Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python terpampang di layar laptopnya. Anya, seorang programmer andal, sedang tenggelam dalam proyek terbarunya: aplikasi kencan berbasis AI yang mampu mencocokkan pengguna dengan akurasi mendekati sempurna. Ironis, pikirnya, menciptakan algoritma cinta sementara hatinya sendiri masih kosong melompong.
“Algoritma menciptakan kenangan, bukan?” gumamnya, menatap refleksi dirinya di layar. Mata cokelatnya tampak lelah, lingkaran hitam menghiasi bawah matanya. Ia sudah begadang selama seminggu demi menyelesaikan proyek ini.
Aplikasi itu bernama "Soulmate Algorithm" atau disingkat SA. Prinsip kerjanya sederhana namun kompleks: pengguna mengisi kuesioner mendalam tentang preferensi, minat, nilai-nilai, dan bahkan trauma masa lalu. Kemudian, AI akan menganalisis data tersebut dan mencari kecocokan dengan pengguna lain. Janji SA adalah: menemukan pasangan yang bukan hanya menarik secara fisik, tapi juga kompatibel secara emosional dan intelektual.
Anya skeptis. Cinta, baginya, terlalu abstrak dan rumit untuk direduksi menjadi baris kode. Pengalaman pahit di masa lalu telah mengajarkannya bahwa perasaan tidak bisa diprediksi. Mantan kekasihnya, seorang seniman eksentrik bernama Rian, meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan yang masuk akal. Sejak saat itu, Anya menutup hatinya rapat-rapat.
Namun, ia tetap profesional. Ia mencurahkan seluruh kemampuannya untuk SA, memastikan algoritma itu bekerja seoptimal mungkin. Ia bahkan menambahkan fitur "Kenangan Digital," di mana aplikasi akan mencatat interaksi antar pengguna, menciptakan semacam album kenangan otomatis yang bisa diakses kapan saja. Fitur ini, menurutnya, akan membantu pasangan menghargai momen-momen kecil yang seringkali terlewatkan.
Suatu malam, saat Anya sedang melakukan uji coba terakhir pada SA, ia memutuskan untuk mendaftar sendiri. Awalnya, ia hanya ingin melihat bagaimana algoritma itu bekerja dari sudut pandang pengguna. Namun, rasa penasaran mendorongnya untuk mengisi kuesioner dengan jujur, membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru.
Setelah selesai, ia menunggu hasilnya. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia mencoba menenangkan diri dengan berkata bahwa ini hanya percobaan, bahwa ia tidak boleh berharap apa pun.
Layar laptopnya berkedip. Algoritma telah menemukan kecocokan: seorang pria bernama Elio.
Profil Elio menampilkan foto seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang berbinar. Ia seorang arsitek, gemar membaca buku, dan mendaki gunung. Deskripsinya tentang diri sendiri terdengar tulus dan cerdas. Anya membaca dengan saksama, merasakan sesuatu yang aneh bergejolak dalam dirinya.
SA menunjukkan tingkat kecocokan mereka sebesar 97%. Tertinggi dari semua profil yang pernah dilihatnya.
Dengan ragu, Anya mengirim pesan kepada Elio. Mereka mulai berbicara, awalnya tentang arsitektur dan pemrograman, lalu beralih ke hal-hal yang lebih personal. Anya terkejut dengan betapa mudahnya ia berbicara dengan Elio. Mereka memiliki banyak kesamaan, tapi juga perbedaan yang saling melengkapi.
Setelah beberapa minggu berinteraksi secara online, Elio mengajaknya bertemu. Anya gugup bukan main. Ia takut dikecewakan, takut algoritma itu salah, takut ia akan kembali terluka.
Namun, ketika ia melihat Elio di depan matanya, semua ketakutannya menguap. Elio tampak persis seperti yang digambarkannya dalam profilnya, bahkan lebih. Senyumnya tulus, matanya berbinar, dan auranya menenangkan.
Mereka menghabiskan sore itu di sebuah kedai kopi, berbicara dan tertawa seolah sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Anya merasa nyaman, aman, dan bahagia. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa hidup.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Elio semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung, membaca buku di taman, dan saling berbagi mimpi dan ketakutan. SA mencatat semua interaksi mereka, menciptakan album kenangan digital yang terus bertambah.
Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam romantis di balkon apartemen Anya, Elio meraih tangannya.
"Anya," katanya, matanya menatap dalam-dalam, "aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa kita ditakdirkan untuk bersama. Aku merasa algoritma itu benar."
Anya tersenyum. Ia tahu apa yang dimaksud Elio. Ia merasakan hal yang sama. Algoritma mungkin hanya alat, tapi alat itu telah membantunya menemukan sesuatu yang berharga: cinta.
"Mungkin algoritma itu memang menciptakan kenangan," kata Anya, "tapi kenangan itu menjadi berarti karena kita sendiri yang menciptakannya."
Elio mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu hangat, lembut, dan penuh cinta. Di bawah sinar bulan, Anya merasa hatinya penuh. Ia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan ia tidak sabar untuk melihat ke mana algoritma cinta akan membawa mereka.
Anya tahu bahwa masa lalu tidak bisa diubah, dan ia mungkin akan menghadapi tantangan di masa depan. Tapi ia tidak takut. Ia memiliki Elio di sisinya, dan mereka memiliki algoritma cinta yang selalu siap membantu mereka menciptakan kenangan baru.
Ia menatap layar ponselnya, membuka aplikasi SA. Album kenangan digital mereka penuh dengan foto-foto dan video-video kebersamaan mereka. Ia tersenyum, menyadari bahwa algoritma itu bukan hanya menciptakan kenangan, tapi juga memberikan mereka kesempatan untuk menghargai setiap momen.
Cinta memang rumit dan tidak bisa diprediksi. Tapi terkadang, sebuah algoritma sederhana bisa menjadi jembatan menuju kebahagiaan. Algoritma menciptakan kenangan, ya, tapi kenangan itu menjadi hidup karena cinta yang tulus. Dan cinta, pada akhirnya, adalah kunci untuk membuka hati yang telah lama tertutup.