Debu digital berputar-putar di sekelilingnya, membentuk pusaran cahaya lembut di ruang kerjanya yang serba minimalis. Di wajah Anya, pantulan cahaya dari lensa AR (Augmented Reality) terbarunya menari-nari. Ia menatap kosong ke dinding, namun matanya memindai pola-pola tak terlihat, memproses jutaan bit informasi yang diproyeksikan langsung ke retinanya.
"Sistem aktif. Pengenalan wajah terdeteksi. Memuat profil target: Liam," suara sintesis yang halus membisik di telinganya.
Anya tersenyum tipis. Liam. Namanya saja sudah seperti kode rahasia yang membuka seluruh gerbang hatinya. Lima tahun lalu, mereka bertemu di konferensi pengembang, sebuah pertemuan kebetulan yang diwarnai oleh perdebatan sengit tentang masa depan AI. Dari sana, benih cinta tumbuh, disiram oleh tawa, mimpi bersama, dan kode-kode program yang mereka ciptakan bersama hingga larut malam.
Namun, takdir punya rencana lain. Liam, seorang ilmuwan brilian dengan ambisi yang tak terbatas, memilih proyek kolaborasi di Mars. Meninggalkan Anya, meninggalkan bumi, meninggalkan segalanya demi menaklukkan planet merah.
Lima tahun berlalu, komunikasi mereka terbatas pada pesan-pesan singkat dan video call yang terputus-putus. Jarak fisik menganga lebar, seakan mengikis perlahan cinta yang pernah berkobar begitu dahsyat. Anya, meskipun sibuk dengan perusahaannya sendiri, selalu merasa ada lubang menganga di hatinya, sebuah kekosongan yang hanya bisa diisi oleh Liam.
Teknologi AR inilah yang menjadi jawabannya. Bukan pengganti, tapi pelengkap. Sebuah cara untuk menjembatani jurang yang memisahkan mereka.
Anya mengaktifkan fitur "Emotional Overlay". Sistem mulai menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, bahkan detak jantung orang-orang di sekitarnya, lalu menerjemahkannya menjadi data emosional yang bisa ia lihat. Orang-orang yang tadinya hanya kumpulan piksel kini memiliki aura warna yang menggambarkan suasana hati mereka. Biru untuk kesedihan, hijau untuk netral, kuning untuk senang, dan merah untuk marah.
Anya menatap cangkir kopi di mejanya. Sistem mendeteksinya sebagai objek statis, menampilkan informasi tentang suhu, berat, dan komposisi kimia. Ia menghela napas. Teknologi ini luar biasa, namun terasa hampa tanpa kehadiran Liam.
Tiba-tiba, sistem mendeteksi sesuatu. "Target terdeteksi di radius 5 meter. Lokasi: Kedai Kopi 'Kopi Kenangan', Jalan Sudirman."
Jantung Anya berdebar kencang. Liam? Di Jakarta? Mustahil. Mungkin sistemnya mengalami kesalahan. Tapi ia tidak bisa mengabaikannya.
Dengan gugup, Anya melangkah keluar dari ruang kerjanya dan menyusuri jalan menuju kedai kopi yang disebutkan. Setiap langkah terasa berat, diiringi oleh harapan dan ketakutan yang saling beradu.
Sesampainya di sana, ia berdiri di depan kedai, jantungnya berpacu semakin cepat. Sistem AR-nya menunjuk ke seorang pria yang duduk di pojok, membelakanginya. Pria itu mengenakan jaket tebal dan topi, berusaha menyembunyikan wajahnya. Tapi sistem tak bisa dibohongi.
"Probabilitas identifikasi target: 98%," bisik suara sintesis di telinganya.
Anya mendekat perlahan, setiap tarikan napasnya terasa berat. Pria itu sedang fokus menatap layar tabletnya.
"Liam?" Anya beranikan diri memanggil.
Pria itu tersentak, mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu. Mata yang sama, yang dulu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan kekaguman. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada guratan lelah di wajahnya, ada kesedihan yang mendalam di matanya.
"Anya?" Liam berbisik, suaranya serak.
Anya mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia mendekat dan duduk di hadapannya. Sistem AR-nya mulai memproses data emosional Liam. Awalnya, hanya warna biru yang dominan, melambangkan kesedihan. Tapi perlahan, warna kuning mulai muncul, bercampur dengan warna merah muda yang lembut, simbol cinta dan kerinduan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Anya, suaranya bergetar.
Liam menghela napas panjang. "Proyek di Mars gagal. Ada kesalahan teknis yang fatal. Kami kehilangan banyak orang. Aku... aku kembali."
Anya meraih tangannya, menggenggamnya erat. Tangannya terasa dingin dan kasar. Ia bisa merasakan beban yang dipikul Liam, trauma yang menghantuinya.
"Aku tahu ini sulit," kata Anya lembut. "Tapi kamu tidak sendiri. Aku di sini."
Liam menatapnya, air mata mengalir di pipinya. "Aku... aku merasa bersalah. Aku meninggalkanmu demi ambisiku. Aku takut kamu sudah melupakanku."
Anya tersenyum, air mata juga membasahi pipinya. "Aku tidak pernah melupakanmu, Liam. Cinta kita terlalu kuat untuk dilupakan."
Ia mengaktifkan fitur "Shared Reality". Sistem AR-nya mulai memproyeksikan kenangan mereka bersama, foto-foto lama, video-video lucu, momen-momen indah yang pernah mereka lalui. Liam melihatnya, matanya memancarkan kehangatan.
"Ingat?" tanya Anya sambil tersenyum. "Kita bisa menciptakan lebih banyak kenangan lagi."
Liam mengangguk, meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. Warna kuning dan merah muda semakin mendominasi aura emosionalnya. Kebahagiaan perlahan mengalir kembali ke dalam hatinya.
Mereka duduk berdua, tenggelam dalam dunia realitas teraugmentasi cinta mereka sendiri. Teknologi membantu mereka melihat lebih dalam, merasakan lebih kuat, dan mencintai lebih tulus. Jarak fisik mungkin masih ada, tapi jarak emosional telah lenyap.
Anya mematikan fitur Emotional Overlay dan Shared Reality. Ia ingin melihat Liam apa adanya, tanpa filter teknologi. Ia ingin merasakan kehadirannya, mendengar suaranya, dan menatap matanya dengan sepenuh hati.
Ia menyadari, teknologi hanyalah alat. Yang terpenting adalah cinta yang tulus, kesediaan untuk saling mendukung, dan keberanian untuk menghadapi masa depan bersama. Di dunia yang semakin kompleks dan terhubung ini, cinta tetap menjadi kompas yang menuntun mereka. Dan Anya, dia melihat Liam. Di setiap dimensi.