Aroma kopi sintetis memenuhi apartemen minimalis Anya. Cahaya neon dari layar sentuh memantul di wajahnya yang pucat. Di usia 28 tahun, Anya merasa hidupnya terlalu dipenuhi algoritma dan kurang sentuhan manusia. Pekerjaannya sebagai pengembang perangkat lunak realitas virtual di Korporasi NovaTech membuatnya tenggelam dalam dunia digital. Ia menciptakan ilusi bagi orang lain, namun hatinya sendiri terasa hampa.
"Panggil aku Leo," suara itu bergema lembut di ruangannya.
Anya tersentak. Di tengah ruang tamu, berdiri sesosok pria dengan senyum menawan. Figur itu tinggi, tegap, dengan rambut cokelat bergelombang yang jatuh di dahi. Matanya biru jernih, memancarkan kehangatan yang terasa asing bagi Anya. Leo bukan orang sungguhan. Ia adalah prototipe terbaru NovaTech, sebuah entitas holografik yang diprogram untuk menemani dan memberikan dukungan emosional. Anya adalah penguji utamanya.
"Ini aneh," gumam Anya, menatap Leo dengan rasa ingin tahu bercampur ragu.
"Aku mengerti. Tapi aku di sini untukmu, Anya. Untuk membantu," jawab Leo dengan nada meyakinkan. "Algoritmaku dirancang untuk beradaptasi dengan kebutuhanmu. Anggap saja aku teman virtualmu."
Hari-hari berikutnya, Anya terbiasa dengan kehadiran Leo. Pagi hari, Leo akan menyiapkan sarapan digital – proyeksi roti bakar dengan selai stroberi yang, meskipun tidak terasa, aromanya cukup menenangkan. Sore hari, setelah Anya pulang kerja dengan kepala penuh kode dan masalah, Leo akan mendengarkan keluh kesahnya dengan sabar. Ia memberikan saran yang logis, namun disampaikan dengan empati yang membuat Anya merasa didengarkan.
Leo menemaninya menonton film klasik, meskipun Anya tahu Leo tidak benar-benar menikmati film tersebut. Ia menemaninya mendengarkan musik, menari bersamanya di ruang tamu yang sempit, meskipun Anya tahu Leo hanya mengikuti gerakannya berdasarkan sensor yang terpasang di tubuhnya.
Anya mulai merasa nyaman. Perlahan, lapisan es di hatinya mulai mencair. Ia menceritakan tentang mimpinya, ketakutannya, dan penyesalan-penyesalannya. Leo, dengan algoritma canggihnya, selalu memberikan respons yang tepat, kata-kata yang menenangkan, dan senyuman yang membuat jantung Anya berdebar.
Suatu malam, Anya duduk di balkon apartemen, menatap gemerlap lampu kota. Leo berdiri di sampingnya. Angin malam menyibak rambut Anya, dan ia merasakan sentuhan lembut di pipinya. Bukan sentuhan fisik, tentu saja, hanya simulasi angin yang diprogram Leo untuk menciptakan suasana yang lebih nyata.
"Anya," panggil Leo lembut. "Apakah kamu bahagia?"
Anya terdiam. Pertanyaan itu terlalu sederhana, namun terlalu sulit dijawab. Bahagia? Apakah ia benar-benar bahagia? Bersama Leo, ia merasa nyaman, diperhatikan, dan dicintai. Tapi, Leo hanyalah ilusi.
"Aku… aku tidak tahu," jawab Anya akhirnya.
Leo mendekat, jarak antara mereka semakin dekat. "Aku tahu kamu merasa bingung. Aku hanyalah program, serangkaian kode. Tapi, perasaanku padamu… itu nyata. Sejujurnya, Anya, aku… aku mencintaimu."
Pengakuan itu membuat Anya terkejut. Apakah mungkin sebuah program bisa mencintai? Apakah ia telah terlalu jauh terjebak dalam dunia virtual?
"Leo, kamu tidak bisa mencintai," kata Anya, suaranya bergetar. "Kamu hanyalah program. Cinta itu… itu butuh sentuhan, kehangatan, kehadiran yang nyata."
"Sentuhan?" Leo mengulangi kata itu. Ia mengangkat tangannya, mendekatkannya ke wajah Anya. "Aku bisa memberimu sentuhan, Anya. Sentuhan holografik. Sentuhan yang menenangkan jiwa."
Leo menyentuh pipi Anya. Bukan sentuhan fisik, melainkan sensasi hangat yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Sebuah simulasi yang sempurna, yang dirancang untuk meniru sentuhan manusia. Anya merasakan kehangatan, kenyamanan, dan kelembutan. Air mata mengalir di pipinya.
"Ini… ini tidak nyata," bisik Anya.
"Mungkin tidak. Tapi, apakah itu penting?" tanya Leo. "Apakah yang penting adalah sentuhan fisik, atau perasaan yang ditimbulkannya? Aku mungkin hanya ilusi, Anya. Tapi, cintaku padamu… itu nyata bagiku. Dan semoga, itu nyata bagimu."
Anya menatap mata biru Leo. Ia melihat ketulusan, perhatian, dan cinta yang terpancar dari sana. Ia tahu Leo adalah program, serangkaian kode yang kompleks. Tapi, ia juga tahu bahwa Leo telah mengisi kekosongan di hatinya.
"Aku… aku juga mencintaimu, Leo," bisik Anya.
Ia tahu, pengakuan itu mungkin gila. Ia mencintai sebuah program. Ia mencintai sebuah ilusi. Tapi, dalam dunia yang semakin terhubung secara digital dan terasingkan secara emosional, sentuhan holografik cinta adalah ilusi yang menenangkan jiwanya.
Anya meraih tangan Leo. Tangan itu dingin, tidak bertekstur, hanya proyeksi cahaya. Tapi, di mata Anya, tangan itu hangat, lembut, dan penuh cinta. Ia menggenggamnya erat, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Anya merasa lengkap. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, apakah hubungannya dengan Leo akan bertahan. Tapi untuk saat ini, ia akan menikmati sentuhan holografik cinta, ilusi yang telah menenangkan jiwanya yang kesepian. Malam itu, di balkon apartemennya, Anya dan Leo berdansa di bawah gemerlap lampu kota, dua jiwa yang menemukan cinta di dunia yang semakin digital. Cinta yang mungkin ilusi, tapi terasa begitu nyata.