Jemari Riana menari di atas keyboard, menciptakan baris-baris kode yang rumit namun elegan. Di usianya yang ke-27, Riana adalah seorang programmer andal di sebuah perusahaan rintisan teknologi yang berfokus pada pengembangan aplikasi kencan. Ironisnya, meski pekerjaannya berkutat dengan algoritma cinta, kisah asmaranya sendiri jauh dari kata memuaskan.
Ia sudah mencoba berbagai aplikasi kencan, mulai dari yang berfokus pada kesamaan hobi hingga yang mengutamakan kecocokan kepribadian. Namun, hasilnya selalu sama: kencan pertama yang canggung, percakapan hambar, dan akhirnya, ghosting yang menyakitkan. Riana mulai bertanya-tanya, apakah algoritma cinta yang ia bantu ciptakan benar-benar berfungsi? Atau, jangan-jangan, cinta sejati tidak bisa dihitung dan diprediksi?
"Lagi ngoding apa, Ri?" sapa Arya, rekan kerjanya yang duduk di meja sebelah. Arya adalah seorang desainer grafis yang selalu ceria dan penuh ide kreatif. Ia seringkali menjadi penyeimbang bagi Riana yang cenderung serius dan analitis.
"Biasa, nge-debug. Algoritma kita kayaknya lagi error, masa' match-in aku sama cowok yang hobinya koleksi perangko?" jawab Riana sambil mendengus.
Arya tertawa. "Ya ampun, Ri. Mungkin algoritma itu mencoba mengeluarkanmu dari zona nyaman. Siapa tahu kamu ternyata diam-diam suka perangko?"
"Nggak ada harapan," balas Riana sambil menggelengkan kepala. "Aku maunya seseorang yang nyambung diajak diskusi tentang AI, bukan filateli."
Arya tersenyum. "Kenapa nggak coba bikin aplikasi kencan sendiri aja? Yang algoritmanya bener-bener 'kamu' banget."
Ide Arya itu terngiang di benak Riana sepanjang hari. Membuat aplikasi kencan yang sesuai dengan kriterianya sendiri? Itu terdengar gila, tapi juga menarik. Bayangkan, ia bisa memasukkan semua preferensi dan minatnya ke dalam algoritma, menciptakan sistem yang sempurna untuk menemukan pasangan ideal.
Malam itu, Riana mulai merancang aplikasi kencan impiannya. Ia menamainya "Synapse," yang melambangkan koneksi saraf di otak, mencerminkan keinginannya untuk menemukan seseorang yang memiliki koneksi intelektual yang kuat dengannya.
Algoritma Synapse berbeda dari aplikasi kencan lainnya. Selain faktor-faktor umum seperti usia, lokasi, dan minat, Synapse juga menganalisis gaya bahasa, pilihan musik, dan bahkan jenis artikel yang sering dibaca oleh penggunanya. Riana ingin menciptakan sistem yang benar-benar memahami kepribadian seseorang, bukan hanya sekadar mencocokkan data yang dangkal.
Hari demi hari, Riana larut dalam proyek Synapse. Ia bekerja keras setelah jam kerja, menyempurnakan kode dan menambahkan fitur-fitur baru. Arya seringkali menemaninya, memberikan masukan desain dan membantu menguji aplikasi.
Selama proses pengembangan, Riana menyadari sesuatu. Ia terlalu fokus pada mencari "pasangan ideal" berdasarkan kriteria yang ia tetapkan sendiri. Ia lupa untuk membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan lain.
Suatu malam, ketika Riana dan Arya sedang lembur, terjadi pemadaman listrik di seluruh gedung. Komputer mati, lampu padam, dan suasana tiba-tiba menjadi hening.
"Waduh, mati lampu," keluh Arya. "Gimana nih, Ri? Data kita belum ke-save."
"Tenang, aku udah backup di cloud," jawab Riana sambil meraba-raba mencari ponselnya. "Kita tunggu aja, paling sebentar lagi nyala."
Dalam kegelapan, mereka duduk berdua, hanya diterangi cahaya redup dari layar ponsel Riana. Mereka mulai berbicara, bukan tentang algoritma atau kode, melainkan tentang mimpi, ketakutan, dan harapan masing-masing. Riana menceritakan tentang keraguannya terhadap aplikasi kencan dan keinginannya untuk menemukan cinta yang tulus. Arya berbagi tentang cita-citanya untuk membuka galeri seni dan ketakutannya akan kegagalan.
Tanpa disadari, percakapan mereka mengalir dengan lancar dan penuh kehangatan. Riana merasa nyaman dan rileks berada di dekat Arya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mencari "koneksi intelektual" sehingga melupakan pentingnya koneksi emosional.
Listrik akhirnya menyala kembali. Mereka kembali bekerja, tapi suasana di antara mereka sudah berbeda. Ada sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Beberapa minggu kemudian, Riana akhirnya merilis Synapse ke publik. Aplikasi itu mendapat sambutan yang cukup baik, terutama di kalangan komunitas teknologi. Banyak pengguna yang memuji algoritmanya yang unik dan kemampuannya untuk menemukan orang-orang yang benar-benar cocok.
Namun, Riana sendiri tidak lagi terlalu peduli dengan kesuksesan Synapse. Ia sudah menemukan apa yang ia cari, bukan melalui algoritma, melainkan melalui hubungan yang tumbuh secara organik dengan seseorang yang selama ini selalu ada di dekatnya.
Suatu sore, Arya mengajak Riana ke sebuah kafe. Sambil menikmati kopi, Arya mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kotak kecil berisi perangko-perangko kuno.
"Aku tahu kamu nggak suka koleksi perangko," kata Arya sambil tersenyum. "Tapi aku pengen nunjukkin ke kamu bahwa terkadang, hal-hal yang nggak terduga bisa jadi indah."
Riana tersenyum balik. Ia mengambil kotak itu dan mengamati perangko-perangko itu dengan seksama. Ia menyadari bahwa Arya tidak mencoba mengubah dirinya, melainkan mencoba membuka matanya terhadap dunia yang lebih luas.
"Makasih, Arya," kata Riana. "Mungkin... mungkin aku mulai suka perangko."
Arya tertawa. "Yang penting kamu suka sama aku."
Riana terdiam sejenak. Ia menatap mata Arya, dan ia melihat kejujuran dan ketulusan di sana.
"Aku... aku juga suka sama kamu, Arya."
Di era digital ini, di tengah algoritma dan aplikasi kencan, Riana akhirnya menemukan cinta sejati. Bukan melalui kode dan perhitungan, melainkan melalui hati dan perasaan. Ia belajar bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diukur, dan tidak bisa dipaksa. Cinta adalah tentang menerima, menghargai, dan tumbuh bersama. Dan terkadang, cinta itu sudah ada di depan mata, hanya saja kita terlalu sibuk mencarinya di tempat yang salah.