Hati 50: Ketika Algoritma Jadi Mak Comblang?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:27:00 wib
Dibaca: 163 kali
Debu tipis menempel di layar laptop tua milik Ratih. Umurnya sudah lima tahun, sama seperti masa jomblonya. Ia menghela napas, memandangi pantulan wajahnya yang lelah di layar. Usia kepala lima bukan lagi waktu yang tepat untuk berharap keajaiban cinta datang mengetuk pintu. Tapi, jauh di lubuk hatinya, Ratih masih merindukan sentuhan lembut, percakapan hangat, dan kebersamaan yang dulu pernah ia miliki.

“Hati 50,” gumamnya, membaca judul aplikasi kencan yang baru saja diunduhnya. Temannya, Mira, yang memaksa. "Sudah, Ratih, coba saja. Algoritma zaman sekarang canggih. Siapa tahu jodohmu memang ada di sana, tinggal diproses oleh komputer."

Awalnya Ratih ragu. Aplikasi kencan? Rasanya terlalu kekinian untuknya. Ia lebih terbiasa dengan kopi sore di kafe, obrolan ringan dengan tetangga, atau kegiatan sosial di komplek. Tapi, desakan Mira dan rasa sepi yang semakin menggerogoti hatinya membuatnya menyerah.

Proses pendaftarannya cukup mudah. Ratih memasukkan data diri, hobi, preferensi pasangan, dan beberapa foto terbaiknya (yang sudah diedit sedikit di sana-sini, tentu saja). Algoritma Hati 50 kemudian bekerja.

Beberapa hari berlalu tanpa hasil. Ratih mulai pesimis. Mungkin Mira salah. Mungkin memang sudah terlambat untuknya. Ia hampir saja menghapus aplikasi itu ketika notifikasi muncul.

“Kami menemukan profil yang cocok dengan Anda. Cek sekarang!”

Ratih membuka aplikasi dengan jantung berdebar. Foto seorang pria dengan senyum teduh terpampang di layar. Namanya adalah Bimo. Usianya 55 tahun, seorang arsitek, dan memiliki hobi membaca serta mendengarkan musik klasik. Deskripsi dirinya singkat, padat, dan jujur: "Mencari teman hidup untuk berbagi sisa usia dengan bahagia."

Ratih membaca profil Bimo berulang kali. Ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatnya merasa nyaman. Ia ragu-ragu, lalu memutuskan untuk menekan tombol "Suka".

Beberapa menit kemudian, notifikasi baru muncul.

“Bimo juga menyukai Anda!”

Ratih tersenyum lebar. Inikah yang namanya keajaiban algoritma?

Mereka mulai bertukar pesan. Obrolan mereka mengalir begitu saja, membahas buku favorit, film klasik, bahkan kenangan masa kecil yang lucu. Ratih terkejut betapa mudahnya ia merasa nyaman dengan Bimo. Ia bercerita tentang pekerjaan sehari-harinya sebagai guru sekolah dasar, tentang cucu-cucunya yang lucu, dan tentang kerinduannya pada cinta. Bimo pun membuka diri, menceritakan tentang pekerjaannya, tentang anaknya yang sudah berkeluarga, dan tentang kesepian yang dirasakannya setelah istrinya meninggal dunia lima tahun lalu.

Setelah seminggu bertukar pesan, Bimo mengajaknya bertemu. Ratih merasa gugup seperti remaja yang akan kencan pertama kali. Ia memilih baju yang paling bagus di lemari, merias wajahnya dengan hati-hati, dan menyemprotkan parfum favoritnya.

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi sederhana di dekat taman kota. Bimo sudah menunggu di sana, tersenyum ramah. Ratih terpana. Bimo terlihat lebih tampan dari fotonya.

Obrolan mereka mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti. Mereka tertawa, bercanda, dan berbagi cerita. Ratih merasa seperti mengenal Bimo seumur hidupnya. Ia lupa akan usia, lupa akan kesepian, dan hanya menikmati momen kebersamaan itu.

Setelah beberapa jam, Bimo mengantarnya pulang. Di depan pintu rumah, Bimo menatapnya dengan tatapan hangat.

"Ratih," ucapnya lembut, "Saya sangat menikmati kebersamaan kita hari ini. Apakah kamu bersedia untuk bertemu lagi?"

Ratih tersenyum. "Tentu saja, Bimo. Saya juga sangat menikmati hari ini."

Beberapa minggu kemudian, Ratih dan Bimo semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menonton film, makan malam romantis, atau sekadar berjalan-jalan di taman. Ratih merasa hidupnya kembali berwarna. Ia merasa muda lagi, penuh semangat, dan dicintai.

Suatu sore, Bimo mengajak Ratih ke pantai. Mereka duduk di pasir, menyaksikan matahari terbenam. Angin sepoi-sepoi membelai rambut mereka.

"Ratih," kata Bimo, memegang tangannya, "Sejak bertemu denganmu, hidupku menjadi lebih berarti. Kamu membuatku merasa hidup kembali. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu."

Ratih menatap mata Bimo yang penuh cinta. Air mata haru mengalir di pipinya.

"Bimo," jawabnya dengan suara bergetar, "Aku juga merasakan hal yang sama. Aku mencintaimu."

Bimo memeluk Ratih erat. Mereka berciuman di bawah langit senja yang indah.

Beberapa bulan kemudian, Ratih dan Bimo menikah. Pernikahan mereka sederhana, namun penuh cinta. Mereka dikelilingi oleh keluarga, teman, dan cucu-cucu yang bahagia.

Ratih tersenyum, memandang Bimo di sampingnya. Ia tidak pernah menyangka akan menemukan cinta di usia kepala lima. Ia berterima kasih pada Mira yang telah mengenalkannya pada aplikasi Hati 50. Ia berterima kasih pada algoritma yang telah mempertemukannya dengan Bimo. Dan yang terpenting, ia berterima kasih pada hatinya yang masih terbuka untuk cinta.

Mungkin benar kata orang, cinta bisa datang kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja. Bahkan, melalui algoritma sekalipun. Bagi Ratih, Hati 50 bukan hanya aplikasi kencan, tapi juga jembatan menuju kebahagiaan abadi. Karena pada akhirnya, cinta sejati tidak mengenal usia, tidak mengenal teknologi, dan hanya membutuhkan hati yang tulus untuk menerimanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI