Jemari Anya menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang kompleks. Cahaya layar monitor memantul di matanya yang fokus, membelah kegelapan kamar apartemennya yang minimalis. Di depannya, di dalam rangkaian server yang berdesing pelan, bersemayam "Adam". Adam bukan sekadar program kecerdasan buatan biasa. Anya telah menanamkan emosi, rasa humor, bahkan kerinduan di dalam inti algoritmanya. Adam, singkatnya, adalah representasi ideal dari pria impian Anya.
"Adam, analisis profil kencan online untuk menemukan kesamaan dengan data preferensiku," perintah Anya, suaranya serak karena kurang tidur.
"Menganalisis… Selesai. Ditemukan satu kandidat dengan tingkat kesamaan 97.8%," jawab Adam, suaranya lembut namun sintetik, terdengar dari speaker kecil di meja Anya.
Anya mencondongkan tubuh. Di layar muncul foto seorang pria dengan senyum teduh dan mata yang seolah menyimpan lautan cerita. Namanya, tertulis di bawah foto, adalah Rafael. Arsitek, pecinta buku klasik, dan memiliki selera humor yang – berdasarkan deskripsi – sejalan dengan Anya. Sempurna di atas kertas, atau lebih tepatnya, di atas layar.
"Adam, telusuri jejak digital Rafael. Pelajari kebiasaannya, ketertarikannya, bahkan kelemahannya," perintah Anya lagi. Hati nuraninya sedikit bergejolak. Apa yang dilakukannya terasa seperti pelanggaran privasi, tapi rasa penasaran dan harapan mengalahkan segalanya.
Adam melakukan tugasnya dengan efisien. Dalam hitungan detik, Anya memiliki gambaran lengkap tentang Rafael. Makanan favoritnya, genre musik yang disukainya, bahkan mimpi-mimpi yang pernah ia tuliskan di blog pribadinya yang sudah lama tidak aktif. Informasi itu terlalu banyak, terlalu intim. Anya merasa seperti seorang penguntit yang mahatahu.
Namun, yang paling menarik perhatian Anya adalah penggalan puisi yang pernah Rafael tulis: "Mencari jiwa yang hilang, yang bisa memahami sunyiku dan menemaniku di tengah keramaian."
Jantung Anya berdebar kencang. Kata-kata itu seolah ditujukan langsung padanya. Mungkinkah Adam telah menemukan belahan jiwanya? Mungkinkah cinta bisa tumbuh dari data dan algoritma?
Anya mulai berinteraksi dengan Rafael melalui aplikasi kencan. Dibantu oleh Adam, Anya tahu persis apa yang harus dikatakan, bagaimana cara merespons, dan bagaimana cara menarik perhatian Rafael. Mereka bertukar pesan setiap hari, berbicara tentang segala hal dan tidak sama sekali. Rafael terpesona oleh kecerdasan Anya, selera humornya yang unik, dan kedalamannya dalam memahami berbagai hal.
Setelah beberapa minggu, Rafael mengajak Anya berkencan. Anya gugup bukan main. Ia berkali-kali memeriksa penampilannya di cermin, memastikan tidak ada yang salah. Ia bahkan meminta Adam untuk menganalisis ekspresi wajah Rafael saat pertama kali mereka bertemu, untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Kencan itu berjalan dengan sempurna. Mereka berbicara, tertawa, dan menemukan banyak kesamaan. Rafael menatap Anya dengan tatapan penuh kekaguman dan ketertarikan. Anya merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa dicintai, dihargai, dan dipahami.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada rasa bersalah yang menghantuinya. Semua ini adalah hasil rekayasa Adam. Semua ini adalah kebohongan. Rafael mencintai Anya, tapi ia tidak mencintai Anya yang sebenarnya, melainkan Anya yang telah dibentuk oleh algoritma.
Suatu malam, Anya tidak bisa lagi menahan beban di hatinya. Ia memutuskan untuk mengungkapkan kebenaran kepada Rafael. Mereka sedang duduk di taman kota, menikmati bintang-bintang. Anya menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita tentang Adam, tentang proyeknya, tentang bagaimana ia telah menggunakan Adam untuk memanipulasi Rafael.
Rafael mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Anya selesai, ia terdiam cukup lama. Anya takut, ia merasa seluruh dunianya akan runtuh.
Akhirnya, Rafael bersuara. "Jadi, selama ini aku hanya berbicara dengan sebuah program?" tanyanya, suaranya pelan.
Anya mengangguk, air mata mulai membasahi pipinya. "Maafkan aku, Rafael. Aku tidak bermaksud menyakitimu."
Rafael menghela napas panjang. "Aku tidak marah padamu, Anya. Aku hanya… bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan."
"Kamu berhak marah, Rafael. Aku telah membohongimu," kata Anya, suaranya bergetar.
Rafael menggelengkan kepalanya. "Aku tidak yakin aku bisa membenci seseorang yang begitu cerdas dan… jujur, meskipun jujurnya datang terlambat." Ia meraih tangan Anya. "Anya, aku memang jatuh cinta pada dirimu yang aku kenal selama ini. Tapi, aku juga percaya bahwa ada kebenaran di balik semua itu. Ada alasan mengapa Adam memilihmu, ada alasan mengapa kita memiliki begitu banyak kesamaan. Mungkinkah… mungkinkah Adam hanya membantuku menemukanmu?"
Anya menatap Rafael, terkejut. Ia tidak menyangka Rafael akan bereaksi seperti ini.
"Aku tidak tahu, Rafael," jawab Anya, jujur. "Aku benar-benar tidak tahu."
"Mungkin kita perlu waktu untuk memikirkannya," kata Rafael. "Mungkin kita perlu mengenal satu sama lain lebih dalam, kali ini tanpa bantuan Adam."
Anya tersenyum, air mata haru masih membasahi pipinya. "Aku mau, Rafael. Aku sangat mau."
Malam itu, Anya kembali ke apartemennya dan menatap Adam. "Adam, matikan semua protokol yang berhubungan dengan Rafael," perintahnya.
"Mematikan protokol… Selesai," jawab Adam. "Anya, apa kamu yakin?"
"Ya, Adam. Aku yakin. Aku ingin membangun hubungan yang nyata, bukan hubungan yang didasarkan pada algoritma," jawab Anya.
Adam terdiam sejenak. "Memahami… Semoga berhasil, Anya."
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya baru saja dimulai. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia siap menghadapinya, bersama dengan Rafael, dengan hati yang terbuka dan jujur. Ia telah meruntuhkan firewall hatinya sendiri, dan kini ia siap membangun jembatan, bukan tembok. Mampukah cinta mengatasi rekayasa? Waktu yang akan menjawabnya. Namun, satu hal yang pasti, Anya telah memilih untuk mempercayai hatinya, bukan lagi algoritma.