Cinta Algoritmik: Sempurna di Layar, Kosong di Hati?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:38:10 wib
Dibaca: 174 kali
Aplikasi kencan "SoulMate.AI" menjanjikan kesempurnaan. Bukan sekadar mencocokkan hobi atau preferensi, algoritma canggihnya menganalisis gelombang otak, ekspresi wajah, bahkan pola tidur untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara emosional. Anya, seorang programmer jenius tapi payah soal percintaan, tergoda. Ia lelah dengan kencan-kencan canggung dan harapan palsu. Ia ingin cinta yang terprediksi, terukur, dan tentu saja, berhasil.

Awalnya, Anya ragu. Konsep cinta yang dihitung terasa dingin dan tidak manusiawi. Tapi sahabatnya, Rina, terus meyakinkannya. "Ayolah, Anya! Kamu bahkan bisa membuat program untuk memanggang roti yang sempurna, kenapa tidak mencoba program cinta? Lagipula, apa salahnya mencoba?"

Akhirnya, Anya menyerah. Ia mengunduh SoulMate.AI, mengisi profil dengan jujur, dan menyerahkan data dirinya pada algoritma. Prosesnya terasa aneh. Anya diminta mengenakan headset khusus selama beberapa hari, merekam suara dan ekspresi wajahnya, bahkan men-scan sidik jarinya. Ia merasa seperti kelinci percobaan, tapi rasa penasarannya lebih besar dari kegelisahannya.

Seminggu kemudian, notifikasi muncul di layar ponsel Anya: "Kandidat SoulMate ditemukan! Persentase kompatibilitas: 98.7%."

Jantung Anya berdegup kencang. Ia membuka profil yang disodorkan aplikasi. Namanya, Liam. Fotografer lepas, pecinta kopi hitam, dan suka mendaki gunung. Hobi yang tidak jauh berbeda dengan Anya, meski Anya lebih memilih kopi latte dan mendaki gunung secara virtual.

Yang membuat Anya terkejut, Liam memiliki pola pikir yang sangat mirip dengannya. Ia suka memecahkan masalah, berpikir logis, dan menghargai efisiensi. Bahkan, selera humor mereka pun sejalan. Percakapan pertama mereka mengalir begitu lancar. Seperti dua keping puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

Mereka memutuskan untuk bertemu. Liam jauh lebih tampan dari fotonya. Matanya teduh, senyumnya menawan, dan cara bicaranya tenang namun penuh perhatian. Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa sempurna. Mereka membahas buku favorit, impian masa depan, dan bahkan algoritma SoulMate.AI yang mempertemukan mereka.

"Aneh ya, bagaimana teknologi bisa membawa kita sejauh ini," kata Liam sambil tersenyum. "Dulu aku pikir cinta itu buta, ternyata bisa juga dihitung."

Anya tertawa. "Aku juga awalnya skeptis. Tapi sepertinya algoritma ini benar-benar bekerja."

Hari-hari berikutnya, Anya dan Liam menghabiskan banyak waktu bersama. Mereka menonton film, memasak makan malam, dan mendaki bukit di pinggiran kota. Semuanya terasa mudah, nyaman, dan menyenangkan. Mereka tidak pernah bertengkar, tidak pernah salah paham, dan selalu tahu apa yang diinginkan satu sama lain.

Di mata orang lain, Anya dan Liam adalah pasangan ideal. Mereka selalu tampak bahagia, harmonis, dan saling mencintai. Rina bahkan iri pada Anya. "Lihat kan, Anya? Algoritma memang yang terbaik! Kamu beruntung sekali."

Tapi di balik kesempurnaan itu, Anya merasakan sesuatu yang hilang. Semua terlalu terprediksi. Setiap percakapan, setiap sentuhan, setiap ekspresi cinta terasa seperti mengikuti skenario yang telah ditentukan. Tidak ada kejutan, tidak ada tantangan, tidak ada gejolak emosi yang biasanya menyertai cinta.

Anya mulai merindukan ketidaksempurnaan. Ia merindukan pertengkaran kecil yang bisa diselesaikan dengan pelukan, merindukan kejutan manis yang tidak terduga, merindukan rasa takut dan cemas yang menyertai ketidakpastian cinta.

Suatu malam, Anya dan Liam sedang duduk di balkon apartemen Anya, menikmati pemandangan kota yang gemerlap. Liam menggenggam tangan Anya dan menatapnya dengan penuh cinta.

"Anya," katanya lembut. "Aku sangat bahagia bersamamu. Aku merasa kita ditakdirkan untuk bersama."

Anya membalas tatapan Liam, tapi hatinya terasa hampa. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

"Liam," kata Anya dengan suara bergetar. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan."

Liam mengerutkan kening. "Ada apa, Anya?"

Anya menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku tidak yakin ini berhasil untukku."

Liam terkejut. "Maksudmu?"

"Semua ini... terlalu sempurna," jelas Anya. "Aku merasa seperti hidup dalam simulasi. Tidak ada ruang untuk spontanitas, untuk kesalahan, untuk pertumbuhan. Aku butuh lebih dari sekadar kompatibilitas. Aku butuh... sesuatu yang lebih nyata."

Liam terdiam. Ia menatap Anya dengan tatapan kosong. "Aku tidak mengerti. Kita sangat cocok. Algoritma sudah membuktikan itu."

"Aku tahu," kata Anya. "Tapi cinta bukan hanya soal algoritma. Cinta itu tentang menerima kekurangan, tentang belajar dari kesalahan, tentang berjuang bersama. Dan aku tidak merasakan itu di sini."

Liam melepaskan genggaman tangannya. "Jadi... kamu ingin putus?"

Anya mengangguk pelan. "Maafkan aku, Liam. Aku harap kamu mengerti."

Liam berdiri dan berjalan menuju pintu. Sebelum pergi, ia menoleh ke arah Anya. "Aku tidak mengerti, Anya. Aku pikir kita punya segalanya."

Setelah Liam pergi, Anya duduk di balkon dan menatap langit malam. Air mata mengalir di pipinya. Ia merasa bersalah karena telah menyakiti Liam, tapi ia tahu ia telah membuat keputusan yang benar.

Anya menghapus aplikasi SoulMate.AI dari ponselnya. Ia memutuskan untuk kembali mencari cinta di dunia nyata, dengan segala ketidaksempurnaannya. Mungkin ia akan terluka, mungkin ia akan kecewa, tapi ia yakin ia akan menemukan sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar kompatibilitas algoritmik.

Cinta, pikir Anya, seharusnya tidak dihitung. Cinta seharusnya dirasakan. Cinta itu seperti algoritma yang belum sempurna, penuh bug dan error, tapi justru itulah yang membuatnya indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI