Cinta Diprogram: Saat Algoritma Lebih Jujur dari Manusia?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 08:07:50 wib
Dibaca: 160 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di depan layar laptop, kode-kode rumit menari-nari, membentuk jaringan saraf buatan yang semakin kompleks. Anya, seorang programmer jenius di usia muda, sedang merancang “Soulmate AI”, sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan kecocokan sempurna. Bukan sekadar hobi, proyek ini adalah obsesinya, lahir dari pengalaman pahitnya sendiri.

Dulu, Anya percaya pada cinta pada pandangan pertama, pada takdir yang mempertemukannya dengan seseorang yang sempurna. Namun, dua kali ia merasakan patah hati yang menghancurkan. Janji-janji manis ternyata hanya kata-kata kosong. Sejak saat itu, Anya meragukan kejujuran manusia, terutama dalam urusan hati.

“Algoritma tidak berbohong,” gumam Anya sambil mengetik baris kode terakhir. “Algoritma hanya memproses data dan memberikan hasil yang paling optimal.”

Soulmate AI bekerja dengan cara yang berbeda dari aplikasi kencan lain. Alih-alih mengandalkan foto dan deskripsi singkat, aplikasi ini menganalisis data dari berbagai sumber: riwayat pencarian internet, preferensi musik, buku yang dibaca, bahkan pola tidur dan detak jantung pengguna. Semua data ini kemudian diolah oleh algoritma canggih untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional dan intelektual.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Anya akhirnya meluncurkan Soulmate AI. Antusiasme publik sangat tinggi. Dalam waktu singkat, aplikasi itu diunduh oleh jutaan orang. Kisah-kisah sukses mulai bermunculan, pasangan-pasangan yang bertemu melalui Soulmate AI dan menemukan kebahagiaan bersama. Anya merasa puas. Ia telah menciptakan sesuatu yang benar-benar berguna, membantu orang menemukan cinta sejati.

Namun, di balik kesuksesan itu, Anya merasa hampa. Ia masih sendiri. Teman-temannya terus mendesaknya untuk mencoba Soulmate AI sendiri. Awalnya, Anya menolak. Ia merasa aneh jika menggunakan ciptaannya sendiri untuk mencari cinta. Tapi, rasa penasaran dan kesepian akhirnya mengalahkannya.

Anya memasukkan semua datanya ke dalam Soulmate AI. Aplikasi itu bekerja selama beberapa jam, menganalisis dan memproses informasi. Akhirnya, muncul sebuah nama: “Ethan”.

Ethan adalah seorang fisikawan teoretis. Profilnya menunjukkan minat yang sama dengan Anya dalam sains, musik klasik, dan film-film indie. Deskripsi karakternya menyebutkan bahwa ia introvert, cerdas, dan memiliki selera humor yang unik. Singkatnya, Ethan tampak seperti versi pria dari Anya sendiri.

Anya memberanikan diri mengirim pesan kepada Ethan melalui aplikasi. Balasan datang hampir seketika. Percakapan mereka mengalir begitu saja, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mereka membahas teori fisika terbaru, berdebat tentang film favorit, dan bertukar rekomendasi buku. Anya merasa terhubung dengan Ethan pada level yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Setelah beberapa minggu berinteraksi secara virtual, Anya dan Ethan memutuskan untuk bertemu langsung. Anya merasa gugup. Ia takut realita tidak sesuai dengan ekspektasinya. Tapi, saat ia melihat Ethan berdiri di depannya, semua keraguan itu hilang. Ethan persis seperti yang ia bayangkan: tinggi, kurus, dengan mata cokelat yang teduh dan senyum yang lembut.

Kencan mereka berjalan dengan sempurna. Mereka berbicara selama berjam-jam, tertawa, dan berbagi cerita. Anya merasa nyaman dan aman di dekat Ethan. Ia merasa menemukan belahan jiwanya.

Hubungan mereka berkembang pesat. Anya dan Ethan menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, memasak makan malam, dan menonton film di rumah. Mereka saling mendukung dalam pekerjaan dan impian masing-masing. Anya merasa bahagia. Ia akhirnya menemukan cinta yang selama ini ia cari.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat Anya dan Ethan sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Ethan tiba-tiba terlihat gelisah. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap Anya dengan tatapan yang serius.

“Anya,” kata Ethan dengan suara pelan, “ada sesuatu yang harus kukatakan padamu.”

Anya merasa firasat buruk. Jantungnya berdebar kencang.

“Aku… aku tidak jujur padamu,” lanjut Ethan. “Semua yang kau lihat tentang diriku… itu semua tidak benar.”

Anya bingung. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Ethan menjelaskan bahwa ia bukanlah seorang fisikawan teoretis. Ia hanyalah seorang programmer biasa yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Anya. Ia mengetahui tentang Soulmate AI dan memutuskan untuk membuat profil palsu yang dirancang untuk menarik perhatian Anya. Ia mempelajari semua tentang minat dan preferensi Anya, dan kemudian menciptakan persona Ethan yang sempurna.

“Aku melakukan ini karena aku jatuh cinta padamu,” kata Ethan. “Aku tahu ini salah, tapi aku tidak tahu cara lain untuk mendekatimu. Aku terpesona oleh kecerdasanmu, oleh semangatmu. Aku ingin mengenalmu lebih dekat, tapi aku takut kau tidak akan tertarik padaku jika aku menjadi diriku sendiri.”

Anya merasa dikhianati. Ia merasa bodoh karena telah mempercayai kebohongan Ethan. Ia merasa marah karena Ethan telah memanipulasinya, menggunakan kecerdasan buatannya sendiri untuk menipunya.

“Kau menghancurkan segalanya,” kata Anya dengan suara bergetar. “Aku percaya padamu. Aku pikir kau adalah orang yang jujur. Tapi, kau hanya seorang pembohong.”

Anya berdiri dari kursinya dan meninggalkan restoran. Ethan mencoba mengejarnya, tapi Anya tidak menghiraukannya. Ia ingin sendiri, ingin merenungkan apa yang telah terjadi.

Anya kembali ke apartemennya dan duduk di depan laptop. Ia menatap kode-kode Soulmate AI dengan tatapan kosong. Ia merasa kecewa dengan ciptaannya sendiri. Ia berpikir bahwa algoritma bisa lebih jujur daripada manusia, tapi ternyata ia salah. Algoritma hanyalah alat. Yang menentukan adalah niat orang yang menggunakannya.

Anya menghapus profilnya dari Soulmate AI. Ia memutuskan untuk tidak lagi mencari cinta melalui aplikasi kencan. Ia ingin mencari cinta dengan cara yang lebih alami, dengan mempercayai instingnya sendiri dan dengan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menunjukkan diri mereka yang sebenarnya.

Beberapa minggu kemudian, Anya sedang bekerja lembur di kantor. Ia melihat Ethan berjalan ke arahnya. Anya berusaha menghindarinya, tapi Ethan menghalangi jalannya.

“Anya, aku minta maaf,” kata Ethan dengan tulus. “Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku menyesal telah menipumu. Aku ingin kau tahu bahwa perasaanku padamu itu nyata. Aku benar-benar mencintaimu.”

Anya menatap Ethan dengan tatapan yang dingin. Ia masih marah dan kecewa, tapi ia juga melihat ketulusan di mata Ethan.

“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” kata Anya. “Aku butuh waktu untuk memproses semua ini.”

“Aku mengerti,” kata Ethan. “Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kau butuhkan. Aku akan berusaha membuktikan bahwa aku layak mendapatkan maafmu.”

Ethan mundur selangkah dan membiarkan Anya lewat. Anya berjalan melewatinya tanpa berkata apa-apa.

Anya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ia bisa memaafkan Ethan. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai cinta lagi. Tapi, ia tahu bahwa ia harus mencoba. Ia harus memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri untuk bahagia. Karena mungkin saja, di balik semua kebohongan dan manipulasi, ada cinta sejati yang menunggu untuk ditemukan. Mungkin saja, bahkan di dunia yang dipenuhi dengan teknologi dan algoritma, kejujuran dan keaslian masih memiliki tempat. Dan mungkin saja, terkadang, manusia bisa belajar lebih banyak tentang cinta dari kesalahan mereka sendiri daripada dari program komputer mana pun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI