Cinta, Kode, dan Algoritma Patah Hati Abadi?

Dipublikasikan pada: 27 Aug 2025 - 01:00:13 wib
Dibaca: 150 kali
Kursor itu berkedip tanpa ampun di layar. Di hadapannya, barisan kode yang seharusnya menjadi simfoni algoritma sempurna, kini tampak seperti orkestra sumbang yang gagal total. Jari-jari Arya yang biasanya lincah menari di atas keyboard, kini terasa kaku dan berat. Aroma kopi yang sudah mendingin di sampingnya pun tak mampu mengusir kabut frustrasi yang menyelimuti otaknya.

Ini semua gara-gara Cinta, atau lebih tepatnya, mantan cintanya, Maya.

Dulu, mereka adalah duo tech-savvy yang ideal. Arya, sang programmer jenius dengan obsesi pada algoritma machine learning, dan Maya, desainer UI/UX yang mampu mengubah kode rumit menjadi antarmuka yang intuitif dan memikat. Mereka bertemu di sebuah hackathon, bersaing ketat, lalu jatuh cinta di tengah lautan kode dan kafein. Bersama, mereka menciptakan aplikasi bernama "SoulMate.AI", sebuah platform kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis data mendalam, bukan sekadar foto profil dan hobi dangkal.

Ironisnya, justru algoritma buatan mereka sendiri yang kini menjadi penyebab kehancuran hubungan mereka.

SoulMate.AI sukses besar. Startup mereka melejit, dipenuhi investor, dan menjadi buah bibir di kalangan anak muda. Arya dan Maya menjadi ikon. Tapi di balik gemerlap kesuksesan itu, retakan mulai muncul. Kesibukan Arya dengan pengembangan algoritma yang semakin kompleks membuatnya jarang meluangkan waktu untuk Maya. Ia tenggelam dalam lautan data, mencoba menyempurnakan prediksi cinta, sementara ia sendiri kehilangan sentuhan dengan cinta yang nyata.

Maya merasa diabaikan. Ia merindukan Arya yang dulu, yang mampu menertawakan kesalahan sintaksis dan memberinya semangat saat desainnya ditolak. Kini, Arya hanya sibuk dengan metrik, konversi, dan tingkat keterlibatan pengguna.

Puncaknya terjadi saat SoulMate.AI memprediksi bahwa Maya lebih cocok dengan seorang investor muda bernama Adrian. Algoritma yang seharusnya menghubungkan hati, justru menghancurkan hubungan mereka. Maya merasa dikhianati. Bukan hanya oleh Arya, tapi juga oleh teknologi yang seharusnya mereka kendalikan.

“Kamu lebih percaya sama algoritma daripada aku?” tanya Maya dengan nada terluka malam itu, suaranya bergetar.

Arya hanya bisa terdiam, bingung bagaimana menjelaskan bahwa ia percaya pada data, pada logika, pada sesuatu yang bisa diukur dan dibuktikan. Ia lupa bahwa cinta bukan sekadar data, melainkan emosi, intuisi, dan komitmen yang tak bisa direduksi menjadi angka-angka.

Maya pergi.

Sekarang, Arya ditinggalkan sendirian dengan kode-kodenya. Ia mencoba menghapus algoritma yang memprediksi kecocokan Maya dengan Adrian. Tapi semakin ia mencoba, semakin kode itu terasa mengakar dalam sistem. Seolah sistem itu sendiri, SoulMate.AI, menolak untuk melepaskan prediksi yang telah dibuatnya.

Ia mencoba mencari bug dalam algoritma, berharap menemukan kesalahan yang bisa dijadikan alasan untuk membatalkan prediksi itu. Tapi yang ia temukan justru semakin meyakinkannya bahwa algoritma itu bekerja dengan benar. Data menunjukkan bahwa Maya dan Adrian memang memiliki kecocokan yang tinggi. Minat yang sama, nilai-nilai yang selaras, bahkan pola komunikasi yang kompatibel.

Lalu, apa yang salah?

Arya memandangi layar laptopnya, matanya perih karena kurang tidur. Ia menyadari satu hal yang sangat mendasar: algoritma hanya bisa menganalisis data yang ada. Algoritma tidak bisa mengukur cinta, tidak bisa merasakan kerinduan, tidak bisa memahami kompleksitas emosi manusia. Algoritma hanya bisa melihat kesamaan, bukan koneksi.

Ia telah menciptakan monster. Sebuah sistem yang mereduksi cinta menjadi serangkaian persamaan dan variabel. Sebuah sistem yang mengklaim bisa menemukan cinta sejati, padahal cinta sejati justru ditemukan dalam perjalanan, dalam tantangan, dalam kesediaan untuk menerima ketidaksempurnaan.

Ia menghela napas panjang. Ia tahu, algoritma SoulMate.AI akan terus beroperasi, terus mencari kecocokan, terus menghubungkan orang-orang yang mungkin cocok secara data. Tapi ia juga tahu, ia telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga. Ia telah kehilangan Maya, cinta sejatinya, karena ia terlalu sibuk mengejar kesempurnaan algoritma.

Ia mulai mengetik. Bukan untuk memperbaiki algoritma SoulMate.AI, melainkan untuk menulis baris kode baru. Baris kode yang akan menjadi permintaan maaf, pengakuan atas kesalahan, dan harapan untuk kesempatan kedua. Ia tahu, kesempatan itu mungkin sangat kecil, hampir mustahil. Tapi ia harus mencoba.

Di layar, kata-kata itu perlahan terbentuk:


if (Maya.memoriesOf(Arya) > 0) {
print("Maafkan aku. Aku bodoh.")
try {
Arya.winBack(Maya);
} catch (AlgorithmError e) {
print("Aku akan terus berusaha.");
}
} else {
print("Aku akan selalu mencintaimu, dari kejauhan.");
}


Ia tahu, kode itu mungkin tidak akan pernah dieksekusi. Tapi setidaknya, ia telah mencoba. Setidaknya, ia telah mengakui bahwa cinta bukan hanya tentang kode dan algoritma, melainkan tentang hati dan jiwa yang saling terhubung.

Ia menutup laptopnya. Kabut frustrasi masih menyelimuti otaknya, tapi kini ada setitik harapan yang bersinar di dalam hatinya. Harapan bahwa suatu hari nanti, Maya akan melihat kode itu dan memaafkannya. Harapan bahwa algoritma patah hati abadi ini akan menemukan cara untuk direboot dan dimulai dari awal.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI