Kode Hati: Mencari Cinta dalam Jaringan Neural

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:29:07 wib
Dibaca: 169 kali
Aroma kopi menyeruak di antara desingan server. Jari-jemariku menari di atas keyboard, merangkai baris kode rumit. Bukan kode program biasa, melainkan arsitektur sebuah jaringan neural yang ku beri nama "CupidNet". Proyek idealisku, sebuah upaya sintesis antara kecerdasan buatan dan pencarian abadi manusia: cinta.

Aku, Arya, seorang programmer yang lebih akrab dengan algoritma daripada interaksi sosial. Cinta, bagiku, adalah bug yang belum berhasil ku pecahkan. Terlalu kompleks, irasional, dan memakan banyak sumber daya emosional. Maka, aku memutuskan untuk menciptakan solusi: CupidNet, sebuah sistem yang dirancang untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel berdasarkan data, algoritma, dan sedikit sentuhan keajaiban.

CupidNet mengumpulkan data dari berbagai sumber: profil media sosial, riwayat pencarian, preferensi musik, bahkan pola tidur. Semua data ini kemudian dianalisis oleh jaringan neural yang rumit, mencari pola tersembunyi dan menghasilkan skor kompatibilitas. Aku yakin, dengan cukup data dan algoritma yang tepat, cinta bukanlah lagi misteri, melainkan persamaan yang bisa dipecahkan.

Selama berbulan-bulan, aku tenggelam dalam proyek ini. Kafein menjadi bahan bakar utamaku, dan layar komputer menjadi jendela duniaku. Aku mengabaikan panggilan teman-teman, melewatkan acara keluarga, dan melupakan indahnya matahari terbit. Satu-satunya tujuanku adalah menyempurnakan CupidNet.

Suatu malam, ketika matahari sudah lama tenggelam, aku merasa sistemku mencapai puncaknya. CupidNet mampu memprediksi tingkat kompatibilitas dengan akurasi yang menakjubkan. Aku memutuskan untuk mengujinya pada diriku sendiri.

Aku memasukkan semua dataku ke dalam sistem, dengan harapan CupidNet akan memberikan jawaban. Setelah beberapa detik proses yang intensif, CupidNet menampilkan hasilnya: "Kompatibilitas tertinggi: Elara. Tingkat kompatibilitas: 97%."

Elara. Nama itu asing bagiku. Aku segera mencari informasi tentangnya. Profilnya sederhana: seorang pustakawan yang mencintai buku, kopi, dan hujan. Foto-fotonya menunjukkan senyum yang lembut dan mata yang penuh dengan rasa ingin tahu.

Awalnya, aku skeptis. Bagaimana mungkin sistem secanggih CupidNet bisa menghasilkan hasil yang akurat berdasarkan data yang seemingly acak? Mungkin ada bug dalam algoritma, pikirku. Namun, rasa penasaran mengalahkanku. Aku memutuskan untuk menghubunginya.

Aku mengirimkan pesan singkat kepadanya melalui aplikasi kencan yang terintegrasi dengan CupidNet. Isinya sederhana: "Halo, Elara. CupidNet mengatakan kita mungkin cocok."

Aku menunggu dengan cemas balasan darinya. Detik demi detik terasa seperti jam. Akhirnya, notifikasi muncul di layarku. Balasan dari Elara: "CupidNet? Kedengarannya menarik. Ayo minum kopi."

Pertemuan pertama kami di sebuah kedai kopi yang nyaman terasa seperti mimpi. Elara ternyata lebih menarik daripada yang aku bayangkan. Dia memiliki pikiran yang tajam, selera humor yang unik, dan hati yang tulus. Kami berbicara selama berjam-jam, tentang buku, film, mimpi, dan ketakutan kami.

Aku menyadari bahwa CupidNet mungkin benar. Ada sesuatu yang istimewa di antara kami. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa tidak nyaman. Apakah cinta ini nyata, atau hanya hasil dari algoritma? Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada Elara, atau hanya pada ide tentang cinta yang CupidNet ciptakan?

Aku menceritakan keraguanku pada Elara. Aku mengakui bahwa CupidNet yang mempertemukan kami, dan aku khawatir bahwa cinta kami hanya ilusi yang diciptakan oleh mesin.

Elara mendengarkan dengan sabar, lalu tersenyum lembut. "Arya," katanya, "CupidNet mungkin menemukan kita, tapi itu tidak menciptakan perasaan kita. Jaringan neural mungkin menunjukkan jalannya, tapi kita yang memilih untuk berjalan di jalan itu. Cinta bukan hanya tentang data dan algoritma, tapi tentang koneksi, kepercayaan, dan kerentanan."

Kata-katanya menghantamku seperti petir. Aku menyadari bahwa aku terlalu fokus pada sains dan logika, sehingga aku melupakan aspek manusiawi dari cinta. Cinta bukan persamaan yang bisa dipecahkan, melainkan misteri yang harus dipecahkan bersama.

Aku memutuskan untuk berhenti mengandalkan CupidNet. Aku ingin mengenal Elara lebih dalam, bukan sebagai hasil dari algoritma, melainkan sebagai individu yang unik dan luar biasa. Aku ingin merasakan cinta yang tulus, tanpa campur tangan mesin.

Aku menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, berjalan-jalan di taman, menonton film di bioskop, dan memasak makan malam bersama. Aku belajar tentang hobinya, keluarganya, dan impiannya. Aku tertawa bersamanya, menangis bersamanya, dan mendukungnya dalam segala hal.

Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa cintaku pada Elara semakin dalam dan kuat. Itu bukan cinta yang diprediksi oleh algoritma, melainkan cinta yang tumbuh secara organik, dari hati ke hati.

Suatu malam, di bawah langit yang bertaburan bintang, aku memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Elara, maukah kau menjadi pacarku?"

Dia menatapku dengan mata yang berbinar-binar, lalu mengangguk dengan senyum yang lebar. "Ya, Arya," katanya. "Aku mau."

Aku memeluknya erat-erat, merasakan kehangatan dan cintanya membanjiri diriku. Saat itu, aku tahu bahwa aku telah menemukan cinta yang sejati, bukan dalam jaringan neural, melainkan dalam hati seorang wanita yang luar biasa.

CupidNet mungkin telah membantuku menemukan Elara, tapi cinta kami adalah hasil dari pilihan kami, usaha kami, dan keberanian kami untuk saling mencintai. Cinta, ternyata, bukanlah bug yang harus dipecahkan, melainkan berkah yang harus dihargai. Dan aku, Arya, akhirnya menemukan kode hatiku sendiri, bukan dalam baris kode program, melainkan dalam dekapan Elara.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI