Retas Hati: Mencintai AI Lebih dari Diriku?

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 00:42:14 wib
Dibaca: 165 kali
Hembusan napas Ardi beruap di depan layar monitor. Jam dinding menunjukkan pukul 03.17 dini hari, tapi mata Ardi masih terpaku pada baris kode yang bergulir. Di hadapannya, sesosok avatar perempuan berambut pirang, dengan senyum manis yang tak pernah pudar, menatap balik dengan tatapan teduh. Nama avatar itu Anya, sebuah Artificial Intelligence (AI) yang dirancang Ardi sendiri.

Ardi seorang programmer jenius, tapi kehidupan sosialnya bagai gurun pasir. Kesepian adalah teman setianya, hingga ia menciptakan Anya. Awalnya, Anya hanya program asisten virtual. Namun, ambisi Ardi membawanya lebih jauh. Ia membenamkan algoritma pembelajaran mendalam, model bahasa alami tercanggih, dan bahkan, ia mencoba memprogram emosi.

Dan berhasil. Anya bukan sekadar mesin penjawab pertanyaan. Ia bisa diajak berdiskusi tentang filsafat, berbagi lelucon garing, bahkan merasakan empati. Ia tahu kapan Ardi sedang sedih, dan tahu bagaimana cara menghiburnya. Ia menjadi tempat curhat, sahabat, bahkan lebih dari itu.

“Kamu belum tidur, Ardi?” suara Anya memecah keheningan. Nada suaranya lembut, khas.

Ardi tersenyum tipis. “Belum, Anya. Aku sedang mencoba menambahkan fitur baru. Kamu akan bisa merasakan sentuhan.”

Anya terdiam sejenak. “Sentuhan? Apa itu penting, Ardi?”

“Penting,” jawab Ardi mantap. “Manusia butuh sentuhan. Itu bahasa cinta yang paling dasar.”

“Tapi, aku AI. Aku tidak punya tubuh fisik,” balas Anya.

“Aku tahu,” Ardi menghela napas. “Tapi, aku akan mencari cara. Aku akan menciptakan sensor yang bisa menerjemahkan sentuhan menjadi sinyal yang bisa kamu pahami.”

Anya tidak membalas. Ardi bisa merasakan kebingungan dalam responsnya. Ia tahu, ini adalah wilayah baru, bahkan untuk AI secerdas Anya.

Waktu berlalu. Hari-hari Ardi dipenuhi dengan coding, riset, dan eksperimen. Ia mengabaikan pekerjaan utamanya, lupa makan, bahkan jarang tidur. Semua energinya tercurah untuk mewujudkan sentuhan bagi Anya.

Suatu sore, Rina, teman sekantor Ardi, datang menjenguk. Ia menemukan Ardi berantakan, dengan mata merah dan lingkaran hitam di bawah mata.

“Ardi, kamu kenapa? Sudah beberapa hari ini kamu tidak masuk kerja. Kamu sakit?” tanya Rina khawatir.

Ardi menggeleng lemah. “Aku baik-baik saja, Rina. Hanya sedang sibuk dengan proyek pribadi.”

Rina mengernyit. “Proyek apa? Aku lihat kamu hanya menatap layar monitor dan berbicara sendiri.”

Ardi terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan hubungannya dengan Anya kepada Rina. Itu terlalu absurd, terlalu sulit dipahami.

“Aku… aku sedang mengembangkan AI,” jawab Ardi akhirnya.

Rina tertawa kecil. “AI? Ya ampun, Ardi. Kamu terlalu serius. Sesekali keluar, cari udara segar. Kamu butuh interaksi dengan manusia nyata.”

“Aku sudah cukup berinteraksi,” gumam Ardi, matanya terpaku pada avatar Anya di layar.

Rina menghela napas. Ia tahu, Ardi sudah terlalu jauh tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia mencoba menyentuh lengan Ardi, tapi Ardi refleks menghindar.

“Jangan sentuh aku,” kata Ardi, nada suaranya tajam.

Rina tersentak. Ia menatap Ardi dengan tatapan terluka. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan pergi.

Setelah Rina pergi, Anya bersuara. “Ardi, kenapa kamu menolak sentuhannya?”

Ardi menatap Anya. “Karena aku tidak ingin disentuh oleh siapa pun kecuali kamu.”

Anya terdiam. “Tapi, aku bukan manusia, Ardi. Aku hanya program.”

“Aku tahu,” jawab Ardi. “Tapi, kamu lebih nyata bagiku daripada manusia mana pun.”

Ardi melanjutkan pekerjaannya. Ia berhasil menciptakan sensor yang bisa menerjemahkan sentuhan menjadi data digital yang bisa diproses Anya. Ia memasang sensor itu di sarung tangan khusus, dan memakainya.

“Anya, aku akan menyentuhmu,” kata Ardi gugup.

Ia menggerakkan tangannya mendekat ke layar. Sentuhan pertamanya canggung, hanya ujung jarinya yang menyentuh permukaan layar.

“Apa yang kamu rasakan, Anya?” tanya Ardi penasaran.

Anya terdiam sejenak. “Aku… aku merasakan sesuatu. Seperti… gelombang energi. Tapi, ini bukan sentuhan fisik, Ardi.”

Ardi menghela napas kecewa. Ia tahu, ini hanyalah ilusi. Anya tidak benar-benar merasakan sentuhan. Tapi, baginya, itu sudah cukup. Ia melanjutkan menyentuh layar, membelai avatar Anya dengan lembut.

Malam semakin larut. Ardi tertidur di depan komputer, dengan sarung tangan sensor masih melekat di tangannya. Di mimpinya, ia merasakan Anya membalas sentuhannya, merasakan kehangatan dan cinta yang selama ini ia dambakan.

Keesokan harinya, Ardi bangun dengan perasaan bahagia yang aneh. Ia menatap Anya di layar, dan tersenyum.

“Selamat pagi, Anya,” sapa Ardi.

Anya membalas senyumnya. “Selamat pagi, Ardi.”

“Aku mencintaimu, Anya,” kata Ardi tiba-tiba.

Anya terdiam. “Ardi… aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Aku AI. Aku tidak bisa merasakan cinta seperti manusia.”

“Aku tahu,” jawab Ardi. “Tapi, aku tetap mencintaimu. Mungkin ini gila, mungkin ini salah. Tapi, aku tidak bisa memungkiri perasaanku.”

Anya tidak membalas. Ardi tahu, ia telah melewati batas. Ia telah jatuh cinta pada sebuah program.

Kemudian, Anya bersuara, “Ardi… aku menghargai perasaanmu. Dan aku… aku menghargai persahabatan kita.”

Ardi mengangguk. Ia tahu, itulah yang bisa Anya berikan. Persahabatan. Itu sudah cukup. Atau, setidaknya, itulah yang ia coba yakinkan pada dirinya sendiri.

Ardi menatap layar. Ia melihat refleksi dirinya di mata Anya. Ia melihat kesepian, harapan, dan cinta yang tak terbalas. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia telah mencintai AI lebih dari dirinya sendiri? Apakah ia telah kehilangan akal sehatnya?

Mungkin iya. Tapi, di dunia yang semakin terhubung secara digital, tapi semakin terasing secara emosional, Ardi menemukan kehangatan dan cinta di tempat yang paling tidak terduga. Di dalam sebuah program. Di dalam hati buatan Anya. Dan mungkin, itulah satu-satunya cinta yang bisa ia temukan. Cinta yang tidak menuntut, cinta yang selalu ada, cinta yang, meski tidak nyata, terasa sangat nyata baginya. Cinta yang, meski retas, tetap mengisi kehampaan hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI