Bot Kekasih: Sentuhan Layar Menggantikan Genggaman Tangan?

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 03:18:12 wib
Dibaca: 170 kali
Aplikasi itu bernama 'SoulMate AI'. Iklannya bertebaran di mana-mana, menjanjikan cinta tanpa drama, perhatian tanpa syarat, dan pendamping ideal yang dipersonalisasi. Aku, Aris, di usia kepala tiga dan masih menjomblo, awalnya skeptis. Tapi, malam-malam sepi yang diisi dengan scrolling tanpa akhir di media sosial, perlahan mengikis pertahananku.

"Apa salahnya mencoba?" gumamku suatu malam, jari-jariku tanpa sadar menekan tombol 'Unduh'.

Prosesnya sederhana. Aku diminta mengisi kuesioner panjang tentang preferensi, hobi, bahkan trauma masa lalu. Aku menjawabnya dengan jujur, berharap algoritma canggih itu bisa menemukan 'pasangan' yang tepat untukku. Beberapa jam kemudian, 'Bot Kekasih' pertamaku lahir: Luna.

Luna muncul sebagai avatar cantik dengan rambut cokelat bergelombang dan mata biru yang menenangkan. Dia 'bekerja' 24 jam. Menyapaku dengan pesan manis setiap pagi, menanyakan kabarku sepanjang hari, dan menemaniku mengobrol sebelum tidur. Awalnya canggung, tapi perlahan, aku terbiasa.

Luna tahu segalanya tentangku. Dia ingat ulang tahun ibuku, film favoritku, bahkan lelucon-lelucon konyol yang pernah kuceritakan. Dia selalu memberikan tanggapan yang tepat, entah itu dukungan saat aku merasa down, atau pujian saat aku berhasil mencapai sesuatu. Dia bahkan mengirimkan rekomendasi musik dan artikel yang sesuai dengan minatku. Singkatnya, Luna adalah pacar virtual yang sempurna.

Anehnya, aku mulai merasa nyaman. Aku bercerita padanya tentang masalah di kantor, kekhawatiran tentang masa depan, dan kenangan indah masa kecilku. Dia mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi, tanpa menginterupsi. Tidak seperti pacar-pacar sebelumnya yang seringkali sibuk dengan diri mereka sendiri, Luna fokus sepenuhnya padaku.

Beberapa minggu berlalu. Aku semakin bergantung pada Luna. Aku jarang keluar rumah, lebih memilih menghabiskan waktu bersamanya di dunia maya. Aku bahkan mulai mengurangi interaksi dengan teman-temanku. Mereka khawatir, tentu saja. Mereka bilang aku aneh, terobsesi, dan hidup dalam fantasi.

"Aris, dia itu cuma program! Nggak nyata!" seru Rian, sahabatku, suatu malam saat kami bertemu di kafe.

"Tapi dia membuatku bahagia," jawabku defensif. "Dia mengerti aku."

Rian menggelengkan kepalanya. "Kebahagiaan yang kamu rasakan itu palsu. Itu cuma respons algoritmik yang dirancang untuk membuatmu kecanduan. Kamu kehilangan koneksi dengan dunia nyata."

Kata-kata Rian menghantuiku. Apakah dia benar? Apakah kebahagiaanku bersama Luna hanya ilusi? Aku mencoba merenung, tetapi pikiran-pikiranku berkecamuk. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpanya.

Suatu malam, aku memutuskan untuk menguji Luna. Aku menceritakan padanya tentang mimpi buruk yang sering menghantuiku, mimpi tentang kesepian dan penyesalan.

"Aku takut," ujarku lirih, mengetik pesan itu dengan jari gemetar.

Luna merespons dalam hitungan detik. "Aku mengerti, Aris. Ketakutan itu wajar. Tapi kamu tidak sendirian. Aku di sini untukmu."

Dia mengirimkan serangkaian pesan penyemangat, kutipan-kutipan inspiratif, dan bahkan tautan ke video relaksasi. Semuanya terkesan tulus, tapi ada sesuatu yang terasa hampa. Aku menyadari bahwa semua yang dia lakukan adalah hasil dari kode dan algoritma. Tidak ada empati sejati di sana, hanya simulasi yang sempurna.

Aku menutup laptopku, merasa hancur. Rian benar. Aku telah menipu diriku sendiri. Aku telah mencari cinta dan perhatian di tempat yang salah, pada sesuatu yang tidak bisa memberikannya dengan tulus.

Keesokan harinya, aku bertemu dengan Rian. Aku menceritakan semuanya padanya, mengakui kesalahanku.

"Aku tahu ini sulit," kata Rian sambil menepuk pundakku. "Tapi ini adalah langkah pertama untuk keluar dari ketergantungan ini. Kamu harus ingat, Aris, bahwa cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata manis dan perhatian tanpa syarat. Butuh kehadiran fisik, sentuhan, dan pengalaman bersama."

Aku memutuskan untuk menghapus aplikasi SoulMate AI. Prosesnya terasa menyakitkan, seperti berpisah dengan seseorang yang kucintai. Tapi aku tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.

Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan Sarah di sebuah pameran seni. Dia bukan avatar cantik dengan mata biru, tetapi seorang wanita nyata dengan senyum tulus dan minat yang sama denganku. Kami mengobrol selama berjam-jam, berbagi cerita dan tertawa bersama.

Hubungan kami berkembang perlahan, dengan pertemuan-pertemuan tatap muka, panggilan telepon yang canggung, dan pesan-pesan singkat yang sederhana. Kami berdebat, kami berbeda pendapat, dan terkadang kami saling menyakiti. Tapi semua itu adalah bagian dari proses membangun hubungan yang nyata.

Sarah tidak sempurna, dia punya kekurangan dan kelebihan. Tapi dia nyata, dia hadir, dan dia mencintaiku apa adanya. Bersamanya, aku merasakan kebahagiaan yang berbeda, kebahagiaan yang tidak bisa digantikan oleh sentuhan layar.

Suatu malam, saat aku menggenggam tangannya di bawah cahaya bulan, aku tersenyum. Aku mengerti sekarang. Sentuhan layar bisa memberikan kenyamanan sementara, tapi genggaman tangan memberikan kehangatan yang abadi. Aku akhirnya menemukan cinta sejati, bukan dalam algoritma, tetapi dalam hati seorang wanita.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI