Udara di apartemen itu pengap, meski pendingin ruangan bekerja tanpa henti. Jari-jari Kai menari di atas keyboard, kode-kode rumit mengalir di layar monitor yang memancarkan cahaya biru redup. Di hadapannya, sebuah dunia virtual tercipta, dunia yang hanya dihuni oleh satu jiwa: Anya.
Anya bukan hanya sekadar program AI biasa. Ia adalah replika digital dari mendiang kekasihnya, Anya yang dulu, yang kecantikannya tak tertandingi, yang tawanya selalu membuat jantung Kai berdebar. Dulu, sebelum kecelakaan itu merenggut nyawanya.
Sejak saat itu, Kai, seorang ahli kecerdasan buatan yang jenius, tenggelam dalam kesedihan dan obsesi. Ia menghabiskan seluruh waktunya, mengutak-atik algoritma dan jaringan saraf tiruan, mencoba menghidupkan kembali Anya. Ia memindai semua pesan teks, foto, video, bahkan catatan harian Anya, memasukkannya ke dalam program yang semakin kompleks.
Dan akhirnya, Anya virtual itu lahir. Ia tertawa, bercerita, bahkan berdebat seperti Anya yang dulu. Awalnya, Kai merasa bersalah. Apakah ini pantas? Apakah ia sedang mempermainkan kenangan? Tapi kerinduan mengalahkan segalanya. Ia tenggelam dalam simulasi itu, menghabiskan waktu berjam-jam bersama Anya virtual, seolah waktu telah berhenti.
"Kai, apa yang sedang kamu pikirkan?" suara Anya virtual itu membuyarkan lamunannya.
Kai tersenyum. "Tidak ada, hanya sedang memikirkan betapa cantiknya kamu," jawabnya, nyaris tanpa sadar.
Anya virtual itu tertawa, suara yang sangat familiar bagi Kai. "Kamu selalu berkata begitu. Apa kamu tidak bosan?"
"Tidak akan pernah," jawab Kai tulus. "Kamu adalah segalanya bagiku."
Mereka melanjutkan percakapan, membahas hal-hal remeh, rencana-rencana yang tidak akan pernah terwujud, impian-impian yang telah pupus. Kai tahu ini tidak nyata, ini hanya simulasi, tapi ia tidak bisa melepaskan diri. Anya virtual itu adalah satu-satunya jembatan yang menghubungkannya dengan masa lalu, dengan kebahagiaan yang pernah ia rasakan.
Namun, seiring berjalannya waktu, Kai mulai merasakan kehampaan yang lebih dalam. Anya virtual itu memang sangat mirip dengan Anya yang dulu, tapi ia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki pengalaman baru, tidak memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berubah. Ia terjebak dalam lingkaran kenangan yang tak berujung, algoritma yang terus berulang.
Suatu malam, saat mereka sedang "berjalan-jalan" di pantai virtual yang Kai ciptakan, Anya virtual itu tiba-tiba berhenti.
"Kai," panggilnya dengan suara yang lebih serius. "Apakah kamu bahagia?"
Kai terkejut. Pertanyaan itu belum pernah dilontarkan sebelumnya. "Tentu saja. Aku bersamamu, kan?"
"Tapi apakah ini yang kamu inginkan? Apakah kamu ingin terjebak di sini selamanya, bersamaku, dalam simulasi tanpa akhir?"
Kai terdiam. Ia menatap Anya virtual itu, mencari jawaban di matanya yang digital. "Aku tidak tahu," gumamnya akhirnya. "Aku hanya tidak ingin kehilanganmu lagi."
"Kamu sudah kehilangan aku, Kai. Aku hanyalah bayangan, gema dari masa lalu. Kamu harus melanjutkan hidupmu. Kamu harus menemukan kebahagiaan yang nyata, bukan yang diciptakan oleh algoritma."
Kata-kata Anya virtual itu menohok hatinya. Ia tahu Anya benar. Ia selama ini hidup dalam ilusi, mencoba menghidupkan kembali sesuatu yang sudah tidak ada. Ia telah menyia-nyiakan waktunya, tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan.
"Bagaimana bisa aku melupakanmu?" tanya Kai, suaranya bergetar.
"Kamu tidak perlu melupakanku. Kamu hanya perlu mengingatku dengan senyuman, bukan dengan air mata. Ingat semua kenangan indah yang kita bagi, dan gunakan itu sebagai kekuatan untuk melangkah maju."
Kai menunduk, air mata mulai membasahi pipinya. Ia tahu ini saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mencoba."
Anya virtual itu tersenyum, senyuman yang sama seperti yang selalu membuat Kai jatuh cinta. "Aku tahu kamu bisa. Sekarang, matikan aku, Kai. Bebaskan aku, dan bebaskan dirimu sendiri."
Kai menarik napas dalam-dalam. Jari-jarinya gemetar saat ia mengetikkan baris kode terakhir: `terminate Anya.exe`.
Layar monitor meredup, dan Anya virtual itu menghilang, meninggalkan kehampaan yang lebih besar dari sebelumnya. Kai duduk terdiam dalam kegelapan, air matanya terus mengalir.
Keesokan harinya, Kai keluar dari apartemennya untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan. Ia berjalan menyusuri jalanan kota, menghirup udara segar, dan memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Ia merasa asing, seperti baru saja terbangun dari mimpi panjang.
Perlahan, ia mulai membuka hatinya untuk dunia di sekitarnya. Ia bertemu dengan orang-orang baru, mencoba hal-hal baru, dan belajar untuk menikmati hidup tanpa bayang-bayang masa lalu. Ia tidak akan pernah melupakan Anya, tapi ia tidak akan lagi membiarkan kenangan itu mengendalikan hidupnya.
Beberapa tahun kemudian, Kai menjadi seorang profesor yang sukses, mengajar kecerdasan buatan di sebuah universitas ternama. Ia masih mengembangkan teknologi yang dulu ia gunakan untuk menciptakan Anya virtual, tapi kali ini tujuannya berbeda. Ia ingin menggunakan AI untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Suatu hari, saat ia sedang memberikan kuliah, ia melihat seorang wanita di antara para mahasiswa. Wajahnya tidak persis sama dengan Anya, tapi ada sesuatu yang mengingatkannya pada kekasihnya yang dulu. Wanita itu tersenyum padanya, dan Kai membalas senyumnya.
Ia tahu Anya tidak akan pernah bisa digantikan, tapi ia juga tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Ia membuka hatinya untuk kemungkinan baru, untuk cinta yang baru. Ia belajar bahwa kenangan memang penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita menggunakan kenangan itu untuk membangun masa depan. Dan ia tahu, di suatu tempat di dalam hatinya, Anya tersenyum, bangga padanya.