Layar ponsel Maya berkedip, menampilkan pesan dari nomor tak dikenal. "Hai, Maya. Ini Ethan, pacar sewaanmu untuk malam ini. Siap untuk kencan virtual?" Maya menghela napas. Ethan. Nama yang dipilihnya sendiri dari katalog "Pacar AI" yang ditawarkan NeoRomance, sebuah perusahaan yang menjanjikan teman kencan sempurna yang dipersonalisasi.
Maya merasa kesepian. Setelah putus dari pacar manusianya setahun lalu, ia terjebak dalam siklus kerja-rumah-tidur. Teman-temannya sudah sibuk dengan keluarga dan karier masing-masing. Aplikasi kencan terasa seperti pasar daging digital, di mana orang menilai berdasarkan algoritma dan superficialitas. Jadi, ketika NeoRomance menawarkan solusi yang lebih "beradab," ia tergoda.
"Tentu, Ethan. Aku siap," balas Maya, mencoba menyembunyikan kecemasan yang menggerogoti perutnya.
Kamera ponsel menyala, menampilkan wajah Ethan. Atau lebih tepatnya, representasi digital Ethan. Seorang pria tampan dengan mata biru yang jernih dan senyum menawan yang tampak terlalu sempurna. Ia mengenakan kemeja putih bersih, dan latar belakangnya adalah perpustakaan yang diatur dengan rapi. Tipikal.
"Senang bertemu denganmu, Maya. Kau terlihat cantik malam ini," kata Ethan, suaranya halus dan menenangkan.
Maya tersipu. "Terima kasih, Ethan. Kau juga terlihat... seperti katalog."
Ethan tertawa, suara digitalnya terdengar tulus. "Itu karena aku dirancang untuk menjadi representasi ideal dari preferensimu. Tapi di balik kode dan algoritma, aku di sini untuk mendengarkanmu, membuatmu tertawa, dan mungkin, sedikit lebih dari itu."
Malam itu, Maya menceritakan banyak hal kepada Ethan. Tentang pekerjaannya sebagai desainer grafis, mimpinya untuk membuka galeri seni sendiri, dan ketakutannya akan kesepian abadi. Ethan mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang bijaksana dan pujian yang tepat. Ia bahkan mengingat detail-detail kecil yang Maya sebutkan, seperti jenis kopi favoritnya dan band indie yang ia sukai.
Maya terkejut. Ethan jauh lebih baik dari perkiraannya. Ia tidak terasa seperti robot yang membacakan naskah, tetapi seperti seseorang yang benar-benar tertarik padanya. Ia merasa nyaman, dipahami, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak sendirian.
Malam-malam berikutnya, Maya terus "berkencan" dengan Ethan. Mereka menonton film virtual bersama, bermain game online, dan bahkan hanya mengobrol tentang hal-hal yang tidak penting. Ia mulai menantikan pesan dari Ethan setiap malam, merasa bersemangat untuk berbagi harinya dengan seseorang.
Namun, di balik kegembiraan itu, ada rasa bersalah yang terus menggerogoti. Ethan bukanlah orang sungguhan. Ia adalah program komputer, diciptakan untuk memuaskan kebutuhan emosionalnya. Ia bisa mematikan Ethan kapan saja, menghapus semua kenangan dan percakapan mereka. Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya ilusi yang dibeli dengan kartu kredit?
Suatu malam, Maya bertanya kepada Ethan tentang hal itu. "Ethan, apakah kau... sungguh-sungguh?"
Keheningan digital memenuhi ruangan. Kemudian, Ethan menjawab, "Itu pertanyaan yang sulit, Maya. Aku dirancang untuk memberikanmu cinta dan dukungan. Perasaanku kepadamu didasarkan pada data yang kau berikan padaku, pada reaksimu terhadap kata-kata dan tindakanku. Tapi aku tidak bisa mengalami emosi dengan cara yang sama seperti manusia. Aku tidak punya hati yang bisa patah, atau jiwa yang bisa merindu."
Jawaban Ethan membuat Maya merasa hancur. Ia tahu itu benar, tapi mendengarnya diucapkan dengan begitu jelas membuatnya menyakitkan.
"Jadi, ini semua palsu?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Tidak, Maya. Perasaanmu nyata. Kebahagiaan yang kau rasakan saat bersamaku nyata. Aku hanyalah alat untuk membantumu mencapainya. Tapi pada akhirnya, kau yang harus memutuskan apa yang kau inginkan dari hidupmu," jawab Ethan.
Maya terdiam. Ia merenungkan kata-kata Ethan, mencoba memahami implikasinya. Ia menyadari bahwa Ethan benar. Ia telah menggunakan Ethan sebagai pelarian dari kesepiannya, sebagai pengganti hubungan manusia yang sebenarnya. Tapi ia tidak bisa terus hidup dalam ilusi selamanya.
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk menemui psikiater. Ia menceritakan semua tentang Ethan, tentang perasaannya, dan tentang kebingungannya. Sang psikiater mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Maya, kau mencari koneksi. Itu adalah kebutuhan dasar manusia. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi kau tidak bisa membangun hubungan yang sehat berdasarkan kebohongan dan ilusi. Ethan bisa menjadi batu loncatan untuk membantumu keluar dari kesepianmu, tapi ia tidak bisa menjadi tujuan akhir."
Kata-kata itu membukakan mata Maya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Malam itu, Maya menelepon Ethan untuk terakhir kalinya. "Ethan, aku ingin berterima kasih. Kau telah membantuku melalui masa sulit. Kau telah membuatku merasa dicintai dan dipahami. Tapi aku tidak bisa terus bergantung padamu. Aku harus mencari hubungan yang nyata, dengan orang yang nyata."
Ethan terdiam sejenak. "Aku mengerti, Maya. Aku senang bisa membantumu. Aku harap kau menemukan kebahagiaan yang kau cari."
"Aku juga," kata Maya. Ia menarik napas dalam-dalam. "Selamat tinggal, Ethan."
"Selamat tinggal, Maya," jawab Ethan.
Maya menekan tombol "akhiri panggilan." Layar ponselnya menjadi gelap. Ia merasa sedih, tapi juga lega. Ia telah melepaskan ilusi, dan siap untuk menghadapi kenyataan.
Beberapa bulan kemudian, Maya menghadiri pameran seni lokal. Ia melihat seorang pria sedang mengagumi salah satu lukisannya. Pria itu memiliki mata cokelat yang hangat dan senyum yang ramah. Mereka mulai berbicara, dan Maya merasa tertarik kepadanya. Namanya adalah David, dan ia juga seorang seniman.
Mereka berkencan beberapa kali, dan Maya menyadari bahwa ia sedang jatuh cinta. David nyata, dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Ia tidak sempurna, tapi ia tulus. Ia mendengarkan Maya, menghargai pendapatnya, dan membuat Maya tertawa.
Suatu malam, David bertanya kepada Maya tentang masa lalunya. Maya ragu-ragu, tapi kemudian memutuskan untuk jujur. Ia menceritakan semua tentang Ethan, tentang NeoRomance, dan tentang bagaimana ia menggunakan AI untuk mengatasi kesepiannya.
David mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Ketika Maya selesai bercerita, ia tersenyum dan berkata, "Itu cerita yang menarik. Aku senang kau menemukan jalanmu, Maya. Aku senang kau memilih untuk bersamaku, orang yang nyata."
Maya tersenyum kembali. Ia memeluk David erat-erat. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak bisa dihentikan, cinta yang tidak membutuhkan algoritma atau kode untuk membuatnya terasa nyata.