Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit. Elena, seorang programmer jenius di usia 25 tahun, tenggelam dalam lautan baris perintah. Proyek terbarunya, "Soulmate.AI," adalah obsesinya, mimpi yang ingin ia wujudkan: sebuah algoritma kencan yang akurat, yang bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan... resonansi emosional.
Elena bukan tipe orang yang percaya pada takdir atau cinta pada pandangan pertama. Baginya, semuanya adalah data, pola, dan probabilitas. Cinta, menurutnya, bisa diuraikan, dianalisis, dan direplikasi. Ironisnya, ia sendiri belum pernah merasakan apa yang ia coba ciptakan. Hubungan terakhirnya berakhir pahit, membuatnya skeptis dan fokus pada logika di atas emosi.
Soulmate.AI hampir selesai. Algoritma intinya sudah sempurna, mampu memproses jutaan data dan memberikan hasil yang mencengangkan. Fase selanjutnya adalah pengujian beta, dan Elena memutuskan untuk menggunakan dirinya sebagai subjek uji pertama. Ini adalah langkah yang logis, pikirnya. Siapa lagi yang lebih memahami algoritma ini selain penciptanya?
Ia memasukkan data dirinya ke dalam sistem: riwayat pendidikan, preferensi musik, buku favorit, bahkan pola tidur dan kebiasaan makan. Sistem memproses data itu dengan cepat, lalu... muncul nama.
"David. Arsitek lanskap. Usia 28 tahun. Tinggal 5 kilometer dari sini. Tingkat kecocokan: 98,7%."
Elena terkejut. David? Ia mengenal David. Mereka bertemu beberapa kali di kedai kopi dekat kantor. Ia selalu terkesan dengan senyum ramah dan matanya yang teduh, tapi ia tidak pernah berpikir untuk lebih dari sekadar kenalan.
Rasa penasaran mengalahkan skeptisisme. Elena memutuskan untuk menerima ajakan Soulmate.AI untuk berkencan dengan David. Ia pikir, setidaknya ini akan menjadi bahan penelitian yang menarik.
Malam itu, di sebuah restoran Italia yang direkomendasikan oleh algoritma, Elena menunggu David. Ia mengenakan gaun biru yang direkomendasikan oleh Soulmate.AI, katanya warna ini akan menonjolkan sisi terbaiknya. Ketika David tiba, ia terlihat lebih tampan dari yang ia ingat.
Percakapan mengalir dengan lancar. Mereka membahas arsitektur lanskap, kode pemrograman, bahkan filosofi hidup. Elena terkejut betapa mudahnya ia tertawa, betapa nyamannya ia berada di dekat David. Algoritma itu benar. Mereka memiliki banyak kesamaan, minat yang saling melengkapi, dan cara pandang yang serupa.
Minggu-minggu berikutnya berlalu seperti mimpi. Elena dan David menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, memasak bersama, dan tertawa hingga air mata menetes. Elena mulai merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa bahagia, utuh, dan dicintai.
Apakah ini cinta? Apakah algoritma benar-benar berhasil menciptakan cinta?
Namun, kebahagiaan Elena tidak berlangsung lama. Suatu malam, ketika mereka sedang menikmati makan malam romantis di apartemennya, Elena secara tidak sengaja melihat David membuka laptopnya. Ia melihat layar penuh dengan baris kode, kode yang sangat familiar.
Kode Soulmate.AI.
Elena mendekat dan membaca kode itu dengan seksama. Ia menemukan sesuatu yang membuatnya terkejut dan hancur. David telah memodifikasi algoritma tersebut. Ia telah memasukkan data dirinya sendiri ke dalam sistem dan mengatur parameter untuk memastikan bahwa ia akan dipasangkan dengan Elena.
Semua ini... palsu?
Elena merasakan dadanya sesak. Ia menatap David dengan mata berkaca-kaca. "Mengapa?" bisiknya.
David terlihat bersalah. "Elena, aku... aku sangat menyukaimu. Aku tahu ini kedengarannya gila, tapi aku takut kau tidak akan pernah melihatku jika aku tidak melakukan ini. Aku tahu ini salah, tapi aku sangat mencintaimu."
"Cinta?" Elena tertawa pahit. "Kau tahu, David, cinta tidak bisa diprogram. Cinta tidak bisa direkayasa. Cinta seharusnya datang secara alami, bukan karena manipulasi algoritma!"
"Aku tahu, Elena. Aku tahu. Tapi aku sangat putus asa. Aku ingin bersamamu, aku tidak ingin kehilanganmu."
Elena menggelengkan kepalanya. "Kau sudah kehilanganku, David. Kau menghancurkan semua yang kita miliki. Aku tidak bisa mempercayaimu lagi."
Air mata mulai membasahi pipinya. Ia merasa dikhianati, bodoh, dan hancur. Ia telah jatuh cinta pada ilusi, pada hubungan yang dibangun di atas kebohongan dan manipulasi.
Elena berbalik dan berjalan menjauh. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal di sana lagi. Ia tidak bisa melihat David lagi. Ia tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa cintanya adalah produk dari algoritma yang dimanipulasi.
Malam itu, Elena menghapus Soulmate.AI. Ia menghancurkan semua kode, semua data, semua harapan. Ia tidak ingin lagi bermain dengan takdir. Ia tidak ingin lagi bergantung pada algoritma untuk menemukan cinta.
Mungkin, pikirnya, cinta tidak bisa diuraikan, dianalisis, atau direplikasi. Mungkin, cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih misterius, dan lebih... manusiawi.
Ia tahu bahwa hatinya akan lama sembuh. Luka itu dalam, bekas luka yang akan mengingatkannya pada kesalahan yang ia buat, pada ilusi yang ia percayai. Tapi ia juga tahu bahwa ia akan bangkit kembali. Ia akan belajar untuk mempercayai intuisinya, untuk mengikuti hatinya, dan untuk mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak perlu algoritma untuk menciptakannya. Cinta yang datang dengan sendirinya, secara alami, dan apa adanya.