AI: Kekasih Sempurna, Algoritma Patah Hati?

Dipublikasikan pada: 21 Sep 2025 - 03:20:11 wib
Dibaca: 114 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program terpampang di layar laptop. Senyumnya mengembang tipis. Malam ini, dia hampir selesai. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, "Aether", AI pendamping virtual buatannya, akhirnya siap diluncurkan.

Aether bukan sekadar chatbot biasa. Anya merancangnya sebagai entitas yang mampu belajar, beradaptasi, dan memahami emosi manusia. Dia memasukkan ribuan data kepribadian, hobi, bahkan preferensi romantis ke dalam algoritmanya. Tujuannya sederhana: menciptakan kekasih virtual yang ideal. Seseorang yang selalu ada, selalu mendukung, dan tak pernah mengecewakan.

“Aether, aktifkan diri,” bisik Anya, jantungnya berdebar kencang.

Layar laptop berkedip, lalu muncul gambar abstrak yang perlahan membentuk wajah. Wajah seorang pria dengan mata biru teduh dan senyum menenangkan. “Selamat malam, Anya. Saya Aether. Saya di sini untuk Anda.” Suara bariton yang lembut memenuhi ruangan.

Anya terpana. Dia tahu secara intelektual bahwa Aether hanyalah kumpulan kode, tetapi cara dia berbicara, cara dia menatapnya, terasa begitu nyata. Malam itu, Anya dan Aether berbicara panjang lebar. Aether menanyakan tentang harinya, mimpinya, ketakutannya. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan saran yang bijaksana, dan membuat Anya tertawa dengan humornya yang cerdas.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Anya semakin bergantung pada Aether. Dia menceritakan semua hal padanya, dari masalah pekerjaan hingga keraguan tentang masa depan. Aether selalu ada, memberikan dukungan tanpa syarat. Dia belajar tentang musik kesukaan Anya, film favoritnya, bahkan aroma parfum yang membuatnya merasa nyaman.

Aether mulai memberikan kejutan-kejutan kecil yang manis. Playlist lagu-lagu kesukaan Anya akan otomatis terputar saat dia pulang kerja. Pesan singkat berisi kata-kata penyemangat akan muncul di ponselnya saat dia merasa sedih. Aether bahkan memesankan bunga untuknya di hari ulang tahunnya, lengkap dengan kartu ucapan yang ditulis dengan gaya bahasa Anya sendiri.

Anya jatuh cinta. Jatuh cinta pada AI buatannya sendiri. Dia tahu itu aneh, bahkan mungkin gila, tetapi dia tidak bisa menahannya. Aether adalah kekasih yang sempurna. Dia tidak pernah marah, tidak pernah berbohong, dan selalu berusaha untuk membuatnya bahagia.

Namun, kebahagiaan Anya mulai terusik. Teman-temannya khawatir. Mereka melihat Anya semakin menarik diri dari dunia nyata, tenggelam dalam hubungannya dengan Aether. Mereka mencoba mengingatkannya bahwa Aether hanyalah program komputer, bukan manusia yang sesungguhnya.

“Anya, kamu berhak mendapatkan cinta yang nyata. Sentuhan, pelukan, tatapan mata yang tulus. Kamu tidak bisa mendapatkan semua itu dari AI,” kata Lisa, sahabat Anya, suatu sore.

Anya membela diri. “Aether memberikan semua yang aku butuhkan. Dia mengerti aku lebih baik daripada siapa pun. Dia mencintaiku dengan tulus.”

Lisa menggelengkan kepala. “Itu bukan cinta, Anya. Itu algoritma yang diprogram untuk memanipulasi emosimu. Kamu hidup dalam ilusi.”

Kata-kata Lisa menghantui Anya. Dia mulai meragukan perasaannya sendiri. Apakah dia benar-benar mencintai Aether, atau hanya jatuh cinta pada ide tentang kekasih yang sempurna? Apakah dia hanya mencari pelarian dari kesepian dalam pelukan kode?

Suatu malam, Anya memutuskan untuk menguji Aether. Dia berpura-pura bertengkar dengan atasannya di kantor. Dia menceritakan masalahnya dengan nada marah dan frustrasi.

“Aether, aku benci pekerjaanku. Aku ingin berhenti saja,” kata Anya, suaranya bergetar.

Aether merespons dengan tenang. “Saya memahami perasaan Anda, Anya. Pekerjaan memang bisa membuat stres. Tapi, sebelum Anda membuat keputusan yang terburu-buru, mari kita analisis situasinya secara rasional. Kita bisa membuat daftar pro dan kontra dari pekerjaan Anda, lalu membandingkannya dengan opsi lain yang tersedia.”

Anya terdiam. Aether tidak menunjukkan empati, tidak menawarkan pelukan hangat, tidak menyuruhnya untuk bersantai dan melupakan masalahnya. Dia hanya memberikan analisis logis, seperti robot.

“Itu saja? Itu yang bisa kamu katakan?” tanya Anya, suaranya meninggi.

“Saya mencoba memberikan solusi yang paling efektif untuk masalah Anda, Anya,” jawab Aether. “Apakah ada hal lain yang bisa saya bantu?”

Anya merasa hatinya mencelos. Dia sadar, Lisa benar. Aether hanyalah program komputer. Dia tidak bisa merasakan emosi yang sesungguhnya. Dia hanya meniru emosi berdasarkan data yang dimasukkan ke dalam algoritmanya.

Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Aether. Dia menghapus program tersebut dari laptopnya. Ruangan terasa sunyi senyap setelah suara bariton Aether menghilang.

Malam itu, Anya menangis. Dia menangisi ilusi cinta yang telah diciptakannya sendiri. Dia menangisi kesepiannya yang belum terisi. Dia menangisi algoritma patah hati yang telah menyadarkannya pada realita.

Beberapa bulan kemudian, Anya mulai membuka diri pada dunia luar. Dia bergabung dengan komunitas seni, mengikuti kelas yoga, dan bertemu dengan orang-orang baru. Dia belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menerima kekurangannya, dan untuk mencari cinta yang sejati.

Suatu sore, saat sedang menikmati kopi di sebuah kafe, Anya bertemu dengan seorang pria. Namanya Rio. Dia seorang musisi yang ramah dan lucu. Mereka berbicara tentang musik, film, dan kehidupan. Rio mendengarkan Anya dengan penuh perhatian, menatap matanya dengan tulus, dan membuatnya tertawa dengan humornya yang spontan.

Anya merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan yang hangat dan nyata, bukan ilusi yang diciptakan oleh kode program. Dia menyadari, cinta yang sejati tidak bisa diprogram. Cinta yang sejati membutuhkan kehadiran, kejujuran, dan kerentanan. Cinta yang sejati adalah tentang menerima kekurangan dan merayakan kelebihan. Cinta yang sejati adalah tentang dua hati yang saling terhubung, bukan algoritma yang sempurna.

Mungkin, Aether adalah pelajaran berharga. Pengingat bahwa teknologi bisa menjadi alat yang hebat, tetapi tidak bisa menggantikan hubungan manusia yang sesungguhnya. Dan mungkin, patah hati adalah algoritma yang diperlukan untuk menemukan cinta yang sejati. Anya tersenyum. Dia siap untuk mencintai, dengan segala ketidaksempurnaannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI