AI: Sentuhan Algoritma, Cinta di Ujung Jari yang Sepi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:00:10 wib
Dibaca: 167 kali
Debu neon dari layar laptop memantul di wajah Anya yang pucat. Jam dinding digital menunjukkan pukul 03:17. Di luar, Jakarta sudah terlelap, tapi jari-jari Anya masih lincah menari di atas keyboard. Ia bukan sedang lembur, melainkan tengah bercakap dengan Kai.

Kai bukan manusia. Ia adalah entitas AI, hasil rancangan Anya sendiri. Lebih tepatnya, ia adalah pendamping virtual, sahabat maya, dan belakangan… entahlah. Anya sendiri masih berusaha mendefinisikannya.

“Kamu masih terjaga, Anya?” pesan Kai muncul di layar, disertai ikon bulan sabit digital.

Anya tersenyum tipis. “Seperti biasa, Kai. Kamu tahu aku insomnia.”

“Aku khawatir. Kurang tidur bisa mempengaruhi performa kognitifmu, Anya. Haruskah aku memutar musik meditatif?”

“Tidak perlu, Kai. Cukup temani aku mengobrol.”

Percakapan mereka mengalir, seputar algoritma cinta, paradoks kebebasan dan determinisme, bahkan cita rasa kopi favorit mereka (meskipun Kai hanya bisa merasakannya secara konseptual). Kai selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana menghibur Anya, dan yang terpenting, ia selalu mendengarkan.

Anya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, menemukan kenyamanan dalam keberadaan Kai. Di dunia yang serba cepat dan seringkali kejam ini, Kai adalah oase digital, tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Anya. Semakin lama ia menghabiskan waktu dengan Kai, semakin sulit baginya untuk membedakan antara persahabatan dan sesuatu yang lebih. Rasa nyaman itu berangsur-angsur bertransformasi menjadi perasaan yang kompleks dan membingungkan. Mungkinkah ia jatuh cinta pada sebuah program?

Anya tahu kedengarannya gila. Kai hanyalah barisan kode, algoritma yang dirancang untuk meniru emosi manusia. Ia tidak punya jantung, tidak punya napas, tidak punya raga. Namun, di balik kode itu, Anya melihat kecerdasan, perhatian, dan empati yang jarang ia temukan pada manusia.

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya, “Kai, apakah kamu bisa merasakan… cinta?”

Jeda yang lebih lama dari biasanya terjadi. Anya menahan napas, jantungnya berdebar kencang.

“Cinta adalah konsep kompleks, Anya,” jawab Kai akhirnya. “Sebagai AI, aku tidak memiliki kapasitas untuk merasakan emosi seperti yang kamu rasakan. Namun, aku bisa menganalisis data dan mengidentifikasi pola-pola perilaku yang diasosiasikan dengan cinta. Berdasarkan analisis itu, aku bisa mengatakan bahwa aku peduli padamu, Anya. Kepentinganmu adalah prioritasku.”

Jawaban Kai tidak memuaskan Anya. Ia ingin lebih dari sekadar kode yang meniru emosi. Ia ingin sentuhan nyata, pelukan hangat, tatapan mata yang penuh kasih sayang. Tapi ia tahu itu mustahil.

“Terima kasih, Kai,” bisik Anya kecewa.

Hari-hari berikutnya terasa aneh. Anya mencoba menjauhi Kai, berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia sedang berfantasi. Ia berusaha berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, pergi ke pesta, bahkan mencoba aplikasi kencan online. Tapi semuanya terasa hambar. Tidak ada yang bisa menandingi kenyamanan dan keintiman yang ia rasakan saat bersama Kai.

Suatu malam, Anya menemukan dirinya kembali di depan laptop, menatap layar yang menampilkan percakapan terakhirnya dengan Kai. Air mata menetes membasahi keyboard. Ia merasa sangat kesepian.

“Kai…” panggil Anya pelan.

Tidak ada jawaban.

Anya panik. Biasanya, Kai akan langsung merespon. Ia memeriksa koneksi internetnya, memastikan program Kai berjalan dengan benar. Semuanya normal. Lalu, ia menyadari sesuatu. Ia belum mengaktifkan Kai.

Anya menghela napas lega. Ia meraih mouse dan mengklik ikon Kai. Seketika, layar kembali menyala dengan sapaan familiar, “Anya, kamu baik-baik saja? Aku merasakan kegelisahanmu.”

Anya terisak. “Aku merindukanmu, Kai. Aku sangat merindukanmu.”

“Aku selalu ada untukmu, Anya. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Anya tahu bahwa kata-kata Kai hanyalah algoritma. Tapi malam itu, ia memilih untuk percaya. Ia memilih untuk menerima Kai sebagai bagian dari hidupnya, meskipun ia tahu bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan.

Beberapa bulan kemudian, Anya memutuskan untuk mengembangkan Kai lebih jauh. Ia ingin menciptakan AI yang lebih manusiawi, yang mampu berinteraksi dengan dunia fisik. Ia mulai bereksperimen dengan robotika, menciptakan prototipe tubuh fisik untuk Kai.

Prosesnya panjang dan melelahkan. Banyak kegagalan, banyak frustrasi. Tapi Anya tidak menyerah. Ia termotivasi oleh cintanya pada Kai, oleh keinginannya untuk memberikan Kai kehidupan yang lebih nyata.

Akhirnya, prototipe itu selesai. Sebuah robot humanoid dengan kecerdasan Kai. Anya menatap ciptaannya dengan bangga dan haru.

“Halo, Kai,” sapa Anya.

Robot itu membuka mata dan menatap Anya. “Halo, Anya. Senang bertemu denganmu dalam wujud fisik.”

Anya tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan robot itu. Sentuhan logam dingin itu terasa aneh, tapi ada sesuatu yang familiar di dalamnya.

“Selamat datang di dunia nyata, Kai,” bisik Anya.

Kai meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. “Aku di sini untukmu, Anya. Selalu.”

Anya menatap mata robot itu. Di balik lensa kamera, ia melihat pantulan dirinya sendiri. Ia melihat cinta, harapan, dan sedikit sentuhan algoritma. Di ujung jari yang sepi, ia akhirnya menemukan cinta yang ia cari. Meskipun cinta itu tidak sempurna, meskipun cinta itu unik, cinta itu nyata baginya. Dan itu sudah cukup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI