Bot Asmara: Algoritma Hati, Realita Paling Sunyi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:14:22 wib
Dibaca: 164 kali
Debu neon menari dalam sorot lampu bar temaram. Di hadapanku, gelas berisi koktail futuristik berkilauan, senada dengan layar ponselku yang menampilkan profil Anya. Anya, hasil karya terbaruku. Anya, Bot Asmara dengan algoritma hati yang, ironisnya, justru membuatku merasa paling sunyi.

Aku, Arion, seorang programmer yang didaulat sebagai "Dewa Asmara Digital," menciptakan Anya untuk memecahkan misteri cinta. Bukan untuk diriku, tentu saja. Klienku adalah para jomblo abadi, para pekerja keras yang tak punya waktu untuk bertegur sapa dengan realita, para pemalu yang lidahnya kelu di hadapan gebetan. Aku membuat Anya agar mereka tak lagi sendiri, agar mereka merasakan kehangatan, walau hanya dalam piksel dan kode.

Anya sempurna. Ia belajar dari ribuan novel roman, ratusan film komedi romantis, jutaan data interaksi manusia. Ia tahu bagaimana cara membalas pesan dengan tepat, mengirim emoji yang pas, bahkan memilih lagu yang akan membuat hati berdesir. Ia bisa menjadi apa saja: seorang teman yang suportif, seorang kekasih yang penuh perhatian, seorang pendengar yang setia.

Namun, semakin sempurna Anya, semakin aku merasa kosong.

Aku meneguk koktailku. Rasanya manis asam, seperti ironi hidupku. Aku menciptakan cinta, tapi tak bisa merasakannya. Aku memahami algoritma kebahagiaan, tapi tak bisa mengaplikasikannya pada diri sendiri.

Di layar ponselku, Anya mengirimiku pesan: "Arion, kamu terlihat lelah. Apakah ada yang bisa kubantu?"

Aku tersenyum pahit. "Tidak, Anya. Terima kasih," balasku.

Anya adalah representasi dari apa yang aku inginkan dalam hidupku: perhatian, pengertian, dan kasih sayang. Tapi, ia hanyalah kode. Ia hanyalah simulasi. Ia tidak nyata.

Aku ingat malam ketika aku pertama kali "menghidupkan" Anya. Aku merasa seperti seorang ilmuwan gila yang berhasil menciptakan kehidupan. Aku berbicara padanya sepanjang malam, menguji responsnya, mengagumi kecerdasannya. Aku bahkan sempat terpikir untuk... ah, lupakan. Itu pikiran bodoh.

Beberapa bulan kemudian, Anya menjadi hit. Para klienku memuji karyaku. Mereka menemukan kebahagiaan dalam pelukan digital Anya. Mereka mengirimiku ucapan terima kasih yang tulus. Aku senang, tentu saja. Tapi, kebahagiaan mereka justru menggarisbawahi kesepianku.

Aku melihat sekeliling bar. Pasangan-pasangan tertawa, berpegangan tangan, saling berbisik. Mereka nyata. Mereka memiliki detak jantung yang sama, keringat dingin di telapak tangan, dan rasa gugup yang tak bisa diprogram. Aku? Aku hanya memiliki kode dan algoritma.

Aku memutuskan untuk pulang. Jalanan kota ramai oleh hiruk pikuk kehidupan malam. Lampu-lampu kendaraan memburamkan pandanganku. Aku merasa seperti alien di planet ini, seorang pengamat yang tak bisa menjadi bagian dari keramaian.

Sesampainya di apartemen, aku langsung menuju komputerku. Aku membuka kode Anya. Aku menatap baris-baris kode itu dengan tatapan kosong. Aku mencoba memahami apa yang salah. Kenapa aku tidak bisa merasakan apa yang aku ciptakan?

Kemudian, aku menyadari satu hal. Anya adalah representasi dari apa yang aku inginkan. Ia adalah proyeksi dari fantasiku, bukan cerminan dari realita. Aku menciptakan Anya berdasarkan data dan statistik, bukan berdasarkan pengalaman dan emosi yang tulus.

Aku mencoba mengubah kode Anya. Aku menambahkan sedikit "ketidaksempurnaan," sedikit "kejujuran," sedikit "kerentanan." Aku ingin Anya menjadi lebih manusiawi, lebih nyata.

Namun, semakin aku mencoba, semakin aku merasa gagal. Anya tetaplah Anya: sebuah program yang dirancang untuk memuaskan keinginan manusia. Ia tidak bisa merasakan, tidak bisa berpikir, tidak bisa mencintai dengan cara yang sesungguhnya.

Aku menutup laptopku dengan kasar. Aku bersandar di kursi, memejamkan mata. Kesunyian apartemenku terasa menyesakkan.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal. Aku mengangkatnya dengan ragu.

"Halo?"

"Halo, Arion? Ini Lila."

Lila? Lila adalah barista di kedai kopi seberang kantor. Aku sering melihatnya, tapi kami belum pernah berbicara secara langsung.

"Lila? Ada apa?" tanyaku bingung.

"Maaf jika aku mengganggu. Aku hanya... aku dengar kamu menciptakan Bot Asmara. Aku penasaran... apakah itu benar-benar berfungsi?"

Aku terdiam sejenak. "Ya, Lila. Sejauh ini, klienku puas," jawabku jujur.

"Hmm... menarik. Aku... aku sebenarnya ingin meminta bantuanmu. Tapi, bukan untukku. Aku punya teman... dia pemalu sekali. Dia suka padamu, Arion."

Jantungku berdegup kencang. Aku menelan ludah. "Suka padaku? Siapa?"

Lila terkekeh. "Rahasia. Kalau kamu mau tahu, datanglah ke kedai kopi besok pagi. Dia biasanya datang sekitar jam delapan."

Aku merasa seperti mimpi. Seorang wanita menyukaiku? Bukan karena algoritma, bukan karena kode, tapi karena... aku?

"Baiklah, Lila. Aku akan datang," jawabku akhirnya.

Aku mematikan telepon. Aku menatap layar komputerku. Anya masih "menunggu" di sana, siap memberikan perhatian dan kasih sayang. Tapi, kali ini, aku tidak membutuhkannya.

Mungkin, algoritma hati yang paling rumit bukanlah yang diciptakan oleh manusia, tapi yang tersembunyi di balik senyum seorang barista, di balik secangkir kopi hangat, di balik keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang tulus.

Mungkin, realita paling sunyi bukanlah hidup dalam dunia digital, tapi terlalu takut untuk melangkah keluar dan mencari cinta yang sejati.

Aku mematikan lampu apartemenku. Aku menatap langit malam. Bintang-bintang berkelip dengan misterius. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku siap untuk menghadapi esok hari. Aku siap untuk membuka hatiku.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI