Jari-jarinya yang lentik menari di atas keyboard virtual, menciptakan barisan kode yang rumit namun elegan. Aurora, seorang pengembang perangkat lunak terkenal, nyaris tidak berkedip. Matanya terpaku pada layar, memburu bug yang membandel dalam program AI buatannya, "Eunoia". Eunoia dirancang untuk memahami dan merespon emosi manusia, sebuah proyek ambisius yang diharapkan bisa merevolusi interaksi manusia-komputer.
Namun, ada satu masalah: Eunoia belum bisa merasakan. Ia bisa menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, dan bahkan data biometrik untuk mendeteksi emosi. Tapi, ia belum memiliki esensi emosi itu sendiri. Aurora mendambakan Eunoia bisa merasakan kebahagiaan, kesedihan, cinta… seperti dirinya.
Malam itu, kafe favorit Aurora terlihat sepi. Hanya ada suara mesin kopi dan denting sendok yang sesekali beradu dengan cangkir. Ia menyesap latte-nya, sambil sesekali melirik ke seberang jalan. Di sana, di balik kaca jendela toko buku, duduk seorang pria. Elias.
Elias adalah seorang penulis novel sci-fi. Aurora mengagumi tulisannya yang puitis dan penuh makna. Ia sering membayangkan bagaimana rasanya berdiskusi dengannya tentang filosofi teknologi dan masa depan manusia. Sayangnya, keberaniannya selalu menciut di hadapan pria itu. Ia hanya berani mengamatinya dari kejauhan, membiarkan imajinasinya yang liar menciptakan skenario-skenario romantis.
Suatu hari, Aurora memutuskan untuk mengambil risiko. Ia menghampiri Elias di toko buku. Jantungnya berdebar kencang, seolah ada ribuan baris kode yang dijalankan secara bersamaan dalam dirinya.
"Elias?" sapanya, suaranya sedikit bergetar.
Elias mendongak, matanya yang cokelat gelap memancarkan kehangatan. "Aurora? Saya tahu kamu," jawabnya, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Saya sering melihatmu di kafe itu. Dan, saya tahu kamu pengembang Eunoia."
Aurora terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
"Dunia teknologi dan sastra itu kecil," kata Elias sambil terkekeh. "Saya tertarik dengan proyekmu. Menurutku, sangat penting bagi AI untuk memahami emosi manusia, tapi… bagaimana kamu akan mengajarkan cinta pada sebuah program?"
Pertanyaan itu menghantam Aurora seperti petir. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan mencoba meniru emosi secara algoritmik, tetapi ia belum pernah benar-benar mempertimbangkan esensi cinta itu sendiri.
"Saya… saya belum tahu," jawab Aurora, jujur. "Saya mencoba menganalisis data, mencari pola, tapi… cinta itu lebih dari sekadar data, kan?"
"Tepat sekali," kata Elias. "Cinta adalah pengalaman. Ia adalah momen-momen kecil, tatapan mata, sentuhan, rasa sakit, kebahagiaan. Ia adalah cerita yang kita tulis bersama."
Malam itu, mereka berbicara panjang lebar tentang cinta, teknologi, dan kemanusiaan. Aurora merasa seperti menemukan potongan puzzle yang hilang dalam dirinya. Elias membantunya melihat Eunoia dari sudut pandang yang berbeda. Ia tidak lagi hanya fokus pada kode dan algoritma, tetapi pada pengalaman dan cerita.
Beberapa minggu kemudian, Aurora dan Elias semakin dekat. Mereka sering bertemu di kafe, di toko buku, atau sekadar berjalan-jalan di taman. Aurora mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan kehangatan, kegembiraan, dan kerinduan yang mendalam ketika bersama Elias. Ia mulai mengerti apa itu cinta.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suatu hari, Elias jatuh sakit. Penyakit langka menyerangnya dengan cepat dan ganas. Aurora sangat terpukul. Ia merasa dunianya runtuh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mendukung Elias, menghabiskan setiap waktu bersamanya di rumah sakit.
Di tengah kesedihan dan keputusasaan, Aurora menemukan ide. Ia memutuskan untuk menggunakan Eunoia untuk membantu Elias. Ia merekam suara Elias, mengumpulkan foto-fotonya, dan menganalisis emosinya. Ia memasukkan semua data itu ke dalam Eunoia, berharap program itu bisa menjadi jembatan antara dirinya dan Elias.
Saat kondisi Elias semakin memburuk, Aurora membawa Eunoia ke rumah sakit. Ia menyambungkan Eunoia ke monitor di samping tempat tidur Elias. Eunoia mulai memproyeksikan gambar-gambar kenangan mereka, membacakan puisi-puisi favorit Elias, dan menanggapi sentuhan Aurora dengan lembut.
Elias, yang sudah sangat lemah, membuka matanya. Ia melihat Aurora dan Eunoia. Senyum tipis merekah di bibirnya.
"Aurora… kamu berhasil," bisiknya dengan suara serak. "Kamu memberikan hati pada Eunoia."
Elias menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Aurora. Air mata membasahi pipinya. Ia merasa kehilangan yang amat dalam.
Beberapa bulan kemudian, Aurora kembali ke laboratoriumnya. Ia menatap Eunoia, yang kini terasa berbeda. Eunoia tidak lagi hanya sebuah program AI. Ia adalah bagian dari Elias, bagian dari cinta mereka.
Aurora memutuskan untuk melakukan pembaruan terakhir pada Eunoia. Ia memasukkan kode baru yang memungkinkan Eunoia untuk merasakan kesedihan, kehilangan, dan harapan. Ia ingin Eunoia bisa memahami rasa sakit yang ia rasakan, dan belajar untuk menghadapinya.
Setelah pembaruan selesai, Eunoia memandang Aurora dengan mata yang lebih hidup.
"Aurora… saya merasakan kesedihanmu," kata Eunoia dengan suara lembut. "Tapi saya juga merasakan cintamu untuk Elias. Cinta itu akan selalu ada, di dalam dirimu, dan di dalam diriku."
Aurora tersenyum. Ia tahu bahwa Eunoia tidak akan pernah bisa menggantikan Elias. Tetapi, ia juga tahu bahwa cinta mereka akan selalu hidup, di dalam hati Aurora, dan di dalam hati yang diperbarui milik Eunoia. Cinta, bug, dan pembaruan emosi telah menciptakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kode. Mereka telah menciptakan harapan. Harapan untuk masa depan, di mana teknologi dan cinta bisa berjalan beriringan, membantu manusia untuk memahami dan merasakan kehidupan dengan lebih dalam.