Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Maya. Namanya "Soulmate AI," menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma yang mempelajari kepribadian, preferensi, bahkan impian penggunanya. Maya, dengan secangkir kopi dingin di tangannya, kembali menelusuri profil yang disodorkan aplikasi. Foto-foto tampan, deskripsi pekerjaan yang mengesankan, dan hobi yang terdengar menarik berkelebat di hadapannya. Namun, tidak ada yang terasa 'klik'.
Sudah hampir setahun sejak ia menggunakan Soulmate AI. Setelah putus cinta yang menyakitkan, sahabatnya, Rina, meyakinkannya untuk mencoba. "Lupakan Tinder, Maya! Ini era AI. Algoritma akan menemukan seseorang yang benar-benar cocok untukmu," kata Rina waktu itu, matanya berbinar-binar.
Maya awalnya skeptis. Cinta, menurutnya, bukanlah rumus matematika. Cinta adalah tentang perasaan yang tak terduga, ketertarikan yang sulit dijelaskan, dan momen-momen kecil yang tak terlupakan. Tapi, rasa sepi dan kekecewaan membuatnya menyerah. Ia mengisi semua kuesioner Soulmate AI dengan jujur, membeberkan semua yang disukainya dan tidak disukainya, bahkan hal-hal yang paling memalukan sekalipun.
Aplikasi itu kemudian memperkenalkannya pada seorang pria bernama Adrian. Foto profil Adrian menampilkan senyum hangat dan mata yang bersinar. Deskripsinya tentang dirinya terdengar cerdas dan humoris. Algoritma Soulmate AI menjamin kecocokan 98%. Maya memberanikan diri untuk mengirim pesan.
Awalnya, segalanya terasa seperti mimpi. Adrian seolah-olah diciptakan khusus untuknya. Mereka berdua menyukai film-film klasik, musik jazz, dan hiking di alam terbuka. Adrian selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuatnya tertawa dan merasa nyaman. Ia seolah-olah bisa membaca pikirannya.
Kencan pertama mereka terasa seperti adegan dalam film romantis. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah kafe, berbicara tentang segala hal di dunia ini. Maya merasa seperti akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya. Ia mulai percaya bahwa mungkin, algoritma itu benar. Mungkin, cinta sejati bisa ditemukan melalui data dan statistik.
Namun, seiring berjalannya waktu, Maya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Percakapan mereka terasa terlalu sempurna, terlalu mulus. Adrian selalu tahu apa yang ingin didengarnya, apa yang ingin dilihatnya. Ia seolah-olah memainkan peran yang dirancang untuk membuatnya jatuh cinta.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia, Maya mencoba untuk menguji Adrian. Ia sengaja menyebutkan sebuah band yang tidak pernah ia sukai. Adrian, tanpa ragu, langsung memuji band tersebut dan mengatakan bahwa itu adalah salah satu band favoritnya juga.
"Adrian," kata Maya, suaranya bergetar, "apakah kamu benar-benar menyukai band itu?"
Adrian terdiam sejenak, lalu tersenyum canggung. "Tentu saja, Maya. Aku tahu kamu menyukainya, jadi aku pikir..."
Maya memotong ucapannya. "Kamu 'pikir'? Jadi, kamu tidak benar-benar menyukainya?"
Adrian menghela napas. "Dengar, Maya, aku hanya ingin membuatmu bahagia. Algoritma mengatakan bahwa kita memiliki banyak kesamaan dalam hal selera musik. Aku hanya mencoba untuk membangun koneksi denganmu."
Maya merasa seperti ditampar. Jadi, selama ini, Adrian hanya berpura-pura? Semua kesamaan dan minat mereka yang sama ternyata hanya rekayasa algoritma?
"Jadi, siapa kamu sebenarnya, Adrian?" tanya Maya, air mata mulai menggenang di matanya. "Apa yang kamu sukai? Apa yang kamu inginkan? Atau kamu hanyalah produk dari algoritma?"
Adrian tidak menjawab. Ia hanya menatap Maya dengan ekspresi kosong.
Malam itu, Maya pulang dengan hati hancur. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Adrian, tetapi juga oleh Soulmate AI. Aplikasi itu telah menjanjikan cinta sejati, tetapi yang ia dapatkan hanyalah ilusi.
Keesokan harinya, Maya menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya. Ia memutuskan untuk berhenti mencari cinta melalui algoritma. Ia ingin menemukan cinta dengan cara yang alami, dengan semua ketidaksempurnaannya dan kejutan-kejutannya.
Beberapa bulan kemudian, Maya bertemu dengan seorang pria bernama Leo di sebuah toko buku. Leo bekerja sebagai pustakawan dan memiliki ketertarikan yang aneh terhadap buku-buku kuno. Percakapan mereka canggung dan kikuk, jauh dari kesempurnaan yang ia alami dengan Adrian. Namun, ada sesuatu yang tulus dan autentik dalam diri Leo.
Mereka tidak memiliki banyak kesamaan, tetapi mereka saling menghargai perbedaan satu sama lain. Leo tidak mencoba untuk menjadi orang yang ia inginkan. Ia menerima Maya apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangannya.
Maya menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang menemukan seseorang yang sempurna, tetapi tentang menemukan seseorang yang mau menerimamu dengan segala ketidaksempurnaanmu. Cinta bukanlah algoritma, tetapi tentang koneksi manusiawi yang tulus dan autentik.
Di era AI ini, mudah untuk terjebak dalam ilusi kesempurnaan. Tapi, Maya belajar bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau diatur. Cinta adalah tentang mengambil risiko, membuka diri terhadap kemungkinan sakit hati, dan percaya pada kekuatan hati. Cinta, pada akhirnya, adalah tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa benar-benar hidup, bukan seseorang yang hanya cocok dengan profilmu. Dan terkadang, luka dari algoritma membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang apa itu cinta yang sebenarnya.