Hawa dingin menyeruak dari ventilasi lab, membuat jemari Anya semakin kaku saat mengetik baris demi baris kode. Di layar komputernya, berputar-putar garis kode kompleks yang ia rancang selama berbulan-bulan: Algoritma Cinta. Bukan cinta dalam artian klise, melainkan sebuah model prediktif untuk mencocokkan kepribadian dan potensi keberhasilan hubungan antar manusia, berdasarkan data yang dikumpulkan dari jutaan profil media sosial.
Anya, dengan rambut dikuncir asal dan kacamata yang melorot di hidungnya, bukanlah sosok yang romantis. Baginya, cinta adalah data, pola, dan probabilitas. Ia percaya, dengan cukup banyak informasi, ia bisa menghilangkan kesialan dalam memilih pasangan. Ironisnya, Anya sendiri terjebak dalam hubungan yang stagnan dengan Ben, seorang arsitek yang lebih mencintai garis lurus daripada kerumitan hatinya.
“Masih lembur, Anya?” suara Ben memecah keheningan lab. Ia berdiri di ambang pintu, siluetnya terbingkai oleh cahaya koridor.
Anya menghela napas. “Sedikit lagi, Ben. Algoritma ini hampir selesai.”
Ben mendengus pelan. “Algoritma Cinta? Kedengarannya konyol. Cinta itu buta, Anya. Tidak bisa dihitung.”
“Justru itu masalahnya, Ben. Buta dan konyol. Aku hanya mencoba membuat prosesnya sedikit lebih efisien,” jawab Anya, tanpa menoleh.
Ben mendekat dan meletakkan secangkir kopi di meja Anya. “Kamu tidak bisa memecahkan semua masalah dengan kode, Anya. Terkadang, kamu hanya perlu merasa.”
Kata-kata Ben menusuk hati Anya. Merasa. Kata itu terasa asing di bibirnya. Ia terlalu sibuk menganalisis, mengkalkulasi, hingga lupa bagaimana rasanya merasakan.
Hari itu, Anya memutuskan untuk menguji Algoritma Cinta pada dirinya sendiri. Ia memasukkan semua datanya: preferensi, hobi, nilai-nilai, bahkan pola interaksinya di media sosial. Algoritma itu bekerja dengan cepat, memproses jutaan informasi dalam hitungan detik.
Hasilnya mengejutkan. Algoritma tersebut tidak merekomendasikan Ben. Melainkan, merekomendasikan seseorang bernama Liam, seorang penulis lepas yang memiliki ketertarikan pada teknologi dan filosofi. Liam adalah peserta forum online yang sering Anya kunjungi untuk berdiskusi tentang kecerdasan buatan. Mereka belum pernah bertemu secara langsung, hanya bertukar komentar dan ide.
Anya merasa aneh. Ia sudah bersama Ben selama tiga tahun. Mereka berbagi apartemen, teman, dan rutinitas. Tapi, Algoritma Cinta menganggap Liam lebih cocok untuknya?
Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Anya mengirimkan pesan pribadi kepada Liam, menanyakan pendapatnya tentang Algoritma Cinta. Liam membalas dengan cepat, antusias membahas potensi dan keterbatasan model prediktif dalam hubungan manusia. Percakapan mereka mengalir begitu saja, dari teknologi ke seni, dari mimpi ke ketakutan. Anya merasa nyaman, seolah ia telah mengenal Liam seumur hidup.
Semakin lama Anya berinteraksi dengan Liam, semakin ia menyadari betapa kosongnya hubungannya dengan Ben. Ben tidak pernah tertarik pada pekerjaan Anya, ia selalu menganggapnya rumit dan membosankan. Mereka jarang berbicara tentang hal-hal yang penting, lebih sering membahas tagihan dan jadwal kerja. Anya merasa seperti hidup dengan robot, bukan dengan manusia.
Suatu malam, Anya dan Liam memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi. Ketika Liam masuk, Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Ia lebih tinggi dari yang ia bayangkan, dengan mata yang cerah dan senyum yang menenangkan. Mereka berbicara selama berjam-jam, tanpa henti, seolah mereka memiliki banyak hal untuk saling berbagi. Anya merasa hidup kembali, merasakan emosi yang selama ini terpendam dalam labirin algoritmanya.
Setelah pertemuan itu, Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Ben. Itu adalah keputusan sulit, tapi ia tahu itu adalah hal yang benar. Ben marah dan kecewa, tapi Anya tidak menyesal. Ia tahu, ia pantas mendapatkan kebahagiaan, bukan hanya stabilitas dan kenyamanan.
Anya mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Liam. Mereka menjelajahi kota bersama, mengunjungi museum, menonton film independen, dan berdiskusi tentang masa depan teknologi. Anya merasa seperti menemukan kembali dirinya sendiri, melepaskan beban ekspektasi dan ambisi.
Algoritma Cinta yang ia ciptakan telah membawanya kepada Liam, tapi bukan algoritma itu yang membuat Anya jatuh cinta. Itu adalah percakapan yang mendalam, tawa yang tulus, dan koneksi emosional yang tak terduga. Cinta, ternyata, memang tidak bisa dihitung. Tapi, terkadang, sebuah algoritma bisa menjadi petunjuk untuk menemukan hati yang hilang.
Anya masih bekerja di lab, mengembangkan algoritma yang lebih kompleks dan akurat. Tapi, ia tidak lagi percaya bahwa cinta bisa diprediksi sepenuhnya. Ia belajar bahwa cinta adalah sebuah misteri, sebuah perjalanan yang penuh kejutan dan ketidakpastian. Dan ia, bersama Liam, siap untuk menjelajahi labirin cinta, tanpa peta dan tanpa panduan, hanya dengan hati yang terbuka.