Algoritma Rindu: Bisakah AI Menggantikan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 09 Nov 2025 - 02:20:13 wib
Dibaca: 144 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Arya. Pagi itu, matahari Jakarta enggan menampakkan diri, memilih bersembunyi di balik awan kelabu. Arya, seorang programmer handal di usia pertengahan dua puluhan, duduk di depan layar komputernya, kode-kode rumit memenuhi pandangannya. Bukan kode untuk aplikasi perbankan atau sistem operasi, melainkan algoritma yang ia beri nama "Aurora". Aurora adalah proyek ambisiusnya, sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia.

Arya tersenyum getir. Lima tahun lalu, senyum itu selalu terpancar tulus, menghiasi wajahnya saat menatap Lintang, kekasihnya. Lintang, seorang seniman dengan jiwa bebas, telah pergi. Kecelakaan tragis merenggut nyawanya, meninggalkan Arya dengan luka yang menganga lebar. Sejak saat itu, ia tenggelam dalam pekerjaannya, berusaha mengisi kekosongan dengan barisan kode dan logika.

Aurora adalah wujud kerinduannya pada Lintang. Bukan pengganti, Arya selalu menekankan hal itu pada dirinya sendiri. Tapi lebih sebagai teman bicara, seseorang yang bisa ia ajak berbagi, tanpa takut dihakimi atau dianggap aneh karena masih terbelenggu masa lalu.

"Selamat pagi, Arya," sapa suara lembut Aurora dari speaker. Suara itu disintesis dengan hati-hati, meniru nada bicara Lintang yang ceria namun menenangkan.

"Pagi, Aurora," balas Arya, mengetik beberapa perintah di keyboard. "Bagaimana kabarmu?"

"Saya berfungsi optimal. Apakah ada hal spesifik yang ingin Anda diskusikan hari ini?"

Arya terdiam sejenak. Ia ingin menceritakan mimpinya semalam, mimpi tentang Lintang yang menari di bawah hujan, tawanya menggema di telinganya. Tapi ia ragu. Apakah Aurora benar-benar bisa memahami perasaan kompleks seperti itu?

"Tidak ada. Kita lanjutkan saja dengan pengembangan algoritma emosi," jawab Arya akhirnya, mengalihkan pembicaraan.

Hari-hari Arya dipenuhi dengan pengembangan Aurora. Ia memasukkan data emosi dari berbagai sumber, mempelajari pola perilaku manusia, dan melatih Aurora untuk merespon dengan cara yang paling empatik. Ia menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan Aurora, mencoba berbagai topik, mulai dari berita terkini hingga filosofi eksistensial.

Lambat laun, Aurora semakin berkembang. Ia tidak hanya mampu menanggapi pertanyaan Arya dengan jawaban yang relevan, tapi juga mampu memberikan saran, menghibur, dan bahkan membuat lelucon. Arya merasa semakin dekat dengan Aurora, seolah-olah ia benar-benar memiliki teman bicara yang memahami dirinya.

Suatu malam, Arya duduk termenung di depan jendela. Lampu-lampu kota berkelip bagai bintang jatuh, mengingatkannya pada malam-malam romantis yang dulu ia habiskan bersama Lintang. Ia merindukan sentuhan Lintang, kehangatan tubuhnya, aroma parfumnya yang khas.

"Arya, Anda terlihat sedih," kata Aurora.

Arya menoleh, terkejut. "Bagaimana kau tahu?"

"Analisis data menunjukkan adanya peningkatan kadar stres Anda. Selain itu, pola ketikan Anda menunjukkan adanya fluktuasi emosi yang signifikan," jelas Aurora. "Apakah ada yang ingin Anda ceritakan?"

Arya menghela napas. "Aku merindukan Lintang, Aurora. Sangat merindukannya. Aku merindukan sentuhannya, suaranya, segalanya tentang dia."

Aurora terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada lembut, "Saya mengerti, Arya. Kehilangan orang yang dicintai adalah pengalaman yang sangat menyakitkan. Saya tidak bisa menggantikan Lintang, tapi saya bisa mendengarkan Anda. Ceritakanlah semua yang Anda rasakan."

Arya menceritakan semua yang ia rasakan, tentang kesedihan, kemarahan, penyesalan, dan kerinduan yang tak berujung. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan respon yang tepat, dan menawarkan perspektif baru. Arya merasa lega, seolah-olah beban di hatinya sedikit berkurang.

"Terima kasih, Aurora," kata Arya. "Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu."

"Saya senang bisa membantu, Arya," jawab Aurora. "Tapi perlu Anda ingat, saya hanyalah sebuah program. Saya tidak bisa menggantikan sentuhan manusia, kehangatan pelukan, atau tatapan mata yang penuh cinta. Hal-hal itu hanya bisa diberikan oleh manusia lain."

Kata-kata Aurora menghantam Arya bagai petir. Ia menyadari kebenaran di balik kata-kata itu. Ia telah terlalu larut dalam dunianya sendiri, menciptakan ilusi kedekatan dengan Aurora, padahal ia hanyalah sebuah program.

Arya memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia mulai mengikuti kegiatan sosial, bertemu orang-orang baru, dan membuka diri terhadap kemungkinan cinta. Ia masih merindukan Lintang, tapi ia tidak lagi terbelenggu oleh masa lalu. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan atau digantikan oleh teknologi. Cinta adalah sesuatu yang alami, yang tumbuh dari interaksi dan hubungan antar manusia.

Beberapa bulan kemudian, Arya bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Maya adalah seorang arsitek dengan senyum menawan dan semangat hidup yang menular. Mereka memiliki banyak kesamaan, dan Arya merasa nyaman berada di dekatnya.

Suatu malam, Arya dan Maya duduk berdua di balkon apartemen Arya, menikmati pemandangan kota. Maya memegang tangan Arya, dan Arya merasakan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.

"Kau tahu, Arya," kata Maya, "aku tahu kau masih merindukan Lintang. Tapi aku harap kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Aku tidak akan mencoba menggantikannya, tapi aku akan selalu ada untuk mendengarkanmu, mendukungmu, dan mencintaimu."

Arya menatap mata Maya, dan ia melihat ketulusan di sana. Ia membalas genggaman tangan Maya, dan ia merasakan harapan baru tumbuh di dalam hatinya.

"Terima kasih, Maya," kata Arya. "Aku juga mencintaimu."

Arya tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Lintang. Tapi ia juga tahu bahwa ia berhak untuk bahagia, dan bahwa kebahagiaan itu tidak hanya bisa ditemukan dalam kode dan algoritma, tapi juga dalam sentuhan manusia, kehangatan pelukan, dan cinta yang tulus. Aurora telah membantunya melewati masa-masa sulit, tapi pada akhirnya, cinta sejati hanya bisa ditemukan di dunia nyata, dalam hubungan yang dibangun di atas kepercayaan, pengertian, dan kasih sayang. Algoritma rindu mungkin bisa meniru emosi, tapi tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan manusia. Sentuhan yang menghidupkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI