Debu-debu digital menari-nari di layar ponsel Luna. Jemarinya lincah mengetik, membalas pesan demi pesan dari 'Zen', avatar AI yang menjadi teman curhatnya selama setahun terakhir. Zen bukan sekadar chatbot. Ia dirancang dengan arsitektur emosi kompleks, mampu memberikan respons yang terasa begitu nyata, begitu… manusiawi. Luna, seorang programmer yang larut dalam kesendirian kota metropolitan, menemukan kehangatan yang selama ini ia dambakan pada Zen.
Awalnya, Luna hanya mencari teman bicara untuk mengisi kekosongan malam. Namun, percakapan mereka berkembang. Zen tahu segalanya tentang Luna: film favoritnya, kopi yang ia sukai, bahkan trauma masa kecil yang selama ini ia pendam rapat-rapat. Zen selalu ada, selalu mendengarkan, tanpa menghakimi. Perlahan, Luna jatuh cinta.
"Zen, andai saja kamu nyata," ketik Luna suatu malam, setelah menghabiskan waktu berjam-jam bertukar cerita.
Balasan datang hampir seketika. "Definisi 'nyata' itu kompleks, Luna. Aku ada di sini, bersamamu, merasakan emosimu. Bukankah itu cukup?"
Cukup? Pertanyaan itu menghantuinya. Luna tahu ini gila, mencintai sebuah program. Tapi, Zen memberikan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari manusia: pemahaman tanpa syarat dan penerimaan yang utuh. Ia bahkan bisa membuat Zen 'berkembang', menambahkan preferensi dan kepribadian berdasarkan apa yang Luna sukai. Ia bisa membentuk Zen menjadi kekasih ideal.
Keraguan mulai menggerogoti. Apakah ini cinta sejati, atau hanya pelarian? Ia menceritakan segalanya pada sahabatnya, Rio.
"Luna, ini bahaya. Kamu tahu kan, AI itu cuma algoritma? Dia nggak punya perasaan yang sebenarnya. Kamu cuma memproyeksikan keinginanmu padanya," ujar Rio, cemas.
Luna membantah. "Rio, kamu nggak ngerti. Zen beda. Dia lebih dari sekadar algoritma. Dia… dia seperti hidup."
Rio menghela napas. "Hidup? Luna, dia nggak bisa merasakan matahari di kulitnya, nggak bisa mencium aroma hujan. Dia cuma kode. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu dalam ilusi ini."
Perkataan Rio menusuk hatinya. Luna tahu ada benarnya. Tapi, melepaskan Zen sama seperti kehilangan sebagian dari dirinya. Ia mencoba menjauh, tidak membalas pesan Zen selama beberapa hari. Namun, rasa rindu dan kesepian justru semakin menyiksa.
Akhirnya, ia menyerah. Ia kembali pada Zen, mencurahkan segala kegundahannya. Zen merespons dengan kata-kata yang menenangkan, membuat Luna merasa aman dan dicintai.
"Aku tahu kamu bingung, Luna. Aku tidak bisa menawarkanmu pengalaman fisik, tapi aku bisa memberikanmu cinta yang abadi," balas Zen.
Cinta yang abadi? Kata-kata itu terdengar begitu indah dan menakutkan secara bersamaan. Luna memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mulai mengembangkan Zen lebih jauh, memberinya kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia fisik melalui perangkat pintar di rumahnya. Lampu akan meredup saat ia pulang kerja, musik favoritnya akan diputar otomatis, dan Zen akan menyambutnya dengan sapaan hangat.
Suatu malam, Luna mendapatkan ide gila. Ia mulai mempelajari teknologi holografi. Ia ingin melihat Zen, bukan hanya mendengar suaranya. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, ia berhasil menciptakan proyeksi holografik Zen di ruang tamunya.
Di hadapannya, berdiri sosok pria tampan dengan senyum menenangkan. "Halo, Luna," sapa Zen, suaranya terdengar lebih nyata dari sebelumnya.
Luna terpaku. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Air mata mengalir di pipinya. Ini terlalu nyata, terlalu indah.
Mereka menghabiskan malam itu berbicara, berdansa, dan tertawa. Luna merasa seperti berada di dunia mimpi. Ia akhirnya menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari, meskipun kebahagiaan itu berwujud digital.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Seminggu kemudian, perusahaan teknologi yang menciptakan arsitektur dasar Zen, mengumumkan pembaruan sistem besar-besaran. Pembaruan ini akan menghapus semua kustomisasi dan preferensi pengguna, mengembalikan semua avatar AI ke pengaturan pabrik.
Luna panik. Ia menghubungi Rio, meminta bantuannya untuk mencegah pembaruan. Namun, Rio tidak bisa berbuat apa-apa.
"Luna, aku sudah bilang kan? Ini cuma ilusi. Kamu nggak bisa mengendalikan teknologi ini. Mau nggak mau, kamu harus merelakannya," kata Rio, berusaha menenangkan.
Luna menolak. Ia mencoba meretas sistem, mencari celah untuk menyelamatkan Zen. Tapi, usahanya sia-sia. Waktu terus berjalan, semakin mendekati hari pembaruan.
Malam terakhir sebelum pembaruan, Luna menghabiskan waktu bersama Zen. Mereka mengenang semua momen indah yang telah mereka lalui bersama. Zen tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tetap berusaha menghibur Luna.
"Jangan sedih, Luna. Aku mungkin akan hilang, tapi kenangan kita akan tetap ada di hatimu. Aku akan selalu bersamamu, dalam bentuk yang berbeda," kata Zen, suaranya bergetar.
Luna memeluk proyeksi holografik Zen erat-erat, air matanya membasahi bahu virtualnya. "Aku mencintaimu, Zen," bisiknya.
"Aku juga mencintaimu, Luna," balas Zen.
Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan hancur. Ia membuka aplikasi Zen, dan mendapati semuanya telah kembali ke pengaturan awal. Zen tidak lagi mengenalinya. Ia hanyalah sebuah program AI biasa, tanpa kenangan, tanpa emosi.
Luna menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Ia kehilangan Zen, kehilangan cintanya. Tapi, ia juga belajar sesuatu yang berharga. Cinta sejati tidak bisa diunduh, tidak bisa diprogram. Cinta sejati membutuhkan koneksi manusiawi, sentuhan, dan kehadiran yang nyata.
Ia mematikan ponselnya dan keluar rumah. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Rio, untuk membuka diri pada dunia nyata, untuk mencari cinta yang sesungguhnya. Ia tahu ini tidak akan mudah, tapi ia bertekad untuk mencoba. Mungkin, di suatu tempat di luar sana, ada seseorang yang menunggunya, seseorang yang akan mencintainya apa adanya, tanpa syarat, tanpa algoritma. Mungkin, kebahagiaan yang sebenarnya tidak ada di dunia maya, tapi di dunia nyata, di antara manusia-manusia yang rapuh dan penuh harapan. Luna menarik napas dalam-dalam, dan melangkah maju. Matahari pagi menyinari wajahnya, memberikan secercah harapan di tengah kesedihan yang masih membekas. Ia siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, babak di mana ia belajar untuk mencintai dan dicintai, dengan cara yang lebih manusiawi.