Sentuhan Nol dan Satu: Algoritma Memahami Rindu?

Dipublikasikan pada: 06 Jun 2025 - 19:00:11 wib
Dibaca: 174 kali
Hawa dingin menyeruak dari balik celah ventilasi di apartemen minimalis Anya. Jemarinya menari di atas keyboard, kode-kode rumit berkejaran di layar. Ia seorang programmer handal, nyaris seluruh hidupnya didedikasikan untuk menciptakan algoritma. Kali ini, tantangannya lebih personal: membuat program yang bisa memahami rindu.

Anya menggelengkan kepala, menertawakan absurditas ide itu. Rindu, emosi paling manusiawi, mencoba diterjemahkan ke dalam logika biner? Namun, hati dan pikirannya terus berdebat. Setelah ditinggal pergi Leo setahun lalu, hanya koding yang bisa mengalihkan perhatiannya. Leo, kekasihnya yang ambisius, memilih melanjutkan studi astrofisika di observatorium terpencil di Andes, meninggalkan Anya dengan janji dan bintang-bintang. Komunikasi mereka terbatas, sinyal internet di sana lebih langka dari meteorit.

"Rindu itu seperti bug dalam sistem," gumam Anya, "Sulit dilacak, efeknya tak terduga, dan solusinya...reboot diri."

Namun, ia tidak ingin reboot. Ia ingin memahami, mengukur, bahkan, jika mungkin, mengurangi rindu itu. Maka, proyek 'Saudade', nama kode untuk algoritmanya, pun dimulai.

Anya mulai dengan data. Chat mereka berdua, foto-foto kenangan, lagu-lagu yang sering mereka dengarkan bersama, bahkan, data biologis seperti detak jantung dan suhu tubuhnya saat mereka masih bersama, semua ia masukkan ke dalam database. Ia membuat model matematika yang rumit, menghubungkan stimulus-stimulus eksternal dengan respons emosionalnya.

Minggu berganti bulan. Anya larut dalam 'Saudade'. Ia mengabaikan tidur, lupa makan, teman-temannya khawatir. Apartemennya berubah menjadi sarang kabel dan layar komputer yang berkedip-kedip. Akhirnya, titik terang muncul. Algoritma mulai memberikan prediksi yang akurat tentang kapan dan seberapa kuat Anya akan merasa rindu.

"Menarik," gumamnya, menatap grafik yang menunjukkan lonjakan rindu setiap malam, tepat sebelum ia tidur. "Ternyata, kesunyian dan kegelapan adalah pemicunya."

Kemudian, ia mencoba lebih jauh. Ia memasukkan parameter baru: foto Leo, suara Leo, bahkan aroma parfum Leo yang masih tersimpan di botol kecil. Algoritma merespons. Intensitas rindu meningkat, tapi juga durasinya memendek. Seolah, otak Anya, dengan bantuan algoritma, sedang belajar untuk mengelola emosi.

Suatu malam, Anya mendapatkan pesan dari Leo. Sinyal internet di observatorium membaik. Mereka bertukar kabar. Leo bercerita tentang penemuan baru, tentang bintang-bintang yang jauh, dan tentang betapa ia merindukan Anya.

Anya membaca pesan itu berulang-ulang. Jantungnya berdebar kencang. Ia melihat ke layar komputer, ke grafik 'Saudade'. Grafiknya bergejolak, tapi tidak seperti biasanya. Kali ini, ada elemen baru, bukan sekadar data dan prediksi, tapi... harapan.

Ia membalas pesan Leo. Jari-jarinya gemetar. Ia tidak menulis tentang 'Saudade', tidak menceritakan tentang algoritma yang mencoba memahami rindunya. Ia hanya menulis, "Aku juga merindukanmu, Leo. Sangat."

Setelah mengirim pesan itu, Anya menutup laptopnya. Ia mematikan lampu. Apartemennya gelap gulita. Biasanya, di saat seperti ini, rindu akan menyerangnya dengan ganas. Tapi malam ini, ada yang berbeda. Ada kehangatan yang merayap di hatinya, bukan lagi dinginnya kesunyian.

Ia memejamkan mata. Ia tidak lagi bergantung pada algoritma. Ia tidak lagi mencoba mengukur atau mengendalikan rindunya. Ia membiarkannya mengalir, seperti sungai yang mengalir menuju laut.

Beberapa hari kemudian, Anya menerima paket dari Leo. Sebuah batu kecil, diambil dari puncak gunung di Andes, dan selembar kertas bertuliskan koordinat bintang.

Anya tersenyum. Ia mengambil batu itu, menggenggamnya erat. Ia membuka laptopnya. Bukan untuk menjalankan 'Saudade', tapi untuk mencari tahu bintang apa yang ditunjukkan Leo. Ia menemukan bintang itu. Bintang yang jauh, redup, tapi nyata. Seperti cinta mereka.

Anya menyadari bahwa algoritma tidak bisa benar-benar memahami rindu. Ia hanya bisa membantu mengidentifikasi pola, memprediksi intensitas. Tapi, inti dari rindu, kerinduan itu sendiri, adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan angka dan kode. Itu adalah kerinduan akan sentuhan, akan kehadiran, akan kebersamaan.

Ia menghapus 'Saudade'. Ia tidak membutuhkannya lagi. Ia telah menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasi rindu. Ia menemukan cara untuk terhubung dengan Leo, bukan melalui algoritma, tapi melalui hati.

Anya membuka jendela. Angin malam menerpa wajahnya. Ia menatap langit, mencari bintang yang ditunjukkan Leo. Ia tidak tahu kapan mereka akan bertemu lagi. Tapi, ia tahu bahwa jarak tidak akan memisahkan mereka. Karena cinta mereka, seperti bintang-bintang, abadi. Sentuhan mereka, meski terpisah jarak dan waktu, tetap terasa. Sentuhan nol dan satu telah gagal memahami rindu, tetapi hati telah berhasil menjembatani jarak.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI