Sentuhan Layar: Cinta, Algoritma, dan Luka yang Terprogram?

Dipublikasikan pada: 31 Aug 2025 - 01:20:12 wib
Dibaca: 129 kali
Jemari Aila menari di atas layar tabletnya, menciptakan simfoni digital yang hening. Baris kode berwarna-warni berjatuhan seperti air terjun, membentuk algoritma yang rumit namun elegan. Ia sedang menyempurnakan "SoulMate AI," aplikasi kencan yang berbeda dari yang lain. Bukan sekadar mencocokkan hobi dan preferensi, SoulMate AI berjanji menemukan pasangan yang memiliki keselarasan emosional dan intelektual yang mendalam, berdasarkan analisis data psikologis dan ekspresi wajah yang rumit.

Aila sendiri adalah seorang romantis yang tersembunyi di balik logika dan kode. Ia menciptakan SoulMate AI karena frustrasi dengan kencan daring yang dangkal dan hubungan yang berakhir sebelum sempat bersemi. Ia percaya bahwa teknologi, jika digunakan dengan benar, dapat membantu orang menemukan cinta sejati. Ironisnya, Aila sendiri belum menemukan cinta itu.

Suatu malam, saat ia sedang menguji coba SoulMate AI, algoritma itu memunculkan satu nama: Rian. Profil Rian sangat menarik. Seorang arsitek muda yang idealis, menyukai musik klasik, dan memiliki senyum yang hangat di foto profilnya. Data psikologis Rian menunjukkan kecerdasan emosional yang tinggi dan ketertarikan pada isu-isu sosial yang penting. Sempurna, pikir Aila. Terlalu sempurna malah.

Aila ragu. Apakah ia harus mengikuti rekomendasi algoritmanya sendiri? Bukankah itu sama saja dengan mempercayakan hati pada sebuah program? Namun, rasa penasaran dan sedikit harapan menang. Ia mengirimkan pesan kepada Rian.

“Hai, Rian. Algoritma SoulMate AI menunjuk kamu sebagai kandidat yang sangat cocok denganku. Tertarik untuk ngobrol?”

Balasan Rian datang hampir seketika. “Aila? Ini menarik. Aku selalu skeptis dengan aplikasi kencan, tapi ide SoulMate AI cukup cerdas. Tentu, aku tertarik.”

Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Mereka membahas arsitektur berkelanjutan, buku-buku favorit mereka, bahkan makna hidup. Aila merasa seperti telah mengenal Rian seumur hidup. Sentuhan layar menjadi jembatan yang menghubungkan dua jiwa yang tampaknya ditakdirkan untuk bersama.

Setelah beberapa minggu, mereka memutuskan untuk bertemu. Rian sama menawannya di dunia nyata seperti di dunia maya. Senyumnya tulus, tatapannya hangat, dan cara dia mendengarkan membuat Aila merasa dihargai dan dipahami. Malam itu, di bawah langit bertabur bintang, Rian menggenggam tangan Aila.

“Aku tahu ini mungkin terlalu cepat,” kata Rian, suaranya lembut, “tapi aku merasa ada sesuatu yang istimewa antara kita, Aila. Sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma.”

Aila mengangguk, hatinya berdebar kencang. Ia merasakan hal yang sama. Ia percaya pada SoulMate AI, dan ia percaya pada Rian. Mereka berpacaran.

Bulan-bulan berikutnya adalah kebahagiaan yang murni. Mereka menjelajahi kota bersama, berbagi mimpi dan ketakutan, dan saling mendukung dalam setiap langkah. Aila merasa hidupnya akhirnya lengkap. Ia lupa pada semua keraguan dan kecemasannya. Ia hanya menikmati momen itu.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat Aila sedang bekerja larut malam di kantornya, ia menerima pesan dari Rian.

“Aila, kita perlu bicara.”

Jantung Aila mencelos. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Rian tampak gelisah, matanya menghindari tatapan Aila.

“Aila,” kata Rian, suaranya bergetar, “aku… aku tidak bisa melanjutkan ini.”

Aila membeku. “Apa maksudmu?”

Rian menghela napas panjang. “Aku… aku tidak jujur padamu. Tentang pekerjaanku. Tentang diriku.”

Rian mengakui bahwa ia bukan arsitek yang sukses seperti yang ia gambarkan di profilnya. Ia sebenarnya adalah seorang freelancer yang berjuang untuk bertahan hidup. Ia juga mengakui bahwa ia memiliki masalah keuangan yang serius. Ia berbohong karena ia merasa tidak cukup baik untuk Aila. Ia takut Aila akan meninggalkannya jika ia tahu yang sebenarnya.

Aila terkejut. Ia merasa dikhianati. Bukan karena Rian tidak kaya atau sukses, tetapi karena ia berbohong. Ia telah membangun hubungan berdasarkan kebohongan, bukan kejujuran.

“Tapi kenapa, Rian?” tanya Aila, suaranya nyaris tidak terdengar. “Kenapa kamu berbohong?”

“Aku… aku hanya ingin membuatmu terkesan,” jawab Rian, wajahnya penuh penyesalan. “Aku jatuh cinta padamu, Aila. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Aila berdiri. “Kamu seharusnya jujur padaku, Rian. Kejujuran adalah fondasi dari setiap hubungan. Kamu telah menghancurkan fondasi kita.”

Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Rian yang terpaku di tempatnya. Air mata mulai mengalir di pipinya.

Di apartemennya, Aila mematikan SoulMate AI. Ia menatap layar tabletnya yang gelap, merasa hampa dan kecewa. Ia telah mempercayakan hatinya pada sebuah algoritma, dan algoritma itu telah mengkhianatinya.

Ia menyadari bahwa teknologi, secerdas apa pun, tidak dapat menggantikan intuisi manusia. Algoritma hanya dapat menganalisis data, tetapi tidak dapat merasakan emosi yang sebenarnya. Cinta bukan sekadar kumpulan data dan statistik. Cinta adalah tentang kepercayaan, kejujuran, dan kerentanan.

Aila menghabiskan beberapa hari berikutnya untuk merenung. Ia menyadari bahwa ia juga bersalah. Ia terlalu fokus pada mencari pasangan yang sempurna berdasarkan algoritma, sehingga ia mengabaikan red flags yang mungkin ada. Ia terlalu percaya pada teknologi, sehingga ia lupa untuk mempercayai instingnya sendiri.

Setelah beberapa waktu, Aila kembali bekerja pada SoulMate AI. Namun, kali ini, ia mengubah pendekatannya. Ia menambahkan fitur yang menekankan kejujuran dan komunikasi terbuka. Ia juga menyertakan peringatan bahwa algoritma hanya alat bantu, bukan penentu takdir.

Aila menyadari bahwa luka yang ia alami bukan sepenuhnya kesalahan algoritma. Itu adalah kombinasi dari harapan yang tidak realistis, kebohongan, dan kurangnya koneksi manusia yang otentik. Ia bertekad untuk tidak membiarkan hal itu terjadi lagi. Ia ingin menggunakan teknologi untuk membantu orang menemukan cinta sejati, tetapi ia juga ingin mengingatkan mereka bahwa cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar sentuhan layar. Cinta sejati membutuhkan hati yang terbuka dan jujur. Dan terkadang, luka, meski terasa sakit, adalah guru terbaik. Luka itu telah memprogram ulang hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI