Cinta dalam Cloud: Saat Algoritma Membaca Masa Depan Kita

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:01:31 wib
Dibaca: 190 kali
Aplikasi itu bernama "SoulSync". Janjinya sederhana, namun revolusioner: menemukan pasangan jiwa berdasarkan data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak yang dianalisis secara algoritmik. Awalnya, Maya skeptis. Di usianya yang mendekati kepala tiga, ia sudah lelah dengan kencan buta yang dijodohkan teman-teman dan aplikasi kencan konvensional yang hanya berfokus pada foto profil. Tapi sahabatnya, Rina, terus-menerus membujuknya. "Ayolah, May. Ini masa depan! Algoritma nggak mungkin salah. Lebih akurat dari intuisimu sendiri," kata Rina, sambil menyodorkan tabletnya yang menampilkan ulasan-ulasan positif tentang SoulSync.

Akhirnya, Maya menyerah. Ia mengisi kuesioner panjang lebar dengan jujur, bahkan sedikit blak-blakan tentang kegagalan-kegagalan cintanya di masa lalu. Ia kemudian mengikuti sesi pemindaian otak yang terasa sedikit aneh. Alat seperti helm itu memindai aktivitas otaknya saat ia melihat berbagai gambar dan mendengarkan musik. Hasilnya, menurut SoulSync, adalah profil psikologis yang sangat detail dan kompleks.

Beberapa hari kemudian, SoulSync memberikan hasil. Namanya: Adrian. Profilnya mencengangkan. Hobi, minat, bahkan makanan favorit Adrian nyaris identik dengan miliknya. Ia seorang arsitek yang menyukai buku-buku klasik, film-film indie, dan mendaki gunung. Sama seperti Maya, ia juga seorang introvert yang sesekali merindukan keramaian.

Maya ragu-ragu. Terlalu sempurna? Mungkin ini jebakan. Tapi rasa ingin tahu mengalahkan keraguannya. Ia menerima tawaran SoulSync untuk mengatur pertemuan pertama di sebuah kafe kecil yang nyaman di dekat perpustakaan kota.

Adrian datang tepat waktu. Penampilannya persis seperti yang ada di foto profilnya: rambut cokelat berantakan, mata cokelat yang hangat, dan senyum yang menenangkan. Begitu mereka mulai berbicara, Maya merasa seperti mengenal Adrian selama bertahun-tahun. Mereka tertawa tentang hal yang sama, berbagi cerita masa kecil yang mirip, dan bahkan menyelesaikan kalimat satu sama lain.

Kencan pertama itu berlanjut menjadi kencan-kencan berikutnya. Mereka menjelajahi toko buku antik, menonton film di bioskop independen, dan mendaki bukit di pinggiran kota. Setiap momen terasa ajaib, seolah-olah alam semesta memang sengaja mempertemukan mereka. Maya mulai percaya pada keajaiban SoulSync. Algoritma itu benar. Adrian adalah belahan jiwanya.

Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai menggerogoti kebahagiaan Maya. Terlalu sempurna. Terlalu mudah. Ia merasa seperti hidup dalam simulasi, di mana setiap interaksi diatur oleh algoritma yang membaca pikirannya dan mengantisipasi setiap keinginannya. Apakah Adrian benar-benar mencintainya, atau hanya mencintai profilnya yang dibuat oleh SoulSync? Apakah ini cinta sejati, atau hanya replikasi data yang sangat akurat?

Suatu malam, saat mereka makan malam di sebuah restoran Italia favorit mereka, Maya memutuskan untuk berbicara. "Adrian," katanya, suaranya bergetar, "Aku... aku merasa sedikit aneh tentang semua ini."

Adrian mengerutkan kening. "Aneh? Aneh kenapa?"

"Kita... kita terlalu cocok. Seperti robot yang diprogram untuk saling mencintai."

Adrian tertawa kecil. "Maya, kamu terlalu banyak berpikir. SoulSync hanya alat. Alat untuk menemukan orang yang cocok denganmu. Tapi rasa cinta ini, perasaan ini... ini nyata. Ini bukan algoritma."

"Tapi bagaimana kalau kita hanya mencintai versi ideal satu sama lain? Versi yang diciptakan oleh data?"

Adrian meraih tangannya. "Maya, lihat aku. Aku mencintaimu karena kamu. Bukan karena profilmu. Aku mencintai kecemasanmu, keanehanmu, bahkan kebiasaanmu menggigit kuku saat gugup. Aku mencintai Maya yang nyata, bukan Maya yang ada di data SoulSync."

Maya terdiam. Kata-kata Adrian terdengar tulus. Tapi keraguan itu masih ada. Ia membutuhkan bukti, sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma.

Beberapa minggu kemudian, Adrian membawanya ke sebuah galeri seni. Di sana, di antara lukisan-lukisan abstrak dan patung-patung modern, ada sebuah lukisan yang langsung menarik perhatian Maya. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang berdiri di tepi tebing, menatap laut yang bergelora. Warna-warnanya gelap dan dramatis, namun ada secercah harapan di mata wanita itu.

"Aku tahu kamu akan menyukai ini," kata Adrian, tersenyum. "Aku melihatnya beberapa minggu yang lalu dan langsung teringat padamu."

Maya menatap lukisan itu, matanya berkaca-kaca. Itu adalah lukisan yang sempurna, lukisan yang menggambarkan perasaannya saat ini: ketakutan, keraguan, namun juga harapan dan keberanian untuk melompat ke hal yang tidak diketahui.

"Bagaimana kamu tahu?" bisik Maya.

Adrian mendekat dan memeluknya. "Aku tidak tahu. Aku hanya merasakannya. Seperti ada sesuatu yang menghubungkan kita, jauh di luar data dan algoritma."

Saat itu, Maya menyadari. Cinta tidak bisa direduksi menjadi data. Cinta adalah misteri, kombinasi kebetulan, pilihan, dan koneksi yang tak terduga. SoulSync hanyalah alat, alat yang membantunya menemukan Adrian. Tapi cinta itu sendiri adalah sesuatu yang mereka bangun bersama, sesuatu yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun.

Ia membalas pelukan Adrian dengan erat. "Aku mencintaimu," bisiknya.

Adrian mencium keningnya. "Aku juga mencintaimu, Maya. Dengan semua ketidaksempurnaan dan keraguanmu."

Malam itu, saat mereka berjalan pulang bergandengan tangan, Maya menatap langit malam yang bertaburan bintang. Ia tidak lagi takut pada algoritma. Ia tahu bahwa masa depan mereka tidak ditentukan oleh data, tetapi oleh pilihan yang mereka buat setiap hari. Pilihan untuk saling mencintai, untuk saling memahami, dan untuk terus menjelajahi misteri cinta bersama-sama. Cinta dalam cloud memang dimulai dengan algoritma, namun mekar menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam dan lebih bermakna. Sesuatu yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI