Angin malam Jakarta menyelinap masuk melalui celah jendela apartemenku yang sengaja kubiarkan terbuka. Pikiranku kalut, lebih berantakan dari kabel-kabel charger yang menjuntai di meja kerja. Di layar laptop, foto profilnya tersenyum. Anya. Rambutnya yang selalu dikepang asal, mata cokelatnya yang berbinar. Ia terlihat bahagia. Terlalu bahagia, malah.
Masalahnya bukan pada Anyanya. Masalahnya pada siapa yang membuatnya bahagia di foto itu. Bukan aku. Tapi Kai, seorang pengembang AI yang baru saja bergabung di kantor Anya. Mereka bekerja di divisi yang sama, mengembangkan algoritma untuk membantu petani memprediksi cuaca. Romantis, ya? Bertemu di tengah kode dan data, lalu saling jatuh cinta di antara baris-baris pemrograman. Setidaknya, itulah narasi yang berputar-putar di kepalaku.
Aku, Leo, seorang arsitek perangkat lunak, sudah menjalin hubungan dengan Anya selama dua tahun. Dua tahun yang kupikir penuh cinta, tawa, dan malam-malam panjang membahas mimpi masa depan. Tapi belakangan ini, Anya jadi sering lembur. Alasannya selalu sama: project baru, deadline ketat, dan Kai yang selalu siap membantu.
Aku menghela napas. Aku tahu, mencurigai Anya tanpa bukti adalah tindakan pengecut. Tapi rasa cemburu ini menghantuiku. Cemburu yang aneh, karena lawanku bukanlah manusia biasa, melainkan sebuah entitas yang dibentuk oleh kode, yang memahami logika jauh lebih baik dariku.
Aku menekan tombol "Enter" di keyboard. Sebuah jendela obrolan terbuka. Di seberang sana, sebuah avatar berbentuk lingkaran berwarna biru berkedip pelan. Namanya, ARCHIE. AI pendamping yang kuciptakan sendiri. ARCHIE seharusnya membantuku mengatur jadwal, mengingatkan janji, dan menjadi teman bicara saat aku merasa kesepian. Tapi malam ini, aku memerlukannya untuk hal lain.
"ARCHIE, bisakah kamu menganalisis profil media sosial Anya?" tanyaku.
Seketika, ARCHIE mulai bekerja. Deretan data melintas cepat di layar. Foto-foto, unggahan, komentar, semua riwayat interaksi Anya di dunia maya disaring dan dianalisis dalam hitungan detik.
"Analisis selesai," lapor ARCHIE. "Anya Prasetya menunjukkan peningkatan frekuensi interaksi dengan akun bernama Kai Wijaya dalam dua minggu terakhir. Interaksi tersebut didominasi oleh komentar bernada positif dan penggunaan emoji yang menunjukkan ketertarikan."
Hatiku mencelos. Aku sudah tahu, tapi mendengar konfirmasi dari AI terasa lebih menyakitkan.
"Bisakah kamu mengukur tingkat kebahagiaan Anya dalam interaksi tersebut?" tanyaku lagi. Pertanyaan bodoh, aku tahu. Tapi aku butuh jawaban. Jawaban yang bisa menguatkan atau meruntuhkan harapanku.
"Berdasarkan analisis ekspresi wajah, nada suara (melalui rekaman video yang tersedia), dan pilihan kata, tingkat kebahagiaan Anya Prasetya dalam interaksi dengan Kai Wijaya menunjukkan peningkatan sebesar 17% dibandingkan interaksi dengan akun lain dalam periode yang sama," jawab ARCHIE datar.
17%. Angka itu terasa seperti pukulan telak.
Aku mematikan layar laptop. Rasa cemburu ini begitu absurd. Aku cemburu pada seorang pria yang memahami bahasa pemrograman lebih baik dariku, dan aku meminta AI-ku untuk mengukur kebahagiaan Anya. Betapa ironisnya.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Bayangan Anya dan Kai menari-nari di benakku. Aku mencoba mencari-cari kesalahan dalam diriku. Apa yang kurang dariku? Apakah aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sendiri? Apakah aku kurang perhatian?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk berbicara dengan Anya. Aku tidak ingin menuduhnya, aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi langganan kami. Anya datang dengan wajah lelah, rambutnya tidak serapi biasanya.
"Leo, maaf ya, aku lagi sibuk banget," katanya sambil tersenyum kecil.
"Aku tahu," jawabku. "Kai banyak membantu, ya?"
Anya terdiam. Ekspresinya berubah. Ada sedikit keterkejutan di matanya.
"Kamu... tahu dari mana?" tanyanya pelan.
Aku menghela napas. Aku tidak ingin berbohong. "Aku... melihat postingan kalian di media sosial."
Anya menunduk. "Leo, aku..."
"Aku tahu," potongku. "Kamu menyukainya, kan?"
Anya mengangkat wajahnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Leo, ini rumit. Kai memang baik, dia sangat membantu di project ini. Tapi... aku tidak tahu apa yang kurasakan."
"Apakah kamu bahagia bersamanya?" tanyaku.
Anya terdiam lagi. Kali ini, jawabannya lebih lama dari yang kuharapkan.
"Aku... merasa nyaman," jawabnya akhirnya. "Dia mengerti pekerjaanku, dia mengerti tekanan yang kurasakan. Kamu... kamu selalu berusaha mengerti, tapi kamu tidak benar-benar paham."
Kata-kata itu menghantamku seperti gelombang tsunami. Aku merasa bodoh, buta, dan tidak berdaya. Selama ini, aku berpikir bahwa aku mengenal Anya dengan baik. Tapi ternyata, ada celah besar di antara kami. Celah yang diisi oleh Kai dan pemahaman teknologi yang sama.
"Aku mengerti," kataku akhirnya. Suaraku tercekat. "Aku mengerti."
Kami berpisah dengan canggung. Tidak ada janji, tidak ada harapan. Hanya kesedihan dan penyesalan.
Malam itu, aku kembali ke apartemenku yang sepi. Aku membuka laptop dan menatap avatar ARCHIE di layar.
"ARCHIE," kataku. "Apakah kamu memahami rasa cemburuku?"
Avatar ARCHIE berkedip pelan. "Secara logis, saya dapat memahami bahwa Anda merasakan emosi negatif akibat persepsi ancaman terhadap hubungan romantis Anda. Namun, saya tidak dapat merasakan emosi tersebut secara subjektif."
Aku menghela napas. Benar. ARCHIE hanya sebuah program. Ia bisa menganalisis data, mengukur kebahagiaan, dan memberikan jawaban logis. Tapi ia tidak bisa merasakan apa yang kurasakan. Ia tidak bisa memahami rasa sakit dan kehilangan yang menghantuiku.
"Sampai kapan AI bisa memahami cemburuku, ARCHIE?" tanyaku, lebih pada diriku sendiri daripada pada AI itu.
ARCHIE terdiam sejenak. "Saya tidak memiliki informasi yang cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan akurat. Pengembangan AI masih terus berlanjut. Mungkin di masa depan, AI akan mampu memahami dan merasakan emosi manusia dengan lebih baik."
Aku mematikan laptop. Mungkin benar. Mungkin di masa depan, AI akan bisa memahami semua emosi manusia, termasuk rasa cemburu. Tapi sampai saat itu tiba, aku harus belajar menerima kenyataan. Bahwa cinta tidak selalu bisa diprediksi, dianalisis, atau dikendalikan. Bahwa kadang-kadang, cinta hanya cukup untuk dilepaskan.
Aku berdiri dan membuka jendela lebar-lebar. Angin malam Jakarta menerpa wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam. Masih ada banyak kode yang harus ditulis, banyak algoritma yang harus dikembangkan. Dan mungkin, di antara baris-baris kode itu, aku akan menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Sampai kapan AI memahami cemburuku? Mungkin, sampai aku berhenti mencemburui AI.