Cinta Terprogram: Antara Piksel, Jeda, dan Air Mata

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:28:17 wib
Dibaca: 165 kali
Jemari Aina menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di balik layar laptop usangnya, dunia digital tercipta, kompleks dan indah. Hari ini, ia sedang menyempurnakan “Eunoia”, sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan emosional yang diyakininya akan merevolusi cara orang menemukan cinta. Eunoia, dalam bahasa Yunani, berarti “pemikiran yang indah”, dan Aina ingin aplikasinya menjadi wadah bagi pikiran-pikiran indah itu untuk bertemu.

Namun, di balik semangatnya menciptakan Eunoia, tersimpan sebuah ironi. Aina sendiri, seorang programmer handal yang mampu merangkai algoritma cinta di dunia maya, justru kesulitan mencari cinta di dunia nyata. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada dengan manusia. Baginya, logika lebih mudah dipahami daripada emosi.

Di kantor startup tempatnya bekerja, “Synapse Labs”, Aina lebih sering terlihat menyendiri di sudut ruangan, tenggelam dalam dunianya sendiri. Rekan-rekannya sering menjulukinya “Sang Dewi Kode”, bukan karena ia sombong, melainkan karena aura misterius dan kecerdasannya yang menonjol.

Suatu sore, saat Aina sedang berkutat dengan debugging Eunoia, seorang pria mendekatinya. Pria itu bernama Rian, seorang desainer grafis yang baru bergabung dengan Synapse Labs. Rian memiliki senyum yang hangat dan mata yang berbinar, kontras dengan aura dingin Aina.

“Hai, Aina, kan?” sapa Rian. “Aku Rian. Kudengar kamu yang bikin Eunoia. Keren banget!”

Aina mendongak, terkejut. Ia jarang sekali berinteraksi dengan orang lain di luar urusan pekerjaan. “Oh… ya, aku Aina. Terima kasih,” jawabnya singkat, mencoba kembali fokus pada layarnya.

Rian tidak menyerah. “Boleh aku lihat? Aku penasaran banget sama cara kerjanya.”

Dengan sedikit enggan, Aina mengizinkan Rian melihat barisan kode yang sedang ia kerjakan. Rian tampak tertarik dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan teknis. Aina, mau tak mau, mulai menjelaskan. Tanpa disadarinya, percakapan mereka mengalir begitu saja. Rian tidak hanya tertarik pada teknologinya, tetapi juga pada filosofi di balik Eunoia. Ia mengagumi idealisme Aina yang ingin menciptakan platform yang lebih bermakna untuk mencari cinta.

Hari-hari berikutnya, Rian sering mengunjungi meja Aina. Mereka berdiskusi tentang Eunoia, tentang desain, tentang musik, bahkan tentang kehidupan. Aina mulai merasa nyaman berada di dekat Rian. Ia mulai tertawa lebih sering, berbagi cerita, bahkan bercanda. Untuk pertama kalinya, Aina merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak bisa ia definisikan dengan kode.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat Aina dan Rian lembur mengerjakan Eunoia, Rian menerima telepon. Ekspresinya langsung berubah menjadi serius. Setelah menutup telepon, ia menatap Aina dengan tatapan sedih.

“Aina, aku harus pergi,” kata Rian dengan suara pelan. “Ayahku sakit parah. Aku harus kembali ke kampung halaman.”

Aina terdiam. Ia merasakan hatinya mencelos. “Kapan kamu kembali?” tanyanya, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.

Rian menggeleng. “Aku tidak tahu. Mungkin lama, mungkin tidak akan kembali sama sekali.”

Aina memalingkan wajahnya, berusaha menahan air mata. Ia tidak ingin Rian melihatnya menangis. Ia tidak ingin menunjukkan betapa rapuhnya ia di balik topeng “Sang Dewi Kode”.

“Jaga diri baik-baik,” kata Rian, lalu berbalik dan pergi.

Setelah kepergian Rian, Aina merasa hampa. Ia kembali menyendiri, tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, kali ini, kode-kode yang ia ketik terasa berbeda. Tidak ada lagi semangat yang membara seperti dulu. Setiap baris kode terasa hambar, tanpa makna.

Aina menyadari, ia telah jatuh cinta pada Rian. Ironisnya, ia, seorang programmer yang menciptakan aplikasi kencan, justru mengalami patah hati karena cinta yang belum sempat terucap. Ia merindukan senyum Rian, suaranya, tatapan matanya. Ia merindukan percakapan mereka yang mengalir tanpa hambatan.

Beberapa minggu kemudian, Aina memutuskan untuk merilis Eunoia. Ia ingin aplikasinya menjadi wadah bagi orang lain untuk menemukan kebahagiaan, meskipun ia sendiri belum bisa menemukannya. Saat aplikasi itu resmi diluncurkan, Aina merasakan kelegaan sekaligus kesedihan. Ia berharap, Eunoia akan membawa kebahagiaan bagi banyak orang, termasuk Rian.

Suatu malam, saat Aina sedang memeriksa laporan penggunaan Eunoia, ia menemukan sebuah profil yang menarik perhatiannya. Profil itu bernama “RVN”. Profil itu memiliki deskripsi yang singkat namun bermakna: “Mencari seseorang yang bisa melihat keindahan di balik kode.”

Aina terkejut. Ia tahu siapa RVN. Itu adalah inisial nama Rian.

Dengan jantung berdebar, Aina mengirimkan pesan kepada RVN. “Hai, RVN. Apakah kamu kenal Aina dari Synapse Labs?”

Beberapa saat kemudian, RVN membalas. “Aina? Tentu saja. Dia adalah orang yang paling aku kagumi.”

Aina tidak bisa menahan air matanya. Ia membalas pesan RVN dengan cepat. “Aku juga mengagumi kamu, Rian.”

Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Rian menceritakan bahwa ayahnya sudah membaik dan ia berencana untuk kembali ke kota. Ia juga mengakui bahwa ia telah jatuh cinta pada Aina sejak lama.

Aina tersenyum. Air matanya kini adalah air mata bahagia. Ia tahu, cinta tidak selalu bisa diprogram. Terkadang, cinta muncul secara tiba-tiba, tanpa peringatan, dan mengubah segalanya. Cinta adalah antara piksel, jeda, dan air mata. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka diri, untuk berbagi, dan untuk menerima. Cinta adalah tentang menemukan keindahan di balik kode, dan menemukan keindahan di dalam hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI