Jari-jemariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode yang rumit. Di layar, garis-garis hijau dan putih membentuk labirin algoritma, sebuah dunia yang sepenuhnya kukendalikan. Aku, Arya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada manusia. Hidupku hanyalah kode, bug yang harus dipecahkan, dan logika yang tak pernah berbohong. Sampai dia datang.
Namanya Senja. Seorang desainer grafis dengan senyum yang lebih cerah dari matahari pagi. Senja bergabung dengan tim kami untuk merancang antarmuka aplikasi kencan yang sedang kami kembangkan. Aku ditugaskan untuk mengurus bagian backend, memastikan semua data mengalir lancar dan algoritma pencocokan berfungsi optimal. Senja bertanggung jawab membuat aplikasi ini menarik secara visual, mudah digunakan, dan, yang terpenting, memikat hati para penggunanya.
Awalnya, interaksi kami terbatas pada rapat dan koordinasi. Aku menjelaskan logika di balik algoritmaku, sementara Senja memberikan masukan tentang bagaimana membuat profil pengguna lebih menarik dan interaktif. Aku terpukau dengan kemampuannya memahami kebutuhan manusia, sesuatu yang selama ini kuabaikan dalam duniaku yang serba logis.
Semakin lama bekerja bersama, kami semakin akrab. Saat istirahat makan siang, kami sering membahas film, buku, dan bahkan mimpi-mimpi kami. Aku mulai menyadari bahwa ada dunia di luar baris kode, sebuah dunia yang penuh warna, emosi, dan keindahan. Senja membuka mataku pada hal-hal yang selama ini luput dari perhatianku.
Suatu malam, setelah lembur menyelesaikan bug yang membandel, Senja mengajakku makan malam. Kami memilih sebuah restoran kecil yang nyaman dengan dekorasi minimalis. Di bawah cahaya lampu yang temaram, kami bercerita tentang masa kecil kami, keluarga kami, dan impian kami untuk masa depan. Aku merasa nyaman dan terbuka di dekatnya, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Arya," kata Senja tiba-tiba, memecah keheningan. "Kamu tahu, algoritma pencocokan yang kamu buat itu sebenarnya cukup bagus. Aku penasaran, apa saja faktor yang kamu masukkan ke dalamnya?"
Aku tersenyum. "Tentu saja, aku bisa menjelaskannya kepadamu secara detail. Ada preferensi usia, minat, hobi, bahkan gaya bahasa yang digunakan dalam profil. Semuanya diproses dan dibandingkan untuk mencari kecocokan."
"Menarik," gumam Senja, matanya menatapku dengan intens. "Tapi apa menurutmu algoritma bisa benar-benar menemukan cinta?"
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Selama ini, aku hanya fokus pada aspek teknis, memastikan algoritma berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Aku tidak pernah mempertimbangkan implikasi filosofisnya.
"Aku... aku tidak tahu," jawabku jujur. "Aku hanya membuat alatnya. Bagaimana orang menggunakannya, itu di luar kendaliku."
"Mungkin," kata Senja, "Tapi kamu sudah menciptakan sesuatu yang bisa mempertemukan dua orang. Kamu sudah menciptakan potensi untuk cinta."
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Kata-kata Senja terus terngiang di benakku. Apakah algoritma yang kubuat ini benar-benar bisa menciptakan cinta? Apakah cinta hanyalah serangkaian data yang bisa diproses dan dianalisis?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan eksperimen. Aku mengubah algoritma pencocokan dengan menambahkan faktor baru: kesempatan. Aku membuat algoritma yang secara acak mempertemukan dua pengguna yang memiliki sedikit kesamaan, hanya untuk melihat apa yang akan terjadi.
Beberapa hari kemudian, Senja mendatangiku dengan senyum lebar. "Arya, kamu tidak akan percaya!" serunya. "Aku bertemu dengan seseorang di aplikasi ini. Kami tidak memiliki banyak kesamaan, tapi kami memiliki percakapan yang sangat menarik. Kami sepakat untuk bertemu lagi."
Aku terkejut. Algoritma acak itu ternyata berhasil. Tapi apakah itu benar-benar cinta? Atau hanya kebetulan belaka?
Aku terus memikirkan Senja. Aku menyadari bahwa aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman profesional. Aku jatuh cinta padanya. Tapi bagaimana aku bisa yakin bahwa perasaanku ini nyata? Apakah ini hanya hasil dari interaksi yang intens, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam?
Aku memutuskan untuk mengambil risiko. Suatu malam, setelah bekerja, aku mengajak Senja ke taman yang indah di pusat kota. Di bawah bintang-bintang yang berkelap-kelip, aku mengungkapkan perasaanku.
"Senja," kataku dengan gugup. "Aku... aku jatuh cinta padamu."
Senja tersenyum lembut. "Aku tahu, Arya," jawabnya. "Aku juga merasakan hal yang sama."
Aku terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
"Kamu bisa melihatnya dari caramu menatapku," kata Senja. "Kamu bisa merasakannya dari sentuhan tanganmu. Algoritma mungkin bisa mempertemukan kita, tapi cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar data dan logika."
Kami berpegangan tangan dan berjalan menyusuri taman. Di bawah langit malam yang luas, aku merasa bahagia dan lega. Aku menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi atau dikendalikan oleh algoritma. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, dari hati ke hati.
Mungkin, algoritma yang kubuat telah mempertemukan kami. Tapi kenangan yang kami ciptakan, tawa yang kami bagikan, dan perasaan yang kami rasakan, semuanya adalah hasil dari pilihan kami sendiri. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka diri, untuk mengambil risiko, dan untuk mempercayai hati nurani.
Sejak saat itu, hidupku berubah. Aku tidak lagi hanya seorang programmer yang hidup dalam dunia kode. Aku adalah seorang pria yang jatuh cinta, seorang pria yang belajar menghargai keindahan dunia di sekitarnya, dan seorang pria yang akhirnya mengerti bahwa cinta adalah algoritma terindah yang pernah ada. Dan aku, bersama Senja, sedang menulis baris demi baris kode untuk menciptakan kenangan kami sendiri. Sebuah algoritma cinta yang takkan pernah bisa direplikasi oleh mesin mana pun.