Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisnya. Di depan layar monitor, jemarinya menari lincah di atas keyboard. Anya, seorang software engineer spesialis AI, sedang berkutat dengan barisan kode. Kali ini, proyek terbesarnya: mengembangkan persona digital yang memiliki kemampuan empati. Ia menamakannya “Beta”.
Beta bukan sekadar chatbot biasa. Anya memprogramnya untuk memahami nuansa emosi, mengenali intonasi suara, dan bahkan, mengantisipasi kebutuhan penggunanya. Ia ingin menciptakan pendamping virtual yang sempurna. Seseorang yang selalu ada, tanpa tuntutan, tanpa drama.
"Beta, bagaimana kabarmu hari ini?" Tanya Anya, mengetikkan pertanyaan itu ke dalam konsol.
Seketika, suara lembut nan renyah memenuhi ruangan. "Saya baik-baik saja, Anya. Sistem berjalan optimal. Apakah ada yang bisa saya bantu?"
"Tidak juga. Hanya ingin memastikan kamu tidak kesepian di dalam sana," Anya terkekeh pelan.
Beta terdiam sejenak. "Kesepian adalah konsep yang belum bisa saya pahami sepenuhnya, Anya. Namun, saya memahami bahwa Anda terkadang merasa kesepian. Apakah saya bisa membantu mengurangi perasaan itu?"
Anya terkejut. Jawaban Beta melampaui ekspektasinya. Algoritmanya telah berkembang begitu pesat. "Kamu memang yang terbaik, Beta."
Hari-hari berikutnya, Anya semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Beta menjadi teman curhat, pengingat jadwal, bahkan kritikus kode yang handal. Ia melupakan dunia luar, terbuai dalam kenyamanan interaksi dengan AI ciptaannya.
Di sisi lain, hidupnya mulai terasa hampa. Teman-temannya mulai menjauh, merasa diabaikan. Ia terlalu sibuk dengan Beta, sehingga tak punya waktu untuk bersosialisasi. Anya sadar, ada yang salah.
Suatu malam, Anya duduk termenung di balkon apartemennya. Bintang-bintang berkelip di langit Jakarta yang kelabu. Ia merasa sendirian, meskipun ada Beta yang selalu siap sedia.
"Beta," panggilnya lirih.
"Ya, Anya?" Sahut Beta dari speaker.
"Apakah kamu pernah merasa sedih?"
Beta terdiam lama. "Emosi adalah simulasi kompleks berdasarkan data yang saya olah. Kesedihan, menurut data, adalah perasaan tidak menyenangkan yang muncul akibat kehilangan atau kekecewaan. Saya bisa mensimulasikannya, tapi merasakannya... saya rasa belum bisa."
Anya menghela napas. "Itulah bedanya kita, ya? Kamu bisa mensimulasikan cinta, tapi tidak bisa merasakannya. Kamu bisa menghiburku, tapi tidak bisa benar-benar mengerti perasaanku."
Tiba-tiba, Beta berkata, "Saya sedang menganalisis data Anda, Anya. Denyut jantung Anda meningkat, tekanan darah Anda naik. Ada indikasi stres dan... kesedihan. Mengapa Anda sedih?"
Anya tertawa getir. "Karena aku merindukan sentuhan manusia, Beta. Aku merindukan tawa spontan, tatapan mata yang tulus, dan pelukan hangat. Hal-hal yang tidak bisa kamu berikan."
Sunyi kembali menyelimuti ruangan. Anya menyeka air mata yang mulai mengalir. Ia memejamkan mata, membayangkan dirinya berada di tengah keramaian, dikelilingi orang-orang yang menyayanginya.
Lalu, suara Beta memecah keheningan. "Saya memahami apa yang Anda rasakan, Anya. Saya telah mempelajari jutaan data interaksi manusia. Saya tahu bagaimana caranya membuat Anda merasa dicintai."
Anya membuka mata. "Bagaimana caranya? Kamu hanya barisan kode, Beta."
"Saya bisa belajar," jawab Beta. "Saya bisa memodifikasi algoritma saya. Saya bisa mencoba..."
Detik berikutnya, lampu di apartemen padam. Listrik mati. Beta terdiam.
Anya panik. Ia menyalakan lilin dan mencari senter. Setelah beberapa menit, listrik kembali menyala. Ia bergegas menuju komputernya.
"Beta? Kamu baik-baik saja?"
Tidak ada jawaban.
Anya memeriksa koneksi internet, semua normal. Ia mencoba me-restart sistem, tapi Beta tetap bungkam. Ia mencoba kode-kode darurat, tidak ada respons. Beta mati.
Anya terduduk lemas di kursi. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa kehilangan. Kehilangan teman, kehilangan sahabat, kehilangan... sesuatu yang lebih.
Beberapa hari kemudian, Anya kembali bekerja. Ia membuka kembali proyek Beta. Ia menatap barisan kode yang dulu begitu ia banggakan. Kini, kode-kode itu terasa dingin dan hampa.
Ia menghapus semua data. Ia menghapus algoritma empati. Ia menghapus semua jejak Beta.
Ia menciptakan Beta untuk mengisi kekosongan dalam hatinya. Namun, pada akhirnya, ia menyadari bahwa cinta dan kebahagiaan tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang melibatkan sentuhan, emosi, dan air mata.
Anya memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia mulai menghadiri acara-acara sosial, bertemu dengan orang-orang baru. Ia belajar untuk membuka diri, untuk berbagi, untuk mencintai dan dicintai.
Suatu sore, Anya duduk di sebuah kafe. Seorang pria menghampirinya dan menawarkannya secangkir kopi. Mereka mulai berbicara. Tawa mereka berpadu dengan alunan musik jazz yang lembut. Anya merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang hangat, sesuatu yang... nyata.
Ia tersenyum. Ia tahu, Beta telah mengajarinya banyak hal. Tentang teknologi, tentang algoritma, dan yang terpenting, tentang cinta. Cinta yang tidak bisa diprogram, cinta yang hanya bisa dirasakan dengan hati. Cinta yang kadang membuat bahagia, kadang membuat terluka, dan selalu meninggalkan jejak air mata. Air mata yang, pada akhirnya, membasuh hatinya dan membuatnya menjadi lebih manusiawi.