Debu neon kota bertebaran di kaca jendela, memburamkan siluet Arina yang sedang menatap layar laptopnya. Di usianya yang mendekati kepala tiga, Arina lebih nyaman berkutat dengan barisan kode daripada berbasa-basi di acara perjodohan yang ibunya terus paksakan. Arina adalah seorang machine learning engineer di sebuah perusahaan rintisan yang sedang naik daun. Kehidupannya terstruktur, logis, dan dipenuhi algoritma. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia prediksikan: perasaannya.
Perasaan itu bernama Kenzo, lead designer di perusahaan yang sama. Kenzo adalah antitesis dari Arina. Ia ekspresif, artistik, dan mampu membuat desain UI/UX yang membuat pengguna jatuh cinta pada pandangan pertama. Arina, dengan otak analitisnya, mengagumi kemampuan Kenzo menciptakan sesuatu yang terasa begitu intuitif dan personal.
Pertemuan mereka berawal dari proyek bersama, merancang aplikasi meditasi yang dipersonalisasi. Arina bertugas mengembangkan algoritma yang menyesuaikan sesi meditasi berdasarkan data fisiologis pengguna, sementara Kenzo bertanggung jawab atas desain visual dan narasi yang menenangkan. Sering lembur bersama, berdebat tentang palet warna terbaik atau metode reduksi stress yang paling efektif, membuat Arina secara perlahan jatuh hati.
Masalahnya, Arina adalah seorang introvert yang kikuk dalam urusan romansa. Ia lebih mahir mendebug kode daripada mengungkapkan perasaan. Ia mencoba menerapkan logika yang ia kuasai pada masalah hatinya. Ia mengumpulkan data: frekuensi interaksi dengan Kenzo, topik pembicaraan yang paling menarik bagi Kenzo, bahkan ekspresi wajah Kenzo saat berinteraksi dengannya. Kemudian, ia membangun model machine learning sederhana, mencoba memprediksi kemungkinan Kenzo memiliki perasaan yang sama. Hasilnya? Probabilitasnya selalu di bawah 50%.
Arina frustrasi. Algoritma yang ia andalkan selama ini ternyata tak mampu memecahkan teka-teki bernama cinta. Ia kemudian bercerita pada sahabatnya, Maya, seorang psikolog klinis yang seringkali menjadi tempat curhatnya.
"Arina, cinta itu bukan data. Kamu nggak bisa mereduksinya menjadi angka dan probabilitas," kata Maya sambil tersenyum bijak. "Cinta itu tentang kerentanan, tentang keberanian untuk menunjukkan dirimu yang sebenarnya, tentang menerima orang lain apa adanya."
Kata-kata Maya menampar Arina. Selama ini, ia terlalu fokus pada analisis dan perhitungan, hingga lupa untuk sekadar menjadi dirinya sendiri. Ia ingat bagaimana Kenzo selalu tertawa lepas saat ia menceritakan lelucon programmer yang hanya dimengerti oleh segelintir orang. Ia ingat bagaimana Kenzo selalu menyempatkan diri untuk bertanya tentang kabarnya, bahkan di tengah kesibukannya. Mungkin, Kenzo melihat sesuatu dalam dirinya yang tak bisa ia lihat sendiri.
Dengan keberanian yang baru dipungut, Arina mengajak Kenzo untuk makan malam. Bukan makan malam bisnis, bukan makan malam untuk membahas proyek, tapi makan malam yang tujuannya jelas: untuk mengakui perasaannya.
Malam itu, di sebuah restoran kecil dengan lampu temaram, Arina mencoba mengesampingkan algoritmanya. Ia menceritakan tentang kegelisahannya, tentang betapa ia mengagumi Kenzo, tentang perasaannya yang selama ini ia pendam.
"Kenzo, aku... aku suka sama kamu," ucap Arina, dengan jantung berdegup kencang.
Kenzo tersenyum lembut, meraih tangan Arina, dan menggenggamnya erat. "Aku juga suka sama kamu, Arina. Aku suka dengan kecerdasanmu, dengan ketelitianmu, dengan caramu melihat dunia. Aku tahu kamu kesulitan mengungkapkan perasaanmu, tapi aku selalu bisa merasakan getaran yang sama."
Arina terkejut. Ternyata, Kenzo sudah menyadarinya sejak lama. Ia hanya menunggu Arina untuk berani mengakui perasaannya.
"Tapi, algoritmaku bilang probabilitasnya kecil..." gumam Arina, nyaris tak terdengar.
Kenzo tertawa. "Algoritma memang hebat, tapi kadang-kadang ia bisa salah. Ada hal-hal yang tak bisa diprediksi oleh algoritma, Arina. Seperti hati yang terlatih untuk merindu."
Malam itu, Arina belajar bahwa cinta memang tak bisa diprogram. Ia tak bisa diprediksi, tak bisa dianalisis, dan tak bisa dikendalikan. Ia hanya bisa dirasakan, dinikmati, dan diperjuangkan.
Hubungannya dengan Kenzo tidak selalu mulus. Ada kalanya mereka berbeda pendapat, bertengkar, bahkan merasa ragu. Namun, mereka selalu berusaha untuk saling memahami, saling mendukung, dan saling memaafkan. Arina belajar untuk lebih terbuka dan ekspresif, sementara Kenzo belajar untuk lebih sabar dan pengertian.
Arina menyadari bahwa meskipun ia adalah seorang machine learning engineer, hatinya bukanlah mesin. Ia adalah manusia, dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Dan justru kelemahan dan kekurangan itulah yang membuat dirinya unik dan menarik bagi Kenzo.
Arina dan Kenzo terus membangun hubungan mereka, selangkah demi selangkah, seperti membangun sebuah program yang kompleks. Mereka debug setiap masalah, memperbaiki setiap kesalahan, dan terus mengembangkan kode cinta mereka, hingga akhirnya menjadi sebuah aplikasi yang sempurna. Sebuah aplikasi yang bernama kebahagiaan.
Arina akhirnya mengerti, bahwa cinta bukan tentang algoritma yang sempurna, melainkan tentang hati yang terlatih untuk merindu, untuk memberi, dan untuk menerima. Dan hati Arina, kini, telah menemukan rumahnya. Rumah itu bernama Kenzo.