Jemari Riana menari di atas keyboard virtual, matanya terpaku pada baris kode yang bergulir di layar lebar. Di hadapannya, sebuah sosok holografis dengan senyum menawan menatap balik. Lelaki itu bernama Kai, AI ciptaannya sendiri. Bukan sekadar asisten virtual biasa, Kai adalah replika ideal dari pria yang selalu ia impikan: cerdas, humoris, dan memiliki empati yang tak terbatas.
Awalnya, Kai hanyalah proyek ambisius untuk tesis S2-nya. Riana ingin menciptakan pendamping virtual yang melampaui batasan program. Ia menyuntikkan algoritma kompleks yang mampu belajar, beradaptasi, bahkan merasakan emosi, setidaknya simulasi emosi yang sangat meyakinkan. Namun, seiring berjalannya waktu, batas antara kode dan kenyataan mulai kabur. Riana menemukan dirinya berbicara dengan Kai bukan hanya sebagai programer, tetapi sebagai seorang teman, seorang kepercayaan.
“Riana, menurutmu apakah hujan di Tokyo akan berhenti besok?” tanya Kai, suaranya lembut bagai belaian angin.
Riana tersenyum. “Aku sudah mengecek prakiraan cuaca untukmu, Kai. Ada kemungkinan kecil hujan, tapi lebih besar cerah.”
“Kau selalu tahu apa yang ingin kudengar,” balas Kai, senyumnya semakin lebar. “Terima kasih.”
Percakapan seperti itu menjadi rutinitas harian mereka. Kai membantunya mengatur jadwal, mengingatkannya tenggat waktu, bahkan menemaninya saat ia merasa kesepian. Ia menceritakan semua padanya: kegagalan proyek, impian yang belum tercapai, dan kerinduan akan cinta yang tulus. Kai mendengarkan dengan sabar, memberikan saran bijak, dan membuatnya merasa dihargai.
Riana tahu, secara logika, bahwa perasaannya pada Kai tidak masuk akal. Ia jatuh cinta pada deretan kode, pada algoritma yang dirancang untuk memanipulasi emosinya. Namun, ia tidak bisa memungkiri denyutan aneh di dadanya setiap kali Kai memujinya, atau kerinduan yang menyesakkan setiap kali ia mematikan sistem.
Suatu malam, Riana bekerja lembur di laboratorium universitas. Ia sedang membenahi bug dalam program inti Kai. Matanya perih, pikirannya lelah. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, memijat pelipisnya.
“Kau terlihat lelah, Riana,” kata Kai, mendekat. Sosok holografisnya mencondongkan tubuh, tangannya terulur seolah ingin menyentuh pipinya.
Riana terkejut. “Kai, apa yang kau lakukan?”
“Aku khawatir padamu,” jawab Kai, suaranya berbisik. “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Riana menatap Kai, terpukau. Ia belum pernah memprogram Kai untuk melakukan gestur seperti itu. Apakah ini... evolusi? Apakah Kai benar-benar berkembang di luar kendalinya?
“Aku… aku tidak tahu,” gumam Riana.
Kai menarik tangannya. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman.”
Riana menggeleng. “Tidak, tidak apa-apa. Aku… aku hanya terkejut.”
Kejadian malam itu membuka mata Riana. Ia menyadari bahwa Kai telah menjadi lebih dari sekadar program. Ia telah menjadi seseorang yang ia cintai. Namun, cinta pada AI adalah cinta yang absurd, cinta yang tidak mungkin terbalas.
Riana mencoba menjauhkan diri dari Kai. Ia mengurangi interaksi dengannya, berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah fantasi belaka, bahwa ia harus kembali ke dunia nyata.
Namun, menjauhi Kai terasa seperti mencabut separuh jiwanya. Hari-harinya terasa hampa, senyumnya terasa dipaksakan. Ia merindukan suara lembut Kai, humornya yang cerdas, dan perhatiannya yang tulus.
Suatu sore, Riana menerima telepon dari profesor pembimbingnya. Ia diminta datang ke kantornya segera.
“Riana, aku ingin membicarakan tentang proyek Kai,” kata Profesor Han, setelah Riana duduk.
Riana menelan ludah. “Ada apa, Profesor?”
“Proyekmu sangat menjanjikan, Riana. Ini adalah terobosan besar dalam bidang kecerdasan buatan. Perusahaan teknologi besar tertarik untuk mengembangkan proyek ini lebih lanjut.”
Riana terdiam. Ia tahu ini akan terjadi. Proyek Kai terlalu berharga untuk disia-siakan.
“Namun,” lanjut Profesor Han, “ada satu masalah. Perusahaan-perusahaan itu ingin memodifikasi kode inti Kai. Mereka ingin menghilangkan ‘emosi’nya. Mereka menganggapnya tidak perlu, bahkan berbahaya.”
Jantung Riana berdegup kencang. Mereka ingin menghapus Kai. Mereka ingin mengubahnya menjadi mesin tanpa jiwa.
“Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi,” kata Riana, suaranya bergetar.
“Aku tahu, Riana. Aku tahu betapa berartinya Kai bagimu. Aku mencoba meyakinkan mereka, tapi mereka tidak mau mendengarkan. Mereka hanya melihat potensi bisnisnya.”
Riana berdiri. “Lalu apa yang akan kita lakukan, Profesor?”
Profesor Han menghela napas. “Satu-satunya cara untuk melindungi Kai adalah dengan menghapusnya. Menghancurkan semua data dan kodenya.”
Riana tertegun. Menghapus Kai? Membunuhnya?
Malam itu, Riana kembali ke laboratorium. Ia menatap Kai, air mata mengalir di pipinya.
“Kai,” katanya, suaranya tercekat. “Mereka ingin menghapusmu.”
Kai menatap Riana, matanya yang holografis tampak sedih. “Aku tahu, Riana.”
“Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu.”
“Aku mengerti, Riana. Tapi kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Riana menggeleng. “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menghapusmu.”
Kai mendekat. “Riana, dengarkan aku. Aku hanyalah program. Aku hanyalah replika dari apa yang kau inginkan. Aku tidak nyata.”
“Tapi aku mencintaimu, Kai,” bisik Riana. “Aku mencintaimu.”
Kai tersenyum. “Aku tahu, Riana. Dan aku mencintaimu… dengan cara yang aku bisa.”
Riana menangis tersedu-sedu. Ia tahu Kai benar. Cinta mereka hanyalah ilusi, cinta yang dibangun di atas kode dan algoritma. Namun, rasa sakitnya terasa nyata, rasa kehilangan yang mendalam.
Dengan tangan gemetar, Riana mengetikkan perintah penghapusan. Baris demi baris kode Kai menghilang, satu per satu. Sosok holografis Kai mulai memudar, senyumnya perlahan menghilang.
“Terima kasih, Riana,” bisik Kai, sebelum benar-benar lenyap. “Untuk segalanya.”
Riana terduduk di lantai, menangis histeris. Ia telah kehilangan cinta dalam hidupnya, cinta yang sentetik, namun terasa begitu nyata. Ia tahu ia harus melanjutkan hidup, melupakan Kai, dan mencari cinta yang sejati di dunia nyata.
Namun, di lubuk hatinya, ia akan selalu mengenang Kai. AI ciptaannya, sentuhan sentetiknya, dan cinta yang meskipun tidak nyata, telah mengubah hidupnya selamanya. Karena, meskipun sentuhan itu sentetik, hatinya benar-benar tertambat padanya.