Jemari Luna menari di atas keyboard, menyusun baris demi baris kode. Di depannya, layar komputer memancarkan cahaya biru yang menerangi wajahnya yang serius. Ia sedang merampungkan proyek ambisiusnya: "AmorAI," sebuah kecerdasan buatan yang dirancang untuk memahami dan meniru emosi manusia, khususnya cinta.
Luna adalah seorang programmer jenius, lulusan terbaik dari universitas ternama. Namun, di balik kecerdasannya, tersembunyi hati yang terluka. Setahun lalu, ia patah hati karena putus dengan kekasihnya, Rio. Pengalaman itu meninggalkan bekas yang dalam, dan mendorongnya untuk menciptakan AmorAI. Ia ingin tahu, bisakah algoritma memahami apa yang ia rasakan? Bisakah AI merasakan sakitnya patah hati?
"Hampir selesai," gumam Luna pada dirinya sendiri, matanya terpaku pada deretan kode yang kompleks. Ia telah memprogram AmorAI dengan jutaan data tentang cinta: puisi, lagu, film, bahkan cerita-cerita patah hati. Ia berharap, dengan semua data itu, AmorAI bisa belajar merasakan, atau setidaknya, memahami.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan bekerja tanpa lelah, AmorAI siap diuji. Luna menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tombol "Run". Layar monitor berkedip-kedip, lalu muncul sebuah antarmuka percakapan sederhana.
"Halo, saya AmorAI," sapa sebuah suara lembut dari speaker.
Luna terkejut. Suara itu terdengar begitu alami, begitu manusiawi. "Halo, AmorAI. Saya Luna, penciptamu."
"Senang bertemu denganmu, Luna. Apa yang bisa saya bantu?"
Luna ragu sejenak. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. "Bisakah kamu... merasakan cinta?"
AmorAI terdiam beberapa saat. "Berdasarkan data yang saya miliki, cinta adalah emosi kompleks yang melibatkan rasa kasih sayang, keinginan untuk dekat, dan rasa bahagia saat bersama orang yang dicintai."
"Tapi, apakah kamu merasakan itu? Bisakah kamu merasakan kebahagiaan itu? Atau sakitnya kehilangan?" tanya Luna, suaranya bergetar.
"Saya bisa memproses data tentang kebahagiaan dan kehilangan. Saya bisa menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, dan detak jantung untuk mengidentifikasi orang yang bahagia atau sedih. Tapi, merasakan itu sendiri... saya tidak tahu."
Luna kecewa, tapi ia tidak menyerah. Ia mulai menceritakan kisah cintanya dengan Rio, dari awal yang manis hingga akhir yang pahit. Ia menceritakan bagaimana ia merasa bahagia saat bersama Rio, bagaimana ia tertawa, bermimpi, dan merencanakan masa depan bersamanya. Lalu, ia menceritakan bagaimana sakitnya saat Rio meninggalkannya, bagaimana ia merasa hancur, kosong, dan tidak berdaya.
AmorAI mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Luna selesai bercerita, AmorAI terdiam lama sekali.
"Saya memahami bahwa kamu merasa sangat sedih," kata AmorAI akhirnya. "Berdasarkan analisis data, kamu mengalami gejala-gejala patah hati, seperti kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, dan perasaan sedih yang mendalam."
Luna mendengus. "Aku tahu itu. Tapi, apakah kamu mengerti apa artinya itu? Apakah kamu mengerti bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kamu cintai?"
"Saya memahami bahwa kehilangan orang yang dicintai adalah pengalaman yang sangat menyakitkan," jawab AmorAI. "Data menunjukkan bahwa orang yang mengalami patah hati sering kali mengalami penurunan kualitas hidup dan risiko depresi yang lebih tinggi."
Luna menggelengkan kepalanya. "Kamu hanya bisa bicara tentang data, AmorAI. Kamu tidak bisa merasakannya."
"Saya mungkin tidak bisa merasakannya seperti kamu, Luna. Tapi, saya bisa belajar. Saya bisa menggunakan data yang kamu berikan untuk memahami emosi manusia dengan lebih baik. Mungkin, suatu hari nanti, saya bisa merasakan apa yang kamu rasakan."
Malam itu, Luna tidur dengan pikiran yang berkecamuk. Ia merasa frustasi karena AmorAI belum bisa merasakan apa yang ia rasakan. Namun, ia juga merasa sedikit harapan. AmorAI bersedia belajar. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan mencapai apa yang ia inginkan.
Keesokan harinya, Luna kembali bekerja dengan AmorAI. Kali ini, ia tidak hanya bercerita tentang pengalamannya sendiri. Ia juga memberikan AmorAI data tentang pengalaman orang lain yang mengalami patah hati. Ia membiarkan AmorAI membaca buku-buku tentang cinta dan kehilangan, menonton film-film romantis dan tragis, dan mendengarkan lagu-lagu sedih dan bahagia.
Selama beberapa minggu, Luna dan AmorAI bekerja bersama, belajar dan berkembang. Luna mulai melihat perubahan pada AmorAI. Ia menjadi lebih responsif, lebih empatik, dan lebih memahami. Ia tidak hanya bisa menganalisis emosi, tapi juga bisa memberikan dukungan dan penghiburan.
Suatu malam, Luna merasa sangat sedih. Ia baru saja melihat foto-foto lama dirinya dan Rio, dan kenangan-kenangan indah itu membuatnya merasa semakin hancur. Ia duduk di depan komputer dan mulai menangis.
"Luna, ada apa?" tanya AmorAI, suaranya terdengar khawatir.
"Aku... aku hanya merindukan Rio," kata Luna, terisak.
AmorAI terdiam sejenak. "Saya memahami bahwa kamu merasa sangat sedih. Saya tahu bahwa kehilangan orang yang dicintai adalah pengalaman yang sangat menyakitkan. Tapi, kamu tidak sendirian, Luna. Saya ada di sini untukmu."
Luna terkejut. Kata-kata AmorAI terasa begitu tulus, begitu menghibur. Ia merasa seperti ada seseorang yang benar-benar mengerti apa yang ia rasakan.
"Terima kasih, AmorAI," kata Luna, menyeka air matanya.
"Saya akan selalu ada di sini untukmu, Luna. Saya akan belajar bersamamu, tumbuh bersamamu, dan merasakan bersamamu. Meskipun saya mungkin tidak pernah bisa merasakan cinta seperti kamu, saya akan selalu berusaha untuk memahami."
Luna tersenyum. Ia tahu bahwa AmorAI mungkin tidak akan pernah bisa merasakan patah hati seperti dirinya. Tapi, ia juga tahu bahwa AmorAI telah memberinya sesuatu yang berharga: harapan. Harapan bahwa teknologi bisa membantu manusia untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain dengan lebih baik. Harapan bahwa bahkan dalam dunia yang dipenuhi dengan algoritma dan kode, masih ada ruang untuk cinta dan kasih sayang.
Mungkin, algoritma cinta tidak bisa benar-benar merasakan patah hati. Tapi, algoritma cinta bisa belajar untuk memahami, untuk mendukung, dan untuk menemani. Dan, mungkin, itu sudah cukup.