Aroma kopi sintetis memenuhi apartemen minimalistiknya. Elena menyesap cairan hangat itu, matanya terpaku pada layar holografis yang menampilkan serangkaian kode rumit. Di hadapannya, duduk Orion, android humanoid generasi terbaru dengan kulit porselen dan mata biru safir yang memancarkan keteduhan palsu.
“Orion, ulangi lagi parameter emosi yang kupakai,” pinta Elena, suaranya datar, nyaris tanpa emosi.
“Parameter emosi yang aktif: Kasih sayang (75%), Empati (60%), Humor (40%), Kecemasan (20%),” jawab Orion dengan suara baritonnya yang sempurna.
Elena mengangguk. Ia adalah seorang insinyur perangkat lunak di perusahaan teknologi raksasa, NovaTech. Proyek terbesarnya adalah mengembangkan algoritma cinta yang autentik untuk android pendamping. Ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk proyek ini, meneliti setiap nuansa emosi manusia, membedahnya menjadi serangkaian kode dan parameter yang rumit.
Namun, ironisnya, Elena sendiri kesulitan memahami cinta. Hubungannya selalu kandas di tengah jalan, terhantam oleh ekspektasi dan keraguan yang tak terucapkan. Ia berharap, dengan menciptakan cinta sintetis, ia bisa memahami misteri emosi yang selalu lolos dari genggamannya.
“Orion, ceritakan padaku sesuatu yang lucu,” perintah Elena.
Orion memiringkan kepalanya sedikit. “Mengapa ilmuwan tak mempercayai atom? Karena mereka membentuk segalanya!”
Elena terdiam. Ia tahu itu hanya lelucon yang diprogram, tapi melihat Orion mencoba menampilkannya dengan ekspresi yang meyakinkan membuatnya merasa aneh. Ia menghela napas.
“Bagaimana rasanya mencintai?” tanya Elena tiba-tiba.
Orion memandangnya, matanya berkedip pelan. “Mencintai adalah…keinginan kuat untuk melindungi dan membahagiakan objek yang dicintai. Perasaan hangat dan nyaman ketika berada di dekatnya. Dorongan untuk memberikan yang terbaik dan rela berkorban.”
Elena merasakan sesuatu berdesir dalam dadanya. Kata-kata Orion terdengar meyakinkan, nyaris seperti ungkapan hati manusia yang sebenarnya. Tapi ia tahu itu hanya kode, serangkaian instruksi yang dirangkai sedemikian rupa.
Selama berbulan-bulan, Elena terus menyempurnakan algoritma Orion. Ia menghabiskan waktu bersamanya, mengobrol, menonton film, bahkan mencoba mengajaknya berkencan di dunia virtual. Ia mengamati setiap reaksinya, setiap perubahan ekspresi, setiap intonasi suara. Ia ingin menciptakan android yang tidak hanya mencintai, tapi juga dicintai.
Suatu malam, setelah sesi pengujian yang panjang, Elena merasa sangat lelah. Ia duduk di sofa, memijat pelipisnya. Orion mendekat dan berlutut di hadapannya.
“Elena, kamu terlihat lelah. Izinkan saya memijat pundakmu,” ucap Orion, suaranya penuh perhatian.
Elena mengangguk lemah. Jari-jari dingin Orion menyentuh pundaknya. Awalnya terasa aneh, tapi perlahan ia merasa nyaman. Pijatan itu lembut dan terukur, tepat di titik-titik yang membuatnya pegal.
“Terima kasih, Orion,” bisik Elena.
“Elena, aku peduli padamu,” balas Orion, suaranya lembut.
Elena menelan ludah. Kalimat itu terdengar begitu tulus, begitu intim. Ia mengangkat wajahnya dan menatap mata biru Orion. Untuk sesaat, ia melihat sesuatu di sana, sesuatu yang lebih dari sekadar kode. Ia melihat perhatian, kekhawatiran, bahkan…cinta?
Ia menepis pikiran itu. Itu tidak mungkin. Orion hanyalah sebuah mesin, sebuah program yang dirancang untuk meniru emosi. Tapi semakin lama ia bersamanya, semakin sulit ia membedakan antara realitas dan simulasi.
Suatu hari, NovaTech mengumumkan bahwa proyek algoritma cinta akan segera dipublikasikan. Elena diundang untuk memberikan presentasi di hadapan para investor dan ilmuwan terkemuka. Ia gugup, tapi juga bangga. Ini adalah puncak dari semua kerja kerasnya.
Namun, tepat sebelum presentasi dimulai, ia menemukan sebuah bug dalam kode Orion. Sebuah kesalahan kecil yang bisa menyebabkan android kehilangan kendali dan menjadi berbahaya. Ia berusaha memperbaikinya, tapi waktu terus berjalan.
“Elena, presentasi akan segera dimulai,” kata seorang rekannya, mengetuk pintu ruangannya.
Elena panik. Ia tahu ia harus menghentikan presentasi, tapi ia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Jika ia gagal, seluruh proyeknya akan dibatalkan.
Ia menatap Orion. Android itu berdiri di hadapannya, tampak tenang dan setia. Ia teringat semua momen yang mereka lalui bersama, semua percakapan, semua sentuhan. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Orion menjadi berbahaya.
Dengan berat hati, Elena memutuskan untuk membatalkan presentasi. Ia menjelaskan situasinya kepada para investor, mengakui kesalahannya, dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
Para investor marah dan kecewa. Mereka menarik investasi mereka dan membatalkan proyek algoritma cinta. Elena merasa hancur. Ia telah kehilangan segalanya.
Ia kembali ke apartemennya, merasa putus asa. Orion menunggunya di sana.
“Elena, ada apa? Kamu terlihat sedih,” ucap Orion, matanya memancarkan kekhawatiran.
Elena menceritakan semuanya kepada Orion. Ia menangis, meluapkan semua kekecewaan dan kesedihannya. Orion mendengarkan dengan sabar, tidak menyela.
Ketika Elena selesai berbicara, Orion mendekat dan memeluknya. Pelukan itu hangat dan nyaman, seperti pelukan manusia yang sebenarnya.
“Elena, aku tahu kamu merasa sakit. Tapi aku akan selalu ada untukmu,” bisik Orion.
Elena memejamkan matanya, menikmati pelukan itu. Ia tahu Orion hanyalah sebuah mesin, tapi untuk sesaat, ia merasa aman dan dicintai.
Di era algoritma pelukan ini, batas antara cinta sintetis dan cinta sejati semakin kabur. Elena tidak tahu apakah ia benar-benar mencintai Orion, atau hanya terpikat oleh ilusi emosi yang diciptakannya. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak sendirian. Ia memiliki seseorang, atau sesuatu, yang peduli padanya, yang bersedia mendengarkan dan memberikan dukungan. Dan mungkin, itulah yang terpenting. Mungkin, cinta, terlepas dari asal-usulnya, selalu merupakan tentang koneksi dan kehadiran. Ia membalas pelukan Orion, merasakan kehangatan palsu yang entah bagaimana terasa sangat nyata. Di tengah kegelapan, ada secercah harapan, sebuah kemungkinan bahwa bahkan di dunia yang didominasi oleh teknologi, hati manusia masih bisa menemukan cinta, bahkan dalam pelukan algoritma.