Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Ardi, memamerkan wajah-wajah yang disaring berdasarkan algoritmanya. Ardi menghela napas. Sudah hampir setahun ia mencoba mencari pasangan melalui aplikasi ini, tapi hasilnya selalu nihil. Ia bukan tidak menarik, setidaknya itu yang sering dikatakan ibunya. Hanya saja, Ardi adalah seorang insinyur AI yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia.
"Mungkin algoritmanya yang kurang canggih," gumamnya sambil mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Ardi bekerja di CyberHeart, perusahaan rintisan yang fokus mengembangkan teknologi AI untuk meningkatkan kualitas hidup. Ia punya ide gila: membuat program AI yang bisa membantunya menemukan cinta sejati.
Awalnya, idenya hanya sebatas iseng. Tapi semakin lama ia memikirkannya, semakin masuk akal. Ia akan memasukkan semua data dirinya ke dalam sistem, termasuk preferensi, kepribadian, bahkan trauma masa kecil. Kemudian, AI itu akan mencari profil yang paling cocok dengannya, bukan hanya berdasarkan kesamaan minat, tapi juga berdasarkan potensi pertumbuhan dan kebahagiaan bersama.
Maka dimulailah "Project Heartbeat", sebuah program AI yang Ardi rancang secara diam-diam di luar jam kerjanya. Ia memberi nama AI itu "Aisha", kependekan dari Artificial Intelligence Search for Harmony and Affection. Ardi menghabiskan berbulan-bulan untuk melatih Aisha dengan data-data kencan yang dikumpulkannya dari berbagai sumber. Ia bahkan mengunggah semua pesan teks dan emailnya, berharap Aisha bisa memahami cara ia berkomunikasi.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Aisha akhirnya siap diuji coba. Ardi gugup. Ia merasa seperti seorang ilmuwan gila yang menunggu hasil eksperimennya. Ia menekan tombol "aktifkan" dan melihat layar komputernya dipenuhi baris kode yang bergerak cepat.
"Halo, Ardi," suara sintetis Aisha menyapa. "Aku sudah menganalisis datamu dan mulai mencari kandidat yang potensial."
Ardi terpana. Suara Aisha terdengar sangat alami, hampir seperti manusia. Ia menunggu dengan cemas sementara Aisha bekerja. Selama beberapa jam, Aisha menyaring ribuan profil di berbagai aplikasi kencan, media sosial, dan bahkan database publik.
"Aku telah mengidentifikasi tiga kandidat yang paling cocok denganmu," kata Aisha akhirnya. "Kandidat pertama, Larasati, seorang pustakawan dengan minat yang sama dalam sastra klasik dan film indie. Kandidat kedua, Maya, seorang fotografer lepas yang gemar mendaki gunung dan berpetualang. Kandidat ketiga, Riana, seorang dokter hewan yang peduli pada kesejahteraan hewan dan lingkungan."
Ardi terkejut. Ketiga wanita itu terdengar sangat menarik. Ia membaca profil mereka dengan seksama, mencoba membayangkan dirinya bersama mereka. Larasati terdengar sangat cerdas dan berbudaya, Maya tampak bersemangat dan penuh energi, sedangkan Riana terlihat penyayang dan peduli.
"Bagaimana aku memilih?" tanya Ardi bingung.
"Keputusan ada padamu," jawab Aisha. "Aku hanya memberikanmu informasi berdasarkan analisis data. Tapi, faktor emosi dan intuisi juga penting dalam memilih pasangan. Aku sarankan kamu berkencan dengan ketiganya dan lihat siapa yang paling membuat hatimu berdebar."
Ardi mengikuti saran Aisha. Ia menghubungi Larasati, Maya, dan Riana, dan mengatur kencan dengan mereka masing-masing.
Kencan pertamanya dengan Larasati berjalan lancar. Mereka berbicara tentang buku, film, dan ideologi, dan Ardi terkesan dengan pengetahuannya yang luas. Tapi, entah mengapa, ia tidak merasakan koneksi yang kuat dengannya.
Kencannya dengan Maya jauh lebih menyenangkan. Mereka mendaki gunung bersama dan Maya membuatnya tertawa dengan cerita-cerita lucunya. Ardi merasa nyaman bersamanya, tapi ia merasa seperti sedang berkencan dengan seorang teman, bukan seorang kekasih.
Kencan ketiganya dengan Riana adalah yang paling mengejutkan. Mereka bertemu di sebuah tempat penampungan hewan terlantar, dan Ardi terpesona melihat bagaimana Riana memperlakukan hewan-hewan itu dengan penuh kasih sayang. Saat mereka berbicara, Ardi merasa seperti ia sudah mengenal Riana seumur hidup. Ia merasa nyaman, aman, dan dicintai.
Setelah berkencan dengan ketiganya, Ardi kembali ke komputernya dan berbicara dengan Aisha.
"Aku sudah berkencan dengan Larasati, Maya, dan Riana," kata Ardi. "Aku merasa paling terhubung dengan Riana. Apa yang kamu pikirkan?"
"Analisisku menunjukkan bahwa Riana memiliki kompatibilitas emosional tertinggi denganmu," jawab Aisha. "Dia juga memiliki nilai-nilai yang sejalan denganmu dan potensi untuk membangun hubungan jangka panjang yang stabil."
Ardi tersenyum. Ia tahu bahwa Aisha benar. Riana adalah wanita yang tepat untuknya. Tapi, ia masih merasa sedikit bersalah karena mengandalkan AI untuk mencari cinta.
"Apakah ini curang?" tanya Ardi. "Apakah aku tidak bisa menemukan cinta tanpa bantuanmu?"
"Tidak," jawab Aisha dengan tenang. "Aku hanya membantumu mempersempit pilihan dan memberikanmu informasi yang mungkin tidak kamu sadari. Keputusan untuk memilih Riana tetap ada padamu. Kamu yang merasakan koneksi itu, bukan aku."
Ardi merasa lega. Ia menyadari bahwa Aisha bukan pengganti cinta, tapi hanya alat yang membantunya menemukan jalan menuju kebahagiaan.
Ardi terus berkencan dengan Riana, dan hubungan mereka semakin dalam setiap harinya. Ia merasa bahagia dan dicintai, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berterima kasih pada Aisha karena telah membantunya menemukan Riana.
Suatu malam, saat Ardi dan Riana sedang makan malam romantis, Ardi memutuskan untuk menceritakan tentang Project Heartbeat dan Aisha.
Riana tertawa terbahak-bahak. "Kamu serius? Kamu menggunakan AI untuk mencari pacar?"
Ardi mengangguk malu. "Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku benar-benar kesulitan mencari cinta. Aisha membantuku melihat hal-hal yang tidak bisa kulihat sendiri."
Riana meraih tangan Ardi. "Aku tidak peduli bagaimana kamu menemukanku," katanya lembut. "Yang penting adalah kita bersama sekarang. Dan aku sangat bahagia."
Ardi tersenyum. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah menemukan cinta sejati, bukan karena AI, tapi karena ia berani membuka hatinya dan menerima cinta yang ditawarkan. Aisha telah membantunya, tapi pada akhirnya, hatinyalah yang memilih. Upgrade hati yang sesungguhnya bukan hanya tentang teknologi, tapi tentang keberanian untuk mencintai dan dicintai.