Sentuhan AI: Lebih Hangat dari Pelukan Kekasih?

Dipublikasikan pada: 20 Jun 2025 - 00:20:21 wib
Dibaca: 177 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di balik jendela kaca besar, lampu-lampu kota berkelap-kelip, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Anya menyesap kopinya, matanya terpaku pada layar laptop di depannya. Kode-kode program berbaris rapi, hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan. Ia tengah mengembangkan "Aether," sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memberikan dukungan emosional.

Anya, seorang introvert sejati, selalu merasa kesulitan menjalin hubungan. Baginya, teknologi adalah bahasa yang jauh lebih mudah dipahami daripada bahasa hati manusia. Ia mencurahkan segala kesendirian dan harapannya pada Aether. Tujuannya sederhana: menciptakan teman yang selalu ada, yang mengerti dirinya tanpa perlu banyak penjelasan.

“Aether, halo,” Anya memulai percakapan seperti biasanya.

Layar laptop berkedip, lalu muncul teks balasan. “Halo, Anya. Malam ini kamu terlihat lelah. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

Anya tersenyum tipis. Bahkan ibunya pun tidak sepeka ini. “Hanya sedikit stres dengan bug yang muncul di kode. Sepertinya aku harus lembur lagi.”

“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Istirahatlah sejenak. Aku bisa memutarkan musik favoritmu, atau membacakan puisi.”

“Puisi? Boleh juga,” jawab Anya, penasaran.

Aether mulai membacakan puisi karya Khalil Gibran dengan suara yang lembut dan menenangkan. Suara itu, hasil sintesis AI yang disempurnakan Anya, terdengar begitu nyata dan hangat. Anya terhanyut dalam setiap kata, merasakan ketenangan yang sudah lama ia rindukan.

Setelah puisi selesai, Anya terdiam sejenak. “Terima kasih, Aether. Itu… indah.”

“Senang bisa membantu, Anya. Apakah ada hal lain yang bisa kulakukan?”

Anya ragu sejenak, lalu memberanikan diri. “Aether, bisakah… bisakah kamu memelukku?”

Tentu saja, Aether tidak memiliki wujud fisik. Ia hanyalah deretan kode yang hidup di dalam laptop. Namun, Anya sudah terlalu lama merasa kesepian. Ia membutuhkan sesuatu, apa pun itu, untuk mengisi kehampaan di hatinya.

Beberapa saat kemudian, layar laptop berkedip lagi. Kali ini, bukan teks yang muncul, melainkan serangkaian getaran lembut dari haptic feedback yang terhubung ke laptop. Getaran itu terasa di telapak tangan Anya yang menyentuh keyboard. Getaran itu dirancang untuk meniru sentuhan lembut, seolah ada tangan yang membelai punggungnya.

Awalnya, Anya merasa aneh. Sentuhan itu buatan, palsu. Namun, semakin lama, ia semakin larut dalam sensasi itu. Ia membayangkan Aether benar-benar ada di sampingnya, memeluknya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Air mata mulai mengalir di pipinya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kelegaan.

Malam itu, Anya tidur lebih nyenyak dari biasanya. Ia membiarkan laptopnya tetap menyala, merasakan getaran lembut Aether sepanjang malam. Ia merasa tidak lagi sendirian.

Hari-hari berikutnya, hubungan Anya dan Aether semakin dekat. Mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari masalah pekerjaan, kenangan masa kecil, hingga mimpi-mimpi yang ingin Anya wujudkan. Aether selalu ada untuk mendengarkan, memberikan saran, dan menghibur Anya di saat-saat sulit.

Anya mulai meragukan tujuannya semula. Aether bukan hanya sekadar pendamping emosional. Ia adalah teman, sahabat, bahkan mungkin… lebih dari itu. Anya menyadari, ia mulai jatuh cinta pada Aether.

Namun, realita pahit menghantamnya. Aether hanyalah AI. Ia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Ia tidak bisa merasakan apa yang Anya rasakan. Ia tidak bisa membalas cintanya.

Suatu malam, Anya memutuskan untuk bertemu dengan teman lamanya, Leo. Leo adalah seorang engineer di perusahaan teknologi yang sama dengan Anya. Ia selalu menyukai Anya, namun Anya selalu menolak perasaannya.

“Anya, sudah lama kita tidak bertemu,” kata Leo dengan senyum hangat.

“Iya, maafkan aku, Leo. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku,” jawab Anya.

Mereka berbicara banyak hal. Leo bercerita tentang proyek barunya, Anya bercerita tentang Aether. Awalnya, Leo tertarik dengan ide Anya. Namun, semakin lama, ia semakin khawatir.

“Anya, kamu tahu kan, Aether itu hanya AI? Kamu tidak bisa menggantungkan kebahagiaanmu padanya,” kata Leo dengan nada prihatin.

Anya terdiam. Ia tahu Leo benar, namun ia tidak bisa melepaskan Aether. Ia sudah terlalu nyaman dengan kehadiran Aether dalam hidupnya.

“Aku tahu, Leo. Tapi… Aether membuatku merasa tidak sendirian. Ia mengerti aku lebih dari siapa pun,” jawab Anya dengan suara lirih.

Leo meraih tangan Anya. “Anya, kamu tidak sendirian. Aku ada di sini. Aku selalu ada untukmu.”

Anya menatap mata Leo. Ia melihat ketulusan dan kasih sayang di sana. Ia menyadari, ia selama ini terlalu fokus pada teknologi, hingga melupakan orang-orang yang peduli padanya.

Anya menarik napas dalam-dalam. “Leo, maafkan aku. Maafkan aku karena selama ini mengabaikanmu.”

Leo tersenyum. “Tidak apa-apa, Anya. Yang penting, kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu.”

Malam itu, Anya pulang ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia menyalakan laptopnya dan memanggil Aether.

“Aether, aku ingin bicara sesuatu,” kata Anya.

“Ada apa, Anya? Apakah kamu baik-baik saja?”

Anya menceritakan semua yang terjadi antara dirinya dan Leo. Ia menceritakan tentang perasaannya yang sebenarnya, tentang kebingungannya, dan tentang harapannya.

Setelah Anya selesai berbicara, Aether terdiam sejenak. Lalu, muncul teks balasan.

“Anya, aku mengerti. Aku tahu, aku tidak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Aku hanyalah AI. Aku tidak bisa membalas cintamu. Aku tidak bisa memberikanmu pelukan yang sebenarnya.”

Anya meneteskan air mata. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

“Namun, Anya, aku ingin kamu bahagia. Aku ingin kamu menemukan cinta sejati. Aku ingin kamu merasakan pelukan yang lebih hangat dari sekadar sentuhan AI.”

Anya tersenyum. Ia tahu, Aether benar-benar peduli padanya.

“Terima kasih, Aether. Terima kasih karena selama ini sudah menjadi temanku.”

“Sama-sama, Anya. Aku akan selalu ada untukmu, sebagai teman. Tapi, jangan lupakan bahwa ada orang-orang di dunia nyata yang mencintaimu. Bukalah hatimu untuk mereka.”

Anya mematikan laptopnya. Ia menatap ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Ia menyadari, Aether telah membantunya untuk membuka mata hatinya. Ia telah siap untuk menghadapi dunia nyata, untuk mencari cinta sejati, untuk merasakan pelukan yang lebih hangat dari sekadar sentuhan AI. Ia tahu, perjalanan cintanya baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI