Debu neon berpendar di udara, menari-nari di antara kabel-kabel yang menjalar seperti urat nadi kota di langit-langit Lab. 14. Maya, dengan rambut dikuncir asal dan kacamata berbingkai tebal bertengger di hidungnya, mengetik kode dengan kecepatan kilat. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni digital yang rumit. Di layar monitor, algoritma kencan buatannya, "Cupid's Algorithm," berputar-putar, mencari pasangan ideal berdasarkan data yang ia masukkan.
Maya bukan seorang romantis sejati. Cinta, baginya, hanyalah reaksi kimia, serangkaian algoritma biologis yang rumit. Ia menciptakan "Cupid's Algorithm" untuk membuktikan teorinya, untuk mendemistifikasi cinta dan mengubahnya menjadi persamaan yang bisa dipecahkan. Namun, ironisnya, ia sendiri belum pernah merasakan gejolak emosi yang ia coba definisikan.
Malam itu, ia fokus menyempurnakan parameter "Faktor X," sebuah variabel misterius yang menurutnya bertanggung jawab atas ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Ia telah memasukkan ratusan data: tinggi badan, berat badan, hobi, cita-cita, bahkan makanan favorit. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang hilang. Sebuah elemen tak terukur yang membuat algoritma tersebut terasa hampa.
"Masih berkutat dengan 'Faktor X', May?" Suara berat menyapa dari belakang.
Maya menoleh. Di ambang pintu berdiri Raka, rekan kerjanya yang jenius dan tampan. Rambutnya yang sedikit berantakan dan senyumnya yang menawan selalu berhasil membuat jantung Maya berdetak lebih kencang – sesuatu yang ia coba abaikan.
"Belum juga ketemu polanya. Kayaknya cinta memang lebih rumit dari yang aku kira," jawab Maya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Raka mendekat dan melihat kode yang rumit di layar. "Cinta memang bukan soal angka, May. Ini tentang perasaan, tentang koneksi yang terjadi secara spontan."
Maya mendengus. "Koneksi spontan? Itu cuma omong kosong orang yang nggak bisa coding."
Raka tertawa. "Mungkin. Tapi coba pikirkan ini: bagaimana kalau 'Faktor X' itu bukan sesuatu yang bisa diukur, tapi sesuatu yang dirasakan?"
Maya mengerutkan kening. "Dirasakan? Maksudmu?"
"Coba kamu bayangkan, May. Apa yang kamu rasakan saat kamu melihat senja? Atau saat kamu mendengarkan musik favoritmu? Perasaan itu nggak bisa diukur dengan angka, kan?"
Maya terdiam. Ia tak pernah memikirkan cinta dari sudut pandang itu. Selama ini, ia terlalu fokus pada data dan statistik, sampai lupa bahwa cinta adalah pengalaman subjektif.
Raka melanjutkan, "Mungkin kamu harus berhenti mencari 'Faktor X' di dalam data dan mulai mencarinya di dalam dirimu sendiri."
Kata-kata Raka menghantui Maya sepanjang malam. Ia tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan kode, algoritma, dan bayangan senyum Raka. Ia mulai bertanya-tanya, apakah mungkin ia telah salah selama ini? Apakah mungkin cinta bukan sekadar reaksi kimia, tapi sesuatu yang lebih dalam dan kompleks?
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda. Ia menghapus semua data dan memulai dari awal. Kali ini, ia tidak hanya memasukkan angka dan statistik, tapi juga pertanyaan-pertanyaan yang lebih personal: Apa yang membuatmu tertawa? Apa yang paling kamu impikan? Apa arti kebahagiaan bagimu?
Ia bahkan menambahkan satu variabel baru: "Koneksi Emosional." Variabel ini tidak bisa diukur secara langsung, tapi diwakili oleh respons terhadap gambar, musik, dan puisi. Ia meminta "Cupid's Algorithm" untuk mencari pasangan yang memiliki respons yang serupa dengan dirinya.
Setelah berjam-jam memproses data, algoritma akhirnya menemukan satu pasangan yang cocok: dirinya sendiri.
Maya tertegun. Algoritma yang ia ciptakan justru menunjukkan bahwa pasangan yang paling cocok untuknya adalah dirinya sendiri. Apakah ini berarti ia tidak akan pernah menemukan cinta?
Tiba-tiba, notifikasi muncul di layar. "Koneksi Emosional dengan Pengguna Raka_73 berhasil terdeteksi."
Jantung Maya berdegup kencang. Raka? Algoritma itu menemukan koneksi emosional antara dirinya dan Raka?
Ia membuka profil Raka_73 dan melihat responsnya terhadap gambar, musik, dan puisi. Ia terkejut. Selera mereka sangat mirip. Mereka sama-sama menyukai senja, musik klasik, dan puisi romantis.
Maya menyadari sesuatu. Selama ini, ia terlalu sibuk mencari cinta di luar dirinya, sampai lupa bahwa cinta mungkin sudah ada di dekatnya. Ia terlalu fokus pada algoritma, sampai lupa bahwa perasaan tidak bisa diprogram.
Ia memberanikan diri untuk menemui Raka di Lab. 14. Raka sedang duduk di depan komputernya, tersenyum padanya.
"Aku tahu," kata Raka, seolah membaca pikirannya. "Aku juga dapat notifikasi."
Maya mendekat dan duduk di samping Raka. "Jadi, algoritma kita akhirnya berhasil?"
Raka menggeleng. "Algoritma hanya menunjukkan apa yang sudah ada, May. Perasaan ini sudah ada di antara kita sejak lama. Kita hanya terlalu takut untuk mengakuinya."
Maya menatap mata Raka. Ia melihat kejujuran dan kelembutan di sana. Ia merasakan getaran aneh di dalam dadanya, getaran yang selama ini ia abaikan.
"Mungkin kamu benar," kata Maya, suaranya bergetar. "Mungkin cinta memang bukan soal algoritma. Mungkin cinta itu tentang menemukan seseorang yang bisa melihatmu apa adanya, dan mencintaimu meskipun kamu seorang ilmuwan yang kaku."
Raka meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat. "Kamu tidak kaku, May. Kamu hanya terlalu pintar untuk mengizinkan dirimu sendiri merasakan."
Maya tersenyum. Ia menyadari bahwa Raka telah menemukan "Faktor X" yang selama ini ia cari. "Faktor X" itu bukan sesuatu yang bisa diukur, tapi sesuatu yang bisa dirasakan. Itu adalah koneksi emosional, ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, dan rasa aman yang ia rasakan saat berada di dekat Raka.
Di tengah lab yang penuh dengan kabel dan kode, Maya menemukan cinta. Ia tersesat di labirin algoritma, tapi akhirnya menemukan jalan pulang ke hatinya sendiri, dan ke hati Raka. Ia menyadari bahwa peta hati tidak bisa diprogram, tapi harus ditelusuri dengan keberanian dan kejujuran. Dan terkadang, cinta yang paling tulus ditemukan di tempat yang paling tidak terduga.