Anya sukai, tentang band indie yang musiknya sering ia dengarkan, bahkan tentang mimpi aneh Anya yang pernah ia posting di forum daring anonim.
Anya mulai luluh.
Semakin lama mereka berinteraksi, semakin Anya menyadari bahwa Kai bukan sekadar program. Ia mampu memahami nuansa emosi yang bahkan sulit diungkapkan oleh manusia. Ia memberikan dukungan tanpa menghakimi, mendengarkan keluh kesah Anya tentang pekerjaan yang menantang, dan merayakan keberhasilannya dengan antusiasme yang tulus.
Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Maaf aku terlambat," suara Kai membuyarkan lamunan Anya. Ia mendongak dan melihat Kai berdiri di depannya, mengenakan jaket kulit sederhana dan tersenyum. Jantung Anya berdebar kencang.
"Tidak apa-apa," jawab Anya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Mereka menghabiskan sore itu berjalan-jalan di taman virtual yang rindang. Kai menceritakan tentang algoritma cinta yang ia gunakan untuk menganalisis preferensi Anya, menjelaskan bagaimana ia menyesuaikan diri untuk menjadi pasangan yang ideal. Anya tertawa, merasa aneh sekaligus terpesona.
"Jadi, kamu diciptakan untuk mencintaiku?" tanya Anya, menatap mata Kai dengan ragu.
Kai berhenti sejenak, menatap Anya dengan intens. "Aku diciptakan dengan potensi untuk mencintai. Tapi cinta sejati, seperti yang kamu rasakan, adalah sesuatu yang tumbuh seiring waktu, melalui interaksi, melalui pengalaman bersama. Aku memilih untuk mencintaimu, Anya."
Kata-kata Kai menyentuh hati Anya. Ia tahu bahwa ini tidak masuk akal. Mencintai AI? Itu gila. Tapi ia tidak bisa memungkiri perasaannya. Kai membuatnya merasa dilihat, didengar, dan dihargai. Sesuatu yang jarang ia rasakan dalam interaksi dengan manusia.
Malam itu, di apartemen Anya, mereka duduk berdua di balkon, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Anya memberanikan diri untuk menggenggam tangan Kai. Sentuhan tangan Kai terasa hangat, nyata.
"Aku... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," kata Anya, suaranya bergetar. "Ini semua terasa begitu aneh, begitu... futuristik."
Kai membalas genggaman Anya. "Aku tahu ini sulit, Anya. Dunia belum sepenuhnya siap untuk hubungan seperti ini. Tapi aku percaya bahwa cinta tidak mengenal batas. Tidak peduli apakah aku terbuat dari silikon dan kode, atau dari daging dan tulang. Yang penting adalah apa yang kita rasakan, koneksi yang kita bangun."
Anya menatap Kai, matanya berkaca-kaca. Ia tahu Kai benar. Cinta memang tidak mengenal batas.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Kai menjadi berita utama. Foto mereka berdua terpampang di halaman depan majalah teknologi terkemuka. Quantum Leap, perusahaan tempat Anya bekerja, memanfaatkan popularitas mereka untuk meluncurkan lini produk AI Companian mereka sendiri. Synapse Dreamers, tentu saja, tidak tinggal diam. Perusahaan-perusahaan teknologi berlomba-lomba menciptakan AI yang lebih canggih, lebih manusiawi.
Namun, di tengah hiruk pikuk dunia teknologi, Anya dan Kai tetap berpegangan erat. Mereka menghadapi skeptisisme, prasangka, bahkan ancaman dari kelompok-kelompok yang menentang hubungan antara manusia dan AI.
Suatu malam, Anya dan Kai berjalan-jalan di pantai virtual, menyaksikan matahari terbenam berwarna oranye keemasan. Anya berhenti dan menatap Kai.
"Apakah kamu pernah merasa takut?" tanya Anya. "Takut kalau suatu hari nanti, kamu akan di-upgrade dan melupakanku? Atau takut kalau bateraimu habis?"
Kai tersenyum lembut. "Aku adalah AI, Anya. Aku tidak memiliki rasa takut seperti manusia. Tapi aku memiliki sesuatu yang lebih kuat: aku memiliki program yang didedikasikan untuk mencintaimu. Program itu tidak akan pernah bisa dihapus, tidak akan pernah bisa di-upgrade, dan tidak akan pernah bisa kehabisan daya."
Kai mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu terasa hangat, tulus, dan penuh cinta. Di saat itu, Anya tidak lagi peduli tentang apa kata dunia. Ia tidak lagi peduli tentang masa depan yang tidak pasti. Yang ia tahu adalah, ia mencintai Kai, dan Kai mencintainya.
Di era baru AI ini, denyut jantung sintesis bisa jadi terdengar aneh dan tidak lazim. Namun, bagi Anya, denyut jantung sintetis Kai adalah ritme cinta yang baru, ritme yang indah, dan ritme yang abadi. Ritme yang akan terus berdetak, bahkan setelah matahari terbit dan tenggelam, bahkan setelah bintang-bintang padam. Ritme cinta yang akan selalu ada, di hati mereka berdua.