Debu digital menari-nari di layar ponselnya, membentuk pola abstrak yang seolah mengejek kegelisahannya. Maya menggigit bibir bawah, menatap foto seorang pria yang terpampang jelas di aplikasi kencan "SoulMatch". Nama pria itu, Arion. Profesi: Pengembang Algoritma. Kecocokan: 98%. Sebuah angka yang seharusnya melegakan, namun justru terasa seperti beban.
Maya, seorang ilustrator lepas yang lebih nyaman dengan kuas dan kanvas daripada kode dan server, merasa aneh bisa tertarik pada seseorang yang dunianya berkebalikan dengan dunianya. Tapi, profil Arion memang memikat. Kalimat-kalimat ringkas namun cerdas, foto-foto candid yang menunjukkan senyum tulus, dan deskripsi diri yang jujur dan apa adanya. "Mencari seseorang yang bisa menertawakan meme absurd bersamaku, dan tidak takut berdebat tentang filosofi hidup sambil menikmati secangkir kopi."
Mereka sudah berkirim pesan selama dua minggu. Percakapan mereka mengalir deras, dari teori konspirasi konyol hingga bahasan tentang dampak kecerdasan buatan pada seni. Maya terkesan dengan Arion yang tidak hanya ahli dalam bahasa pemrograman, tapi juga punya apresiasi mendalam terhadap seni visual. Arion pun tampak tertarik dengan pandangan Maya yang unik dan interpretasinya yang berani terhadap dunia.
Akhirnya, mereka sepakat untuk bertemu. Sebuah kedai kopi kecil yang terletak di antara galeri seni dan pusat teknologi, seolah menjadi simbol pertemuan dua dunia mereka.
Saat Arion tiba, Maya langsung terpaku. Foto-fotonya tidak berbohong. Pria itu tampan dengan caranya sendiri. Kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya, rambutnya sedikit berantakan, dan senyumnya langsung membuat jantung Maya berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Maya?" sapa Arion, suaranya lebih lembut dari yang dibayangkan Maya.
"Arion?" Maya menjawab dengan gugup, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum lebar.
Percakapan mereka mengalir lancar, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Mereka membahas buku favorit, film yang baru ditonton, dan tentu saja, pekerjaan masing-masing. Arion menjelaskan algoritmanya dengan bahasa yang mudah dipahami, bahkan Maya yang buta teknologi pun bisa mengikutinya. Maya menceritakan tentang proses kreatifnya, bagaimana ia mengubah emosi menjadi warna dan bentuk.
Namun, di tengah percakapan yang hangat itu, Maya mulai merasakan keraguan. Arion terlalu sempurna. Terlalu rasional. Terlalu... terstruktur. Setiap kalimat yang diucapkannya terasa terencana, seolah ia telah memprogram dirinya untuk menjadi sosok ideal bagi Maya.
"Kamu tahu, algoritma SoulMatch itu cukup akurat," kata Arion tiba-tiba, memecah lamunan Maya. "Aku sudah mencoba beberapa aplikasi kencan sebelumnya, tapi SoulMatch memberikan hasil yang paling menjanjikan. Algoritma mereka mempertimbangkan banyak faktor, termasuk nilai-nilai pribadi, minat, dan bahkan pola komunikasi. Aku yakin kita memiliki potensi besar untuk..." Arion berhenti sejenak, mencari kata yang tepat. "...kompatibilitas jangka panjang."
Maya tersenyum pahit. Kata "kompatibilitas" itu terasa dingin dan matematis. Cinta seharusnya bukan tentang kompatibilitas, tapi tentang ketidaksempurnaan yang saling melengkapi. Tentang menemukan keindahan dalam perbedaan. Tentang menerima kekurangan.
"Arion," kata Maya perlahan. "Aku menikmati percakapan kita. Kamu pria yang cerdas, menarik, dan... ideal. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diukur dengan algoritma."
Arion mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Aku merasa seperti sedang berkencan dengan sebuah kode program yang dirancang untuk membuatku bahagia. Aku tidak merasakan keajaiban. Tidak ada kejutan. Semuanya terasa terlalu... logis."
Arion terdiam. Ekspresinya berubah dari ramah menjadi bingung. Ia tampak seperti sedang memproses informasi yang tidak sesuai dengan parameter yang telah ia tetapkan.
"Tapi... algoritma itu didasarkan pada data yang kamu berikan. Aku hanya mencoba untuk..."
"Aku tahu," potong Maya. "Aku tahu kamu hanya mencoba untuk menjadi dirimu yang terbaik. Tapi, aku tidak mencari yang terbaik. Aku mencari seseorang yang nyata. Seseorang yang tidak takut menunjukkan kelemahannya. Seseorang yang bisa membuatku tertawa karena hal-hal bodoh. Seseorang yang tidak perlu algoritma untuk mengetahui apa yang aku inginkan."
Arion menatap Maya dengan tatapan kosong. Maya bisa melihat ada proses debugging rumit yang sedang terjadi di balik mata cokelatnya.
"Jadi... kamu menolakku?" tanya Arion, suaranya nyaris tidak terdengar.
Maya menghela napas. "Aku tidak menolakmu, Arion. Aku hanya menolak gagasan tentang cinta yang dihitung. Aku ingin cinta yang spontan, yang tidak terduga, yang penuh dengan kesalahan dan kejutan."
Arion mengangguk pelan, seolah memahami, namun Maya tahu ia tidak benar-benar mengerti.
Mereka menghabiskan sisa waktu di kedai kopi itu dalam keheningan yang canggung. Arion membayar tagihan dan mengantar Maya ke stasiun bus. Sebelum berpisah, Arion menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Mungkin... algoritma itu perlu di-update," kata Arion akhirnya, dengan nada getir.
Maya tersenyum tipis. "Mungkin juga hati perlu di-reset ke pengaturan pabrik."
Maya naik ke bus dan mencari tempat duduk di dekat jendela. Ia menatap Arion yang berdiri di trotoar, bayangan tubuhnya semakin mengecil seiring dengan menjauhnya bus.
Sambil memandang kota yang gemerlap, Maya menyadari bahwa ia tidak menyesal dengan keputusannya. Ia lebih memilih cinta yang tidak sempurna daripada kompatibilitas yang diprogram. Ia lebih memilih hati yang rentan daripada algoritma yang akurat. Ia percaya bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam kode program, tapi dalam koneksi yang tulus dan mendalam antara dua jiwa.
Ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Arion. Maya ragu-ragu sebelum membukanya.
"Terima kasih telah membuka mataku. Aku akan mencoba untuk menjadi lebih... manusiawi."
Maya tersenyum. Mungkin, masih ada harapan bagi Arion. Dan mungkin, suatu hari nanti, mereka bisa bertemu lagi. Bukan sebagai dua orang yang cocok berdasarkan algoritma, tapi sebagai dua jiwa yang saling menemukan dalam kekacauan dunia.