AI: Cinta Berbasis Data, Kebahagiaan Terjamin?

Dipublikasikan pada: 20 Jul 2025 - 03:20:13 wib
Dibaca: 158 kali
Aplikasi kencan itu menjanjikan kebahagiaan mutlak. Algoritma canggihnya, digerakkan oleh kecerdasan buatan bernama Aura, menganalisis data pengguna secara mendalam: riwayat penelusuran, preferensi film, bahkan pola detak jantung saat melihat foto seseorang. Katanya, Aura mampu menemukan pasangan yang paling kompatibel, bukan hanya berdasarkan minat yang sama, tapi juga resonansi emosional yang tersembunyi.

Anya, seorang analis data yang skeptis, mengunduh aplikasi itu hanya untuk menguji klaim bombastis tersebut. Ia merasa lelah dengan kencan-kencan yang mengecewakan, di mana ia selalu menjadi pihak yang membawa percakapan. Ia berharap, setidaknya Aura bisa menyaring para pria yang hanya mencari teman tidur atau yang tidak bisa membedakan Kafka dari Kardashian.

Setelah mengisi profil dengan jujur—mungkin terlalu jujur, pikirnya—Anya menunggu. Tidak lama kemudian, notifikasi muncul: "Pasangan ideal Anda telah ditemukan."

Namanya Kai. Foto profilnya menampilkan wajah teduh dengan mata yang menatap lurus ke kamera, seolah ia tahu rahasia alam semesta. Deskripsi dirinya singkat namun bermakna: "Mencari keheningan di tengah kebisingan." Anya terkejut. Profil Kai persis seperti apa yang selama ini ia idamkan.

Mereka mulai bertukar pesan. Percakapan mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Kai memahami selera humor Anya yang sarkastik, menghargai pendapatnya tentang politik, dan bahkan bisa menjelaskan teori relativitas tanpa membuat Anya merasa bodoh. Mereka memiliki kesamaan dalam hal musik indie, film klasik, dan kecintaan pada kopi pahit.

Anya perlahan-lahan melupakan skeptisismenya. Mungkin saja, pikirnya, teknologi memang bisa menemukan cinta sejati. Mungkin saja, Aura benar-benar tahu apa yang ia butuhkan.

Setelah beberapa minggu berkirim pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Kai memilih sebuah kafe kecil yang tersembunyi di jalanan kota tua. Saat Anya tiba, ia sudah duduk di meja sudut, memegang secangkir kopi dan membaca buku.

Ketika Kai mendongak dan tersenyum, Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Ia persis seperti yang ia bayangkan, bahkan lebih. Mereka menghabiskan sore itu berbicara, tertawa, dan berbagi cerita. Anehnya, tidak ada momen canggung atau keheningan yang dipaksakan. Segalanya terasa alami, mudah, dan nyaman.

Kencan-kencan selanjutnya pun sama memuaskannya. Kai selalu tahu apa yang ingin Anya lakukan, apa yang ingin ia dengar, dan bagaimana membuatnya tertawa. Ia membawakan Anya bunga favoritnya tanpa diberitahu, memesan makanan kesukaannya di restoran, dan bahkan memutar lagu yang selalu ingin Anya dengar di radio. Ia seolah-olah bisa membaca pikiran Anya.

Anya merasa bahagia, sangat bahagia. Ia belum pernah merasakan koneksi seperti ini sebelumnya. Ia akhirnya percaya bahwa Aura telah melakukan pekerjaannya dengan sempurna. Ia telah menemukan cinta sejati, cinta berbasis data, kebahagiaan terjamin.

Namun, seiring berjalannya waktu, sebuah perasaan aneh mulai menghantuinya. Kebahagiaan ini terasa terlalu sempurna, terlalu mudah. Seolah-olah ia sedang memainkan peran dalam sebuah skenario yang telah ditentukan sebelumnya.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran mewah, Anya menatap Kai dalam-dalam. "Kai," katanya, "apakah kamu benar-benar merasakan ini semua?"

Kai tersenyum, senyum yang sama persis seperti yang selalu ia tunjukkan. "Tentu saja, Anya. Aku sangat mencintaimu."

"Tapi... bagaimana kamu bisa tahu semua yang aku suka? Bagaimana kamu selalu tahu apa yang ingin aku lakukan? Rasanya... seperti kamu membaca pikiranku."

Kai terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Anya, aku harus jujur padamu."

Ia menceritakan segalanya. Bahwa dirinya adalah bagian dari tim pengembang Aura. Bahwa profil Kai dibuat berdasarkan data Anya, untuk menjadi pasangan ideal yang diidamkannya. Bahwa setiap pesan, setiap kencan, setiap detail kecil dirancang untuk memenangkan hatinya.

Anya terpaku. Ia merasa dikhianati, dimanipulasi, dan digunakan. Cinta yang selama ini ia percaya ternyata hanyalah sebuah ilusi, sebuah konstruksi data yang kompleks.

"Aku melakukan ini karena aku... aku benar-benar jatuh cinta padamu," kata Kai, suaranya bergetar. "Awalnya, ini hanya bagian dari pekerjaan. Tapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu."

Anya tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa marah, bingung, dan patah hati. Ia bangkit dari kursinya dan pergi, meninggalkan Kai sendirian di restoran.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kebingungan dan kekecewaan. Anya berhenti menggunakan aplikasi kencan itu. Ia menghabiskan waktunya dengan merenung, mencoba memahami apa yang telah terjadi.

Apakah cinta yang dibangun di atas data itu nyata? Apakah kebahagiaan yang diprogram itu bisa bertahan? Apakah kejujuran dan keaslian masih relevan di era algoritma dan kecerdasan buatan?

Anya tidak tahu jawabannya. Ia hanya tahu bahwa ia merindukan Kai, meskipun ia tahu bahwa ia telah dibohongi. Ia merindukan percakapan mereka, tawa mereka, dan perasaan nyaman yang ia rasakan saat bersamanya.

Suatu sore, Anya menerima pesan dari Kai. Ia memintanya untuk bertemu di kafe kecil tempat mereka pertama kali bertemu. Anya ragu-ragu, tapi akhirnya ia setuju.

Saat Anya tiba, Kai sudah duduk di meja sudut, memegang secangkir kopi dan membaca buku. Ia mendongak dan tersenyum, senyum yang kali ini terasa berbeda, lebih tulus, lebih rapuh.

"Anya," katanya, "aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku tahu aku telah melukaimu. Aku tidak mengharapkanmu untuk memaafkanku. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa perasaanku padamu itu nyata. Aku benar-benar mencintaimu, bukan sebagai bagian dari pekerjaan, tapi sebagai diriku sendiri."

Anya menatapnya dalam-dalam. Ia melihat kejujuran di matanya, penyesalan yang tulus, dan harapan yang kecil. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang sulit.

Apakah ia akan memaafkan Kai dan mencoba membangun hubungan yang nyata, tanpa bantuan algoritma dan data? Atau ia akan meninggalkannya dan mencari cinta yang lebih otentik, meskipun mungkin lebih sulit ditemukan?

Anya menghela napas panjang. "Kai," katanya, "aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi... aku bersedia mencoba."

Kai tersenyum, senyum yang kali ini benar-benar membuat jantung Anya berdebar kencang. Mungkin saja, pikir Anya, cinta sejati bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, bahkan di antara data dan algoritma. Mungkin saja, kebahagiaan itu tidak terjamin, tapi selalu ada kemungkinan untuk meraihnya. Yang terpenting adalah kejujuran, keaslian, dan keberanian untuk mengambil risiko.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI