Deburan ombak di pantai Kuta seperti melodi yang tak pernah usai, menemaniku menatap layar laptop. Jari-jariku menari di atas keyboard, memprogram ulang algoritma “Amore AI”, sebuah aplikasi kencan yang aku rancang. Dulu, Amore AI hanya mencocokkan minat dan kepribadian. Sekarang, aku menambahkan lapisan intuisi buatan, belajar dari jutaan kisah cinta, mencoba memprediksi kecocokan emosional yang lebih dalam.
Alasanku sederhana. Aku, Arya, seorang insinyur perangkat lunak yang lebih akrab dengan barisan kode daripada tatapan mata penuh cinta, ingin menemukan pasangan. Mencoba segala cara, dari aplikasi kencan konvensional hingga perjodohan ala orang tua, hasilnya nihil. Aku menyadari, mungkin aku butuh bantuan, bantuan dari kecerdasan buatan yang aku kuasai.
“Arya, kopi?” suara lembut Riana membuyarkan lamunanku. Riana, rekan kerjaku, seorang desainer grafis yang selalu ceria. Dia tahu betul kegelisahanku soal Amore AI.
“Terima kasih, Riana,” sahutku, menerima cangkir kopi darinya. “Aku hampir selesai menambahkan fitur prediktif emosi.”
Riana duduk di sampingku, menatap layar laptop dengan rasa ingin tahu. “Kau yakin ini ide bagus, Arya? Bukankah cinta itu tentang kejutan, tentang hal-hal yang tak terduga?”
Aku menghela napas. “Justru itu masalahnya, Riana. Aku tak pernah mendapat kejutan menyenangkan dalam urusan cinta. Aku ingin Amore AI membantuku menemukan seseorang yang benar-benar cocok, seseorang yang tak hanya cocok di atas kertas, tapi juga di hati.”
Riana tersenyum tipis. “Hati punya intuisinya sendiri, Arya. Aku khawatir kau menghilangkan esensi cinta yang sebenarnya.”
Aku mengabaikan keraguannya. Bagiku, intuisi hanyalah pola yang kompleks, sesuatu yang bisa dipelajari dan diprediksi oleh algoritma yang canggih.
Setelah berbulan-bulan, Amore AI versi terbaru akhirnya siap. Aku mengaktifkan mode pencarian khusus untukku. Aplikasi itu menganalisis profil ribuan wanita, mengukur potensi kecocokan berdasarkan data, riwayat percakapan, bahkan ekspresi wajah dalam foto.
Hasilnya: Anya. Seorang penulis lepas dengan kecintaan yang sama terhadap buku dan film klasik. Profilnya sempurna. Skor kecocokan Amore AI mencetak 98%, rekor tertinggi yang pernah tercatat.
Kami mulai berkirim pesan, lalu bertukar telepon. Obrolan kami mengalir begitu lancar, seolah kami sudah saling mengenal lama. Anya cerdas, humoris, dan memiliki pandangan yang sejalan denganku. Aku merasa seperti mimpi.
Akhirnya, kami memutuskan untuk bertemu. Anya datang dengan gaun musim panas berwarna biru, rambutnya dikepang sederhana. Senyumnya hangat dan menenangkan. Saat kami duduk di kafe, aku merasa nyaman dan tenang, sesuatu yang jarang kurasakan saat berkencan.
Kencan-kencan berikutnya sama menyenangkannya. Kami tertawa, bertukar cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Amore AI benar, Anya memang cocok denganku. Aku mulai membayangkan masa depan bersamanya.
Namun, semakin lama kami bersama, semakin aku merasakan sesuatu yang aneh. Semuanya terasa terlalu… sempurna. Seperti adegan dalam film romantis yang sudah diatur sedemikian rupa. Tak ada kejutan, tak ada tantangan, tak ada percikan api yang membara. Hanya kehangatan yang lembut, nyaman, tapi hambar.
Suatu malam, saat kami makan malam di restoran favoritnya, aku tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Anya, apa kau pernah merasa… seperti ini terlalu mudah?”
Anya menatapku dengan bingung. “Mudah? Maksudmu?”
“Maksudku, kita sangat cocok. Segala sesuatunya berjalan terlalu lancar. Apakah ini… nyata?”
Anya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan. “Aku… aku tak tahu, Arya. Aku hanya senang kita bersama.”
Jawaban itu tak memuaskanku. Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk memeriksa kembali data yang diolah oleh Amore AI. Aku menelusuri riwayat interaksi Anya dengan aplikasi tersebut. Dan di sanalah aku menemukan jawabannya.
Anya tahu bahwa aku adalah pencipta Amore AI. Dia tahu bahwa aplikasi itu memilihnya untukku. Dia telah mempelajari algoritma itu, menyesuaikan profil dan perilakunya agar sesuai dengan preferensiku. Semuanya adalah kepura-puraan, dirancang untuk membuatku jatuh cinta.
Hatiku hancur. Bukan hanya karena pengkhianatan Anya, tapi juga karena kesombonganku sendiri. Aku pikir aku bisa memprediksi dan mengendalikan cinta, tapi ternyata aku hanya menciptakan ilusi.
Aku menemui Anya dan mengkonfrontasinya. Awalnya, dia menyangkal, tapi akhirnya dia mengakui semuanya. Dia berkata bahwa dia benar-benar menyukaiku, dan dia melakukan itu semua karena dia takut aku tak akan melihatnya jika dia menjadi dirinya sendiri.
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku merasa bodoh, naif, dan sangat terluka. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu.
Setelah putus dengan Anya, aku menghabiskan berhari-hari memikirkan semuanya. Aku menyadari bahwa Riana benar. Cinta bukan tentang algoritma dan prediksi. Cinta tentang intuisi, tentang risiko, tentang menerima ketidaksempurnaan.
Aku menghapus fitur prediktif emosi dari Amore AI. Aku ingin orang-orang menemukan cinta dengan cara yang alami, dengan hati mereka, bukan dengan mesin. Aku ingin mereka merasakan kejutan, tantangan, dan percikan api yang membara.
Beberapa minggu kemudian, Riana datang ke mejaku dengan senyum lebar. “Arya, aku punya kabar baik. Ada seorang programmer baru di tim kita. Dia sangat menyukai pekerjaanku, dan dia ingin belajar lebih banyak tentang desain grafis.”
Aku mengangkat alis, tertarik. “Siapa dia?”
“Namanya… Daniel.”
Aku tersenyum. Mungkin, intuisi hati memang tak bisa dikalahkan oleh algoritma mana pun. Mungkin, takdir cinta memang harus ditulis ulang, tapi bukan oleh kecerdasan buatan, melainkan oleh keberanian untuk membuka hati dan membiarkan cinta datang dengan caranya sendiri. Kali ini, aku akan membiarkan hatiku yang menuntun.