Cinta di Balik Layar: Algoritma Mempertemukan, Hati Memutuskan

Dipublikasikan pada: 05 Nov 2025 - 02:20:14 wib
Dibaca: 136 kali
Debu digital berterbangan di antara jemari Anya, menari-nari di atas layar laptopnya. Ia menghela napas, menatap barisan kode yang rumit. Sebagai seorang data scientist, dunianya adalah angka, algoritma, dan prediksi. Tapi malam ini, prediksinya meleset jauh dari sasaran. Ia seharusnya sudah tidur, mempersiapkan presentasi penting besok pagi. Namun, pikirannya terpaku pada notifikasi yang baru saja muncul: "Soulmate Match! Profil Anda cocok dengan profil pengguna bernama Raka."

Aplikasi "Soulmate Sync" itu memang proyek sampingannya. Iseng saja. Ia menciptakan algoritma yang, katanya, mampu mencocokkan kepribadian berdasarkan data aktivitas daring, preferensi, dan jawaban kuis yang sangat detail. Awalnya hanya untuk seru-seruan bersama teman-temannya. Tapi, kemudian, ia memutuskan untuk mengunggahnya ke Play Store, sekadar ingin tahu seberapa efektif algoritma buatannya.

Raka? Nama itu asing. Anya mengklik profil tersebut. Foto seorang pria tersenyum hangat, dengan mata yang seolah menertawakan dunia. Deskripsinya singkat: "Pecinta kopi, pemburu senja, dan pengagum logika." Anya tertegun. Ia sendiri suka kopi, selalu menyempatkan diri menyaksikan senja, dan pekerjaannya pun menuntut logika tanpa henti.

Ia menelusuri lebih jauh. Raka adalah seorang arsitek. Desain-desain bangunannya unik, berani, dan penuh inovasi. Anya mengagumi karyanya. Ada sentuhan seni yang berbeda, sesuatu yang jarang ia temukan dalam dunianya yang serba terukur.

Rasa penasaran mengalahkan logikanya. Ia mengirimkan pesan singkat: "Hai Raka. Saya Anya, pembuat Soulmate Sync. Agak aneh, tapi algoritma saya bilang kita cocok."

Balasan datang hampir seketika: "Anya? Kebetulan sekali! Saya baru saja mau menghubungi Anda. Algoritma Anda sangat akurat. Saya bahkan jadi sedikit takut."

Anya tertawa. "Takut kenapa?"

"Takut ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Saya biasanya skeptis dengan aplikasi kencan, tapi profil Anda… menarik perhatian saya."

Percakapan berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas banyak hal, mulai dari arsitektur dekonstruktif hingga teorema ketidaklengkapan Gödel. Anya merasa nyaman. Raka memahami humor sarkastiknya, menghargai kecerdasannya, dan tidak pernah membuatnya merasa perlu berpura-pura menjadi orang lain.

Hari-hari berikutnya, mereka terus berkomunikasi. Pesan teks berubah menjadi panggilan video. Mereka bertukar cerita tentang masa kecil, mimpi-mimpi yang belum terwujud, dan kekecewaan-kekecewaan yang membekas. Anya menyadari, Raka bukan hanya sekadar kecocokan algoritmik. Ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah koneksi emosional yang sulit dijelaskan.

Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu. Di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman, di bawah langit Jakarta yang mendung. Ketika Raka datang, Anya merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia persis seperti yang ia bayangkan: hangat, ramah, dan menenangkan.

Mereka menghabiskan sore itu berbicara tanpa henti, seolah sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Anya menemukan dirinya tertawa lepas, melupakan presentasi yang menantinya besok. Raka menatapnya dengan mata berbinar, seolah ia adalah karya seni terindah yang pernah ia lihat.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, sebuah keraguan mulai menghantuinya. Apakah perasaan ini nyata? Apakah mereka benar-benar saling mencintai, atau hanya terpikat oleh kesempurnaan yang diciptakan algoritma? Apakah ini cinta, atau sekadar validasi dari sebuah kode?

Keesokan harinya, Anya memberikan presentasinya dengan gemetar. Pikirannya bercabang. Ia berhasil mempresentasikan data dengan baik, tapi hatinya tidak tenang. Ia memikirkan Raka, pertemuan mereka, dan keraguan yang terus menggerogoti.

Setelah presentasi selesai, ia langsung menghubungi Raka. Ia harus jujur, mengungkapkan semua ketakutannya.

"Raka," katanya dengan gugup. "Saya… saya bingung. Apakah kita benar-benar cocok, atau ini hanya ilusi yang diciptakan algoritma?"

Raka terdiam sejenak. Lalu, ia berkata dengan lembut, "Anya, algoritma hanya mempertemukan kita. Ia menunjukkan bahwa secara data, kita memiliki banyak kesamaan. Tapi, perasaan yang kita rasakan, koneksi yang kita bangun… itu semua nyata. Itu adalah pilihan kita."

Ia melanjutkan, "Algoritma mungkin membantu menemukan benih, tapi kitalah yang menanamnya, menyiraminya, dan membiarkannya tumbuh. Jika kita hanya terpaku pada data, kita akan kehilangan keindahan prosesnya."

Kata-kata Raka menenangkan hatinya. Ia menyadari, Raka benar. Algoritma hanyalah alat. Alat yang membantunya menemukan seseorang yang istimewa. Tapi, cinta itu sendiri, adalah pilihan. Pilihan untuk membuka hati, untuk menerima kekurangan, dan untuk tumbuh bersama.

Anya menarik napas dalam-dalam. "Saya… saya rasa kamu benar. Saya takut terlalu cepat terbawa suasana. Tapi, saya ingin mencobanya. Saya ingin melihat ke mana ini akan membawa kita."

Raka tersenyum. "Saya juga, Anya. Saya juga."

Sejak hari itu, mereka memutuskan untuk melangkah maju, tidak lagi terpaku pada algoritma yang mempertemukan mereka, tapi fokus pada membangun hubungan yang tulus dan bermakna. Mereka belajar saling menerima, saling mendukung, dan saling mencintai.

Anya masih seorang data scientist, masih mencintai angka dan algoritma. Tapi, ia juga belajar bahwa cinta tidak selalu bisa diukur atau diprediksi. Terkadang, cinta tumbuh di tempat yang paling tak terduga, bahkan di balik layar kode dan data. Dan terkadang, algoritma memang bisa mempertemukan, tapi hati yang memutuskan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI