Aplikasi itu menjanjikan keajaiban. Bukan sekadar teman kencan, melainkan belahan jiwa yang dirumuskan melalui algoritma rumit. Anya skeptis, tentu saja. Di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, dia sudah bosan dengan janji manis aplikasi kencan yang ujung-ujungnya hanya menghasilkan obrolan basi dan pertemuan canggung. Namun, rasa penasaran – dan mungkin sedikit kesepian – mendorongnya untuk mengunduh "SoulMate AI".
SoulMate AI berbeda. Bukannya serangkaian foto dan deskripsi klise, aplikasi ini meminta Anya mengisi kuesioner mendalam tentang nilai-nilai hidup, aspirasi, ketakutan terdalam, bahkan warna favoritnya di masa kecil. Semua data ini kemudian diproses oleh algoritma canggih untuk menemukan kandidat yang paling cocok.
Seminggu kemudian, Anya menerima notifikasi. "Kandidat yang cocok telah ditemukan: Ardi Wiratama." Profil Ardi muncul di layar, lengkap dengan persentase kecocokan: 98,7%. Anya terkejut. Angka itu terlalu tinggi untuk menjadi kenyataan.
Ardi, seorang arsitek lanskap yang mencintai alam dan musik klasik, tampak terlalu sempurna. Hobi membaca Anya, kecintaannya pada film-film indie, bahkan alerginya terhadap kucing (kebetulan Ardi juga alergi) – semuanya cocok. Foto-fotonya menampilkan pria yang tampan namun membumi, dengan senyum tulus yang membuat jantung Anya berdebar sedikit lebih cepat.
Anya memberanikan diri mengirim pesan. Balasan Ardi cepat dan ramah. Obrolan mereka mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah saling kenal sejak lama. Mereka membahas buku favorit, perbedaan pendapat tentang pentingnya teknologi dalam kehidupan, dan impian mereka untuk masa depan. Setiap percakapan semakin meyakinkan Anya bahwa algoritma SoulMate AI mungkin benar.
Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Anya gugup, lebih dari yang pernah dia rasakan sebelumnya. Dia khawatir Ardi akan berbeda dari profilnya, atau bahwa kecanggungan akan merusak semua kesamaan yang mereka temukan secara daring.
Namun, begitu Ardi masuk, semua kekhawatiran Anya lenyap. Dia persis seperti yang dia bayangkan: hangat, cerdas, dan menawan. Mereka berbicara selama berjam-jam, tertawa dan berbagi cerita. Waktu seolah berhenti. Anya merasa nyaman dan aman di dekat Ardi, seolah dia telah menemukan rumahnya.
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Kencan demi kencan terasa seperti babak baru dalam sebuah novel romantis. Ardi tahu persis apa yang Anya inginkan dan butuhkan, seolah dia bisa membaca pikirannya. Dia membawakan Anya bunga favoritnya tanpa bertanya, membuatkan kopi persis seperti yang Anya suka, dan selalu tahu cara membuatnya tertawa.
Anya mulai percaya pada keajaiban algoritma. SoulMate AI tidak hanya menemukan seseorang yang cocok dengannya secara intelektual dan emosional, tetapi juga seseorang yang benar-benar memahaminya. Cinta mereka terasa begitu alami, begitu mudah, sehingga Anya sulit membayangkan hidupnya tanpa Ardi.
Namun, di balik kebahagiaan yang sempurna ini, ada perasaan aneh yang mengganjal di hati Anya. Terlalu sempurna. Terlalu mudah. Kadang-kadang, Anya merasa seperti dia sedang memainkan peran dalam sebuah film yang sudah ditulis sebelumnya. Ardi selalu tahu apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan, seolah dia sedang mengikuti sebuah naskah.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di rumah Ardi, Anya melihat sebuah tablet tergeletak di meja samping tempat tidur. Rasa penasaran mengalahkannya. Saat Ardi pergi ke dapur untuk mengambil anggur, Anya meraih tablet itu.
Layar terkunci, tetapi Anya berhasil membukanya dengan menebak pola yang sering dia gunakan. Di layar utama, dia menemukan sebuah aplikasi yang tidak dikenalnya: "SoulMate AI - Admin". Jantung Anya berdegup kencang. Dia membuka aplikasi itu.
Di dalamnya, dia menemukan profilnya, lengkap dengan analisis mendalam tentang kepribadian, kebiasaan, dan preferensinya. Yang lebih mengerikan, dia menemukan serangkaian saran dan instruksi yang harus diikuti Ardi untuk mempertahankan hubungan yang optimal. Saran-saran itu mencakup topik obrolan yang disarankan, hadiah yang harus diberikan, bahkan bagaimana harus merespons saat Anya sedang marah.
Anya merasa seperti disiram air es. Semua keajaiban, semua spontanitas, semua keintiman yang dia rasakan bersama Ardi, ternyata hanyalah hasil dari manipulasi algoritmik. Ardi tidak mencintainya, dia hanya menjalankan program.
Saat Ardi kembali dari dapur, Anya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia melempar tablet itu ke meja. "Apa ini?" tanyanya dengan suara bergetar.
Ardi terdiam. Wajahnya pucat pasi. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, tetapi Anya tidak mendengarkannya. Dia merasa dikhianati, dihancurkan, dipermainkan.
"Algoritma tak pernah berbohong, katamu?" Anya berkata dengan sinis. "Tapi manusia bisa."
Anya meninggalkan rumah Ardi malam itu, membawa serta hatinya yang hancur dan kepercayaan dirinya yang terkoyak. Dia menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselnya dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah lagi mempercayai cinta yang dirumuskan oleh mesin.
Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seseorang secara kebetulan di sebuah toko buku. Tidak ada algoritma, tidak ada data, hanya tatapan mata dan percakapan spontan. Pria itu tidak sempurna, dia punya kekurangan dan keanehan, tetapi dia nyata. Dan Anya, setelah patah hati yang mendalam, akhirnya siap untuk menerima cinta yang tidak sempurna, cinta yang dibangun di atas fondasi yang rapuh namun jujur. Karena kadang-kadang, kebenaran yang menyakitkan lebih baik daripada kebohongan yang sempurna.