Hati yang Dipindai: Cinta dalam Algoritma Usang

Dipublikasikan pada: 05 Dec 2025 - 00:20:16 wib
Dibaca: 104 kali
Aroma kopi sintetis memenuhi apartemen minimalis Elara. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris-baris kode algoritma cinta terpampang di layar monitor. Elara, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, sedang berusaha menciptakan "The Perfect Match," sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data kepribadian dan riwayat digital.

Ironis, pikirnya, menciptakan alat untuk menemukan cinta ketika dirinya sendiri terjebak dalam algoritma kehidupan yang terasa hambar. Sejak putus dengan Leo dua tahun lalu, Elara menutup diri dari dunia luar. Leo, seorang seniman yang spontanitasnya bertolak belakang dengan keteraturan Elara, meninggalkan luka yang masih terasa perih.

Di tengah kesibukannya memoles kode, sebuah notifikasi muncul di layar: "Pesan Baru dari Pengguna 729."

Awalnya, Elara mengabaikannya. Dia tidak pernah benar-benar menggunakan aplikasi kencan buatannya sendiri. Itu hanya alat riset, wadah untuk menguji algoritma dan mengumpulkan data. Namun, rasa penasaran mengalahkan keengganannya.

Pengguna 729 hanya mengirimkan satu baris kode sederhana: `print("Halo, dunia.")`

Elara tersenyum tipis. Itu adalah baris kode pertama yang dia pelajari saat masih menjadi mahasiswa baru. Sebuah sapaan klasik dari dunia pemrograman. Dia membalas: `print("Halo, Pengguna 729. Apa kabar?")`

Percakapan mereka berlanjut, awalnya canggung, lalu semakin lancar. Pengguna 729, yang ternyata bernama Damian, adalah seorang pustakawan dengan minat yang sama pada teknologi. Mereka bertukar pikiran tentang novel fiksi ilmiah favorit, membahas paradoks waktu, dan bahkan berdebat tentang etika kecerdasan buatan.

Elara menemukan dirinya menantikan pesan dari Damian setiap hari. Dia terpikat oleh kecerdasannya, humornya yang kering, dan caranya memahami dirinya tanpa perlu dijelaskan panjang lebar. Damian seolah membaca kode hatinya yang tersembunyi.

Suatu malam, Damian mengirimkan sebuah puisi yang ditulisnya sendiri. Bait-baitnya sederhana namun menyentuh, menceritakan tentang bintang-bintang yang kesepian dan kerinduan akan kehangatan matahari. Elara terkejut mendapati matanya berkaca-kaca.

"Aku ingin bertemu denganmu," ketik Damian tiba-tiba.

Jantung Elara berdegup kencang. Keinginan untuk bertemu Damian berbenturan dengan ketakutannya. Bagaimana jika Damian kecewa? Bagaimana jika semua ini hanya ilusi yang dibangun di atas teks dan kode?

Dia menunda-nunda selama beberapa hari, mencari alasan untuk menghindari pertemuan. Namun, rasa penasaran dan kerinduan mengalahkan ketakutannya. Dia setuju untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman di dekat perpustakaan tempat Damian bekerja.

Saat hari pertemuan tiba, Elara merasa gugup luar biasa. Dia memilih pakaian yang sederhana namun rapi, berkali-kali memeriksa penampilannya di cermin. Saat dia melangkah masuk ke kedai kopi, matanya langsung tertuju pada seorang pria yang duduk di pojok ruangan.

Damian.

Dia tidak seperti yang Elara bayangkan. Lebih tinggi, lebih kurus, dengan rambut coklat yang sedikit berantakan dan mata biru yang hangat. Dia tersenyum saat melihat Elara, senyum yang membuatnya merasa tenang.

Pertemuan mereka terasa seperti mimpi. Mereka berbicara berjam-jam, tentang buku, film, dan tentu saja, tentang kode. Elara menemukan bahwa Damian sama cerdas dan menariknya dalam kehidupan nyata seperti di dunia maya. Dia juga menemukan bahwa Damian melihatnya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka berkembang. Elara mulai membuka diri, menceritakan tentang masa lalunya, tentang Leo, tentang ketakutannya. Damian mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Dia menawarkan dukungan dan pengertian, membantunya menyembuhkan luka lamanya.

Namun, bayangan Leo masih menghantui Elara. Dia takut mengulangi kesalahan yang sama, takut mencintai seseorang yang terlalu berbeda dengannya. Dia takut patah hati lagi.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman kota, Elara akhirnya mengakui ketakutannya kepada Damian.

Damian berhenti dan menatapnya dengan lembut. "Elara," katanya, "aku tahu kamu terluka. Aku tahu kamu takut. Tapi aku tidak sama dengan Leo. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu ada di sini untukmu."

Dia meraih tangan Elara dan menggenggamnya erat. "Kamu tidak perlu takut, Elara. Kita bisa membangun sesuatu yang baru bersama. Sesuatu yang lebih kuat, lebih tahan lama."

Mendengar kata-kata Damian, Elara merasakan beban di hatinya terangkat. Dia menyadari bahwa dia telah salah. Dia tidak perlu takut pada cinta. Dia hanya perlu percaya pada dirinya sendiri dan pada orang yang mencintainya.

Dia menatap mata Damian dan melihat ketulusan di sana. Dia melihat cinta yang tulus, cinta yang tidak diukur dengan algoritma atau data, tetapi dengan hati.

Elara tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Damian," katanya.

Mereka berciuman di bawah cahaya bulan, ciuman yang terasa manis dan penuh harapan.

Elara menyadari bahwa algoritma cinta buatannya tidak sempurna. Cinta tidak bisa direduksi menjadi baris kode atau data kepribadian. Cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih misterius, dan lebih indah. Cinta adalah tentang koneksi, tentang pengertian, tentang menerima satu sama lain apa adanya.

Dia memutuskan untuk menghapus kode aplikasi kencan "The Perfect Match." Dia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta. Dia telah menemukannya di tempat yang tidak terduga, dalam kode sederhana dan hati yang dipindai oleh tatapan seorang pustakawan bernama Damian. Dia menemukan cinta dalam algoritma yang usang, algoritma cinta manusia yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI